KH Abdul Wahid Hasyim adalah pribadi yang kuat. Ternyata
kakakter ini tak hanya berlaku dalam hal mental dan prinsip belaka. Secara
ekonomi putra Hadlaratus Syaikh Hasyim Asy’ari ini pun tergolong kuat.
Di masa penjajahan Belanda dan Jepang, Kiai Wahid bersusah-payah
bergerilya lewat beragam cara ke berbagai pelosok Nusantara. Seluruh biaya
keluar dari kantong sendiri. Tanpa kondisi ekonomi yang mapan, perjuangan
bertahun-tahun yang menguras keringat, ongkos, dan pikiran ini niscaya tak akan
jalan.
KH Saifuddin Zuhri pernah dibuat heran dengan guru dan
pemimpinnya ini. Saat Jepang bermurah hati memberi Kiai Wahid mobil dinas
terkait jabatan Shumubu-cho, ia menolak memakai dan memilih membeli mobil
sendiri.
“Bagaimana caranya bisa membeli mobil sendiri di zaman
begini?” tanya Kiai Saifuddin. Ketika itu hampir tidak ada seorang sipil pun
yang memiliki mobil.
“Ya Allah! Kalau soal beli mobil saja tidak bisa
memecahkannya, bagaimana bisa memecahkan persoalan rakyat?” jawab Kiai Wahid
tegas.
Sepertinya Kiai Wahid memegang teguh prinsip umat Islam tak
boleh lemah secara ekonomi. Hal ini penting untuk menopang daya tahan dan nafas
perjuangan. Tak aneh jika Kiai Wahid yang sehari-hari terkenal hidup sederhana
dikisahkan berprofesi sebagai pedagang.
Dalam hal ini. kami nukilkan syair-syair yang ditemukan
dalam catatan tokoh nasional ini. Secara umum syair hikmah berikut berpesan
tentang semangat yang digambarkan di atas.
إِنْ قَلَّ مَالُ اْلمَرْءِ قَلَّ بَهَاؤُهُ # وَضَاقَتْ
عَلَيْهِ أَرْضُهُ وَسَمَاؤُهُ
فَأَصْبَحَ لَايَدْرِيْ، وَإِنْ كَانَ حَازِماً # أَقُدَّامُهُ
خَيْرٌ لَهُ أَمْ وَرَاءُهُ
Ketika
sedikit kekayaan seseorang, sedikit pula kebanggaannya; bumi dan langitnya (medan geraknya) menyempit.
Meski biasanya teguh, tapi kemantabannya hilang: majukah atau mundurkah yang
terbaik?
إِنْ قَلَّ مَالِي فَلَا حِلٌّ يُصَاحِبْنِيْ # إِنْ زَادَ
مَالِي فَكُلُّ النَّاسِ إِخْوَانِي
Saat
kekayaanku sedikit tak seorang pun bersahabat denganku. Saat kekayaanku
meningkat semua orang (ingin) menjadi saudaraku.
عَجِبْتُ لِأَهْلِ اْلعِلْمِ كَيْفَ تَغَافَلُوا # يُجِرُّوْنَ
ثَوْبَ الْحِرْصِ عِنْدَ اْلمَمَالِكِ
يَدُوْرُوْنَ حَوْلَ الظَّالِمِيْنَ كَأَنَّهُمْ # يَطُوْفُوْنَ
حَوْلَ الْبَيْتِ عِنْدَ اْلمَنَاسِكِ
Aku
heran kepada para cendekiawan/ulama. Bagaimana mereka lupa; menggelar jubah
ketamakan di hadapan para penguasa, mengerumuni para penindas bak rombongan
haji yang sedang tawaf di sekitar Ka’bah.
وَقَدْ تَنْفَعُ الذِّكْرَى إِذَا كَانَ هَجْرُهَا # دِلَالاً
وَإِمَّا إِنْ مِلَالاً فَلَا نَفْعَا
Peringatan
mungkin bermanfaat (efektif) untuk orang yang tengah merajuk, tapi tidak untuk
orang yang sedang bosan.
سَجَدْنَا لِلقُرُوْدِ رَجَاءَ دُنْيَا # حَوَتْهَا
دُوْنَنَا أَيْدِي اْلقُرُوْدِ
وَلَمْ تَرْجَعْ أَنَامِلُنَا بِشَيْءٍ # رَجَوْنَاهُ سِوَى
ذُلِّ السُّجُوْدِ
Kita relakan sujud kepada para monyet demi dunia yang ada di
pelukan mereka. Jari-jari kita pun pulang tanpa hasil apa-apa, kecuali sujud
yang hina belaka.
Syair-syair dikutip dan diterjemah ulang dari
KH A Wahid Hasjim, Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Bandung : Mizan, 2011
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar