Secara
bahasa Akhlak berasal dari kata mannere
imorals[1]. Akhlak biasa diartikan sebagai budi pekerti atau kesopanan[2]. Sedangkan menurut istilah sesuatu yang
wujud dalam jiwa manusia dan melahirkan sesuatu perbuatan dengan mudah tanpa
melalui proses pemikiran, pertimbangan, atau penelitian. Kata Akhlak adalah
bentuk jamak dari Al-Khuluq atau Al-Khulq[3].
Kewajiban
dalam akhlak islam erat hubungannya dengan kewajiban dalam Fiqih.dan Tauhid.
Meskipun kewajiban dalam tiga aspek ini berbeda – beda karena mempunyai arti
masing – masing, tetapi pada dasarnya semua berjalan tak terpisahkan. Perbuatan
terpuji atau tercela terhadap Allah SWT dinamakan hubungan vertical, sedangkan hubungan terpuji atau tercela terhadap sesame
manusia atau alam sekitar dinamakan hubungan horizontal.
Allah Swt
berfirman dalam surah Al – a’raf [7] ayat 55 :
Mohonlah
kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang rendah lagi lemah
lembut (dari bisikan kalbu).
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang – orang yang melampaui batas.
Orang yang
memegang teguh tali Allah, biayasanya akan khusyu’ dalam shalatnya, dan dia
termasuk orang yang beruntung. Allah SWT. berfirman dalam surat Al - Mu’minun
[23] ayat 1 – 2 :
Sesungguhnya beruntunglah orang – orang yang
beriman (yaitu) orang – orang yang khusyu’ dalam shalatnya.
Banyak
manusia berakhlak buruk terhadap Allah SWT. Mereka beribadah dan minta
pertolongan kepada Allah, namun juga kepada yang lain. Mereka buruk sangka
kepada Allah, tidak sopan dalam mendirikan shalat, dan seringkali tidak
mendengarkan apabila Al – Qur’an sedang dibaca.
Orang yang
akhlaknya baik selalu punya rasa kasih sayang dan cinta terhadap semua manusia,
juga binatang, lingkungan, dan alam. Kesadaran hidup dalam hubungan dengan
sesama manusia dan alam sekitar harus dilandasi dengan iman dan taqwa kepada
Allah SWT. Orang ayang akhlaknya baik akan menghindari buruk sangka terhadap
orang lain, namun tetap waspada dan hati – hati.
Allah Swt
berfirman dalam surat Al-Hujurat [49]
ayat 12 :
Hai
orang – orang yang beriman, jauhilah berprasangka buruk, sesungguhnya sebagian prasangka
itu dosa. Dan janganlah kamu mencari – cari kesalahan orang lain. Dan janganlah
sebagiankamu mempergunjingkan sebagian yang lain.
a. Pengertian
Baik dan Buruk
Akhlak
terbagi menjadi dua, yaitu akhlak terpuji (mahmudah)
dan akhlak tercela (madzmumah).
Pengertian
baik secara bahasa diterjemahkan dari kata khair,
toyyiban, good[4].
Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia lengkap kata baik diartikan alok, patut, teratur, tidak jahat.
Yang
disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Sedangkan dalam Webster’s new twentieth Century Dictionary
dijelaskan bahwa “baik” adalah sesutau yang menimbulkan rasa keharusan dan
kepuasan, kesenangan, persesuaisian, dan sebagainya. Kata baik bias juga
diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang
diharapkan, yang memberikan kepuasan, sesuatu yang sesuai dengan keinginan,
sesuatu yang mendatangkan rahmat dan memberikan perasaan senang atau bahagia.
Kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, diusahakan, dan menjadi tujuan
manusia. Kebaikan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan yang luhur,
bermartabat, menyenagkan, dan disukai oleh manusia.
Dengan
mengetahui sesuatu yang bernilai baik, maka kita akan mudah mengetahui yang
buruk. Sesuatu yang tidak baik, biasanya tidak sempurna kualitasnya, dibawah
standar, kurang dalam nilai, tidak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral,
tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang
tercela, dan bertentangan dengan norma – norma yang berlaku di masyarakat.
b. Ukuran
Baik dan Buruk
Ada
beberapa pendapat tentang ukuran baik dan buruk. Ada yang menilainya dengan
agama, tradisi, rasio, pengalaman, dan sebagainya.
Al-Ghazali
mengemukakan bahwa orang yang bertaklid saja dengan mengesampingkan akal adalah
bodoh, sementara orang yang hanya merasa cukup dengan akalnya saja lepas dari
cahaya Al-Qur’an dan Al_Sunnah, maka dia tertipu.
Apabila
akhlak disamakan dengan etika, maka apa yang disebut filsafat etika tentu saja
sama dengan filsafat akhlak. Berikut ini diuraikan beberapa aliran dalam
filsafat etika.
1. Tradisionalisme
Paham ini
mengatakan bahwa yang menjadi ukuran norma baik
dan buruk itu adalah tradisi.
2. Rasionalisme
Paham ini menganggap
bahwa rasiolah yang menjadi sumber moral. Aliran ini diwakili oleh Plato,
Aristoteles, Spinoza.
3. Empirisme
(Empiric = berdasarkan pengalaman)
Paham ini menganggap
bahwa pengalaman manusia adalah satu – satunya alat yang terpercaya untuk
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk
4. Intuisionisme
(intuition = ilham, bisikan kalbu)
Dalam Bahasa Arab disebut mazhab laqqonah (kekuatan
batin yang disebut insting atau naluri).
Paham ini
mengatakan bahwa sumber pengetahuan dan juga penilaian yang baik dan buruk itu
adalah intuisi (bisikan kalbu).
Yang
mengikuti aliran ini adalah kaum STOA, yaitu pengikut ZENON, seorang filosof
Yunani yang hidup pada tahun 342-270 SM.
5. Hedoisme (sa’adah)
Paham ini mengatakan
bahwa kebahagiaanlah yang menjadi dasar norma baik dan buruk. Tokoh
pertama aliran ini adalah Epicurus dan Thomas hobbes. Adapun tokoh hedoisme
universal adalah Bentham dan john Stuart Mill.
6. Evolusionisme
Paham ini mengatakan bahwa moralitas tumbuh dan berkembang secara
berangsur – angsur dan meningkat sedikit demi sedikit. Tokohnya adalah Herbert
Spencer, seorang filosofi Inggris yang hidup pada tahun 1820-1907.
7. Idealisme
Paham ini
berpendapat bahwa perbuatan manusia harus berdasarkan prinsip keruhanian yang
tinggi, bukan berdasarkan kualitas verbal yang lahir.
8. Fitalisme
Paham ini mengatakan
bahwa bukan kebaikan dapat dipaksakan agar berlaku dan ditaati oleh orang –
orang yang diharapkan selanjutnya tidak terasa sebagai paksaan dan tekanan.
9. Utilitarisme
Paham ini berpendapat bahwa yang baik adalah yang
bermanfaat hasilnya, dan yang buruk adalah yang hasilnya tidak bermanfaat.
10. Theologi
Menurut
paham ini, perbuatan yang baik adalah yang sesuai dengan instruksi Tuhan dan
yang tidak baik adalah yang berlawanan dengan perintah-Nya.
11. Naturalisme
Paham ini
berpendapat bahwa manusia bias bahagia jika menurutkan panggilan fitrahnya
lahir dan batin.
12. Ajaran Islam
Menurut
paham ini, penentuan baik dan buruk dalam ajaran Islam harus didasarkan pada
petunjuk Al-Qur’;an dan Al-Sunnah.
Dalam
persoalan akidah (teologi, kalam, tauhid) ada aliran Mu’tazilah yang hampir
sama dengan paham rasionalisme. Meskipun aliran tersebut berpendapat bahwa
persoalan baik buruk bias diketahui oleh akal, tetapi aliran ini tetap setuju
bahwa mengenal dan bersyukur kepada Allah sebagai pemberi nikmat adalah wajib.
Menurut Rachmat Djatmika, kebenaran itu sangat
subyejtif dan bermacam – maca. Benar
menurut ilmu hitung berlainan dengan benar menurut ilmu politik.
Meskipun
begitu, secara subyektif (ke)benar(an) itu hanya ada satu, tak ada dua
(ke)benar(an) yang bertentangan. Secara obyektif, peraturan juga hanya satu dan
tak mungkin mengandung hal – hal berlawanan didalamnya. Jadi kebenaran yang
pasti adalah yang didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh Allah SWT.
c. Akhlak Terpuji
Berikut
beberapa materi akhlak terpuji (mahmudah),
antara lain :
1. Al-Rahman,
yaitu belas kasihan dan lemah lembut
2. Al-‘Afwu,
yaitu pemaaf dan mau bermusyawarah.
3. Amanah,
yaitu terpercaya dan mampu menepati janji.
4. Anisatun,
yaitu manis muka dan tidak sombong.
5. Khusyu’ dan Tadharru’,
yaitu tekun , tidak lalai, dan merendahkan diri di hadapan Allah Swt.
6. Al-Haya’, yaitu sifat malu.
7. Al-Ikhwan dan Al-Ishlah, yaitu
persaudaraan atau perdamaian.
8. Al-Shalihat, yaitu berbuat baik atau beramal shaleh.
9. Al-Shabru,yaitu sabar. Khususnya sabar dalam tiga hal. Yang pertama sabar dalam beribadah dan
beramal. Kedua sabar untuk tidak
melakukan maksiat. Ketiga sabar
ketika tertimpa musibah dan malapetaka.
10. Al-Ta’awun, yaitu tolong menolong.
Demikian sebagian akhlak terpuji yang tercantum dalam
Al-Qur’an. Sebenarnya masih banyak lagi sifat baik yang terdapat dalam
Al-Qur’an maupun hadits.
d. Akhlak Tercela
Berikut merupakan macam – macam akhlak tercela (madzmumah), yaitu :
1. Al-Nani’ah, yaitu sifat egois atau hanya mementingkan diri sendiri
dan tidak peduli dengan orang lain.
2. Al-Bukhlu, yaitu kikir.
3. Al-Buthan, yaitu suka berdusta.
4. Khianat, yaitu tidak menepati janji.
5. Al-Jubn, yaitu pengecut.
6. Al-Ghibah, yaitu menggunjing atau mengumpat atau menceritakan
kejelekan orang lain kepada orang lain.
7. Al-Hasad, yaitu dengki.
Dengki atau hasud adalah perbuatan seseorang berefek negative (bahkan merusak)
terhadap orang lain.
8. Al-Ifsad, yaitu berbuat kerusakan.
Seseorang mempunyai sifat
merusak biasanya untuk mencapai kepentingan pribadinya dan tidak menghiraukan
akibatnya.
9. Al-Istaf, yaitu berlebih – lebihan.
10. Al-Zhulmu, yaitu berbuat aniaya.
11. Al-Fawaihisyi, yaitu berbuat dosa bersar.
Dan masih
banyak lagi akhlak tercela yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits.
Kita
sebaiknya berusaha sekuat tenaga untuk memiliki akhlak yang terpuji dan
menjauhi akhlak yang tercela sehingga bias seiring dan sejalan dengan keimanan
dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Kita pun lalu bias menjadi insan kamil
atau manusia seutuhnya.
e. Faktor
Kebiasaan Dalam Akhlak
Semua
aliran akhlak mengatakan bahwa kebiasaan yang baik harus dibina, dipelihara,
dan dikembangkan seseorang, sedangkan kebiasaan yang buruk harus segera
ditinggalkan. Kebiasaan adalah perbuatan yang selalu diulang – ulang
sehingga mudah mengerjakannya.
Didiklah
anak kita untuk membiasaka shalat dan
bertingkah laku yang baikdalam pergaulan. Kita sebaiknya mendidik anak kita
menjadi pribadi Muslim yang taat kepada Allah Swt. juga bertingkah laku sopan
kepada sesame manusia. Ajaklah anak kita untuk meneladani akhlak rasulullah
SAW. Rasulullah SAW. bersabda :
“Hak
seorang muslim terhadap muslim lainnya ada enam, yaitu apabila bertemu hedaklah
mengucapkan salam kepadanya, apabiladia mengundang hendaklah engkau
menghadirinya, apabila dia meminta nasihat berilah nasihat, kalau dia bersin
dan membaca hamdalah maka jawablah dengan yarhamukallah, apabila dia sakit maka
tengoklah, dan apabila dia meninggal antarkanlah jenazahnya ke kubur”.
Berusahalah
agar anak kita memiliki akhlak yang baik dan terpuji. Ariestoteles mengatakan
bahwa “keutamaan” tidak cukup hanya
diketahui, melainkan harus dipraktikkan dalam kenyataan.
B.3. Sistem Penilaian Akhlak
Naluri
manusia paling kuat yang merupakan hidayah
fitriyah adalah ingin mempertahankan hidupnya di dunia ini. Naluri ini
dimiliki setiap manusia, meskipun dia sadar bahwa hidup ini fana dan sementara.
Naluri mempertahankan hidup juga dimiliki oleh biantang.
Paham
materialisme berkeykinan bahwa kehidupan yang lebih baik dan kebahagiaan berpusat
pada keempurnaan materi, termasuk jasad. Adapun aliran spiritualisme berkeyakinan bahwa kebahagiaan sangat tergantung pada
kepuasan jiwa. Para filosof umumnya berpendapat bahwa kebahagiaan bias dicapai
dengan kemampuan akal manusia. Akal merupakan perangkat penting untuk menggapai
kebenaran dan kemuliaan.
Umat Islam
akan merasa bahagia jika mendapat keutamaan dari kehadiran Allah Swt. baik dunia maupun akhirat.
Berikut
merupakan uraian system penilaian akhlak menurut beberpa madzhab, aliran, dan
paham dalam Islam.
a. Sistem Ahli Sunnah
Ahlu sunnah waljama’ah mempunyai arti “ahlu” bermakna
golongan dan “asunnah” bermakna segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad
SAW. Aljamaah ini banyak sekali yang
memberi makana, antara lain golongan yang mayoritas umat Islam yang setia
kepada pemimpin umat Islam. Dan adapula yang mengartikan Aljamaah sebagai
golongan para sahabat Nabi. Jadi arti dari “ahlu sunnah walajamah” adalah
golongan yang berpegang teguh pada Al-Qur’an , sunnah Rasulullah SAW, dan
kesepakatan para mujtahid.[5]
Sebelumnya
ahli sunnah waljama’ah ini dipelopori oleh Abu Al-Husan Al-Asy’ari
(260-320H/873-935M) dan Abu Mansyur Al-Maturidi (332H/943M). mereka membagi
kajian ilmunya dengan cara menggali dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Segala awamir yang dima’rufkan Allah SWT adalah
baik dan segala nawahi yang
dimunkarkan Allah SWT adalah buruk. Tidak ada kebaikan atau keburukan secara
absolute, tetapi semuanya itu menurut instruksi dari Allah SWT. adapun yang
bersifat absolute adalah kekuasaan dan keadilan Allah yang terletak pada
iradat-Nya. Namun keadilan tidak wajib bagi Allah, karena apabila wajib maka
kekuasaan-Nya tidak mutlak lagi. Ittulah sebabnya para ahli kalam membedakan
antara sifat – sifat yang wajib bagi Allah menurut akal dan juga dalil akal
yang jumlahnya 13 atau 20 dengan asma’ul
husna yang jumlahnya 99.
b. Sistem
Mu’tazilah
Secara
bahasa kata mu’tazilah berasal dari
kata i’tazila yang berarti
“berpisah” atau “memisahkan diri”, yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan
diri”. Secara teknis, istilah mu’tazilah
menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (mu’tazilah I) muncul sebagai respon
politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam
arti bersikap lunak dalam menyikapi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan – lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang
dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat peristiwa tahkim. Menurut Ahmad tafsir ada mu’tazilah yang lahir karena menghindari bentrokan politis dan ada
yang lahir karena bentrokan pemikiran fanatik[6].
1. Tentang sifat – sifat Allah.
2. Kedudukan Al-Qur’an
3. Melihat Allah di akhirat
4. Perbuatan manusia
5. Antropomorisme
6. Dosa besar
7. Keadilan Allah
Pancasila Mu’tazilah
Ajaran
Mu’tazilah dikenal dengan al-ushul
al-khamsah, yang oleh Harun Nasution diistilahkan sebagai Pancasila
Mu’tazilah.
1. Al-Tauhid
Yang
berarti “pengesaan Tuhan”, merupakan prinsip yang paling uatama dan sekaligus
merupakan intisari dari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya setiap madzhab teologis
dalam Islam memegang doktrin al-tauhid ini.
Namun bagi aliran M’utazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan
dari apa pun yang dapat mengurangi kemahaesaan-Nya. Hanya Tuhanlah satu –
satunya yang Esa dan unik dan tak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh karena
itu hanya Dial ah yang qadim
(terdahulu). Bila ada yang qadim
lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud
al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan.
2. Al’Adl (Tuhan Maha Adil)
Ajaran
tentang kadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain :
a. Perbuatan
manusia
Menurut Mu’tazilah manusia melakukan dan menciptakan
perbuatan sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara
langsung atau tidak.
b. Berbuat baik
dan terbaik
Kewajiban Tuhanlah untuk berbuat baik, bahkan terbaik
bagi manusia. Tuhan tidak mungkin
jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya,
sesuatu tidak layak bagi Tuhan.
c. Mengutus Rasul
Mengutus
Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan – alasan sebagai
berikut :
1. Tuhan berlaku baik kepada
manusia, dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada
mereka.
2. Al-Qur’an secara tegas menyatakan
kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia. Cara terbaik untuk
maksud tersebut adalah dengan mengutus Rasul.
3. Tujuan diciptakannya manusia
untuk beribdah adalah untuk beribadah kepada Allah. Agar tujuan tersebut
berhasil yaitu dengan cara mengutus Rasul.
3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Ajaran ini
berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan Maha bijaksana tidak akan
melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya
sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa
neraka bagi yang durhaka (al-ashl).
Begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan bagi yang melakukan taubat nashuha pasti benar adanya.
4. Al-Manzilah
bain al-Manzilatain
Inilah
ajaran yang menyebabkan lahirnya madzhab ini, yakin berkenaan dengan status
orang yang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar dan belum bertaubat,
dengan status bukan lagi Mukmin atau kafir, munafiq, tetapi fasik. Hanya saja
bila belum bertaubat, dia akan dimasukan ke neraka dan kekal di sana, tetapi
siksanya lebih ringan dibanding orang kafir.
5. Al-‘Amr
bi al-Ma’ruf wa al-Nahy’an al-Munkar
Ajaran ini
menekan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaiakan kepada kebenaran dan
kebaikan. Dan ini merupakan kensekuensi logis dari keimanan seseorang.
Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan yang baik, diantaranya
dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Ajaran ini
sangat berpotensi menimbulkan kekerasan, kekacauan, dan kedzaliman[8]. Sejarah mencatat kekerasan yang pernah
dilakukan Mu’tazilah ketika menyiarkan ajarannya, seperti tentang kemakhlukan
Al_qur’an yang mengorbankan banyak ulama’.
Ajaran ini
bukan monopoi konsep Mu’tazilah. Fase tersebut sering digunakan di dalam
Al-Qur’an. Arti asal ma’ruf adalah
apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan
dan kebenaran. Lebih spesifik lagi, al-ma’ruf
adalah apa yang diterima dan diakui Allah. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya. Frase tersebut bararti seruan untuk
berbuat seseuatu sesuai dengan keyakinan sebenar – benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya
perbuatan yang bertentangan dengan norma tuhan.
Contoh lain
secara kausalitas. Allah tidak ikut campur dalam kehendak alam dan kehendak
manusia, tetapi ada hukum kausalitas yang berlaku bagi alam dan manusia,
seperti terjadinya hujan.
Di zaman
ini mungkin yang mempunyai kemiripan dengan Mu’tazilah adalah kaum Muhammadiyah
yang menggarap persoalan sosial, pendidikan, dan kemasyarakatan.
Menurut
Mu’tzilah manusia bebas untuk bertabat, dan segala amal manusia dan di ganjar
allah SWT seadil-adilnya dan seproporsional mungkin. Apabila manusia tidak
bebas melakukan perbuatannya, ini berarti allah SWT tidak adil. Demikian pula
apabila allah meminta pertanggungjawaban manusia atas amalnya. Jadi menurut
pandangan penulis allah itu menyuruh kita berbuat baik dan melarang perbuatan
yang dilarangnya.
c. Sistem Jabariyah
Landasan pemikiran madzhab ini adalah bahwa pada hakekatnya perbuatan
seorang hamba disandarkan langsung kepada Allah. tidak diminta untuk taat tapi
dipaksa untuk melakukan segala perbuatan di luar kehendak dan usahanya, maka
Allah SWT menciptakan segala perbuatan sebagaimana Dia menciptakan seluruh
materi. Jadi adanya pahala dan siksaan adalah paksaan.
Para sejarawan telah banyak berbicara dan
menjelaskan siapa yang sebenarnya terlebih dahulu memiliki pendapat di atas dan
menyebarkannya. Disini kami tuliskan sedikit pendapat mengenai faham Jabariyah
sebagai mana yang di tulis oleh Al-Murtadha dalam Al-Muriyah wa Al-’Amail.
Ulama
pertama , Abdullah Bin Abbas, ketika berbicara di hadapan kaum Jabariyah
di kota Syam. Dia melontarkan kritik ”Mengapa kalian memerintahkan orang-orang
untuk bertaqwa, padahal kalian menyesatkan mereka. Kalian melarang orang-orang
berbuat maksiat tetapi kalian justru memperlihatkan kemaksiatan. Wahai
putra-putra kaum munafik, penolong kaum zhalim, dan penjaga masjid kaum fasik,
kalian hanya berdusta kepada Allah, kalian harus bertanggungjawab atas
dosa-dosa kalian kepada Allah.”
Ulama
kedua, Hasan Al-Bashri, berbicara di kota Bashrah, ” Barang siapa yang
tidak beriman kepada Allah serta qodho’ dan qodar-Nya, maka dia
telah kafir. Sesungguhnya Allah tidak kurang apapun, meskipun ditaati ataupun
didurhakai, karena Dia adalah Raja dari segala raja, dan Penguasa dari segala
penguasa. Untuk itu, Allah memberi kebebasan kepada manusia: apakah mau taat
atau durhaka. Jika Allah memaksa makhluk-Nya supaya taat kepada-Nya, maka
mereka tentu tidak akan mendapat pahala. Dan, andaikata mereka dipaksa untuk
berbuat maksiat, maka mereka pasti tidak akan disikasa. Semua orang tidak
dipaksa oleh kehendak Allah. Untuk itu, jika mereka taat kepada Allah, maka Dia
pasti akan menebarkan Rahmat.”
Pendapat
ini sebenarnya sudah mulai muncul pada masa para sahabat, akan tetapi npada
awalnya hanya diucapkan kam musyrik sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran. Orang
Islam ang pertama kali menyebarkan paham ini adalah Al-Ja’d bin Dirham. Dia
menerima faham ini dari orang Yahudi di Syria. Kemudian disebarkan ke Bashrah,
terutama kepada Al-Jahm bin Shafaran. Dalam kitab Syarah Al-’Uyun, Al-Jahm bin Shafwan
menerima suatu ajaran dari Al-Ja’d bin Dirham yang kemudian dinamakan ajaran
al-jahmiyah.sementara itu Al-Ja’d bin Dirham menerima ajaran tersebut dari Ibnu
Sam’an, sedangkan Sam’an menerimanya dari Thalut bin A’shim al-Yahudi.
Ajaran Al-Jahm bin Shafwan bukan merupakan
aliran Jabariyah, akan tetapi mempunyai ajaran lain di antaranya:
a. Al-Jahm beranggapan, tidak
ada sesuatu apaun yang bersifat kekal.
b. Keimanan itu merupakan
ma’rifat sedangkan kekufuran merupakan kebodohan. Iman adalah pengetahuan dan
kufur adalah kebodohan.
c. Firman Allah itu bersifat
baru bukan lama.
d. Allah Swt tidak
mengidentikan diri sebagai ”sesuatu” yang hidup bagaikan alam semesta.
e. Al-Jahm membantah bahwa
Allah Swt bisa dilihat kelak dihari kiamat
Para ulama
salaf dan kholaf telah membantah ajaran tersebut, seperti yang dilakukan hasan
Al-Bashri dan sebelumnya Ibnu Abbas. Perlu diketahui ajaran Jabariyah banyak di
ingkari oleh banyak kelompok ulam kalam, ahli fiqih, dan ahli hadist.
Allah Swt
berfirman, aku akan memalingkan orang-orang
yang menyombangkan dirinya dimuka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasan-Ku.jika melihat ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika
melihat petunjuk, mereka tidak akan menempuhnya, tetapi jika melihat kesesatan,
mereka justru mendekatinya. Hal itu terjadi karena mereka mendustakan ayat-ayat
Kami dan selalu lalai darinya. Begitulah,
banyak orang yang mencoba meniti jalan yang disangkanya terang, padahal
sebenarnya sesat dan gelap gulita.
d. Sistem Qodariyah
Aliran ini dipelopori oleh Ghoilan Ad-Dimasyqi dan
Ma’bad Al-Juhani. Qodiriyah berasal dari kata qodara (قَدَرَ) yang mengandung arti kemampuan
dan kekuatan. Kaum Qodariyah adalah golongan
islam yang meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan mutlak dan kebebasan untuk
menentukan segala macam perbuatan sesuai dengan keinginannya tanpa ada
intervensi dari tuhan.[9] Jadi
menurut Qodariyah manusia harus bebas menentukn nasibnya sendiri. Manusia beba
memilih amal yang baik dan yang buruk, jadi kalau Allah maha adil mestinya
memberi pahala orang yang beramal baik dan sebaliknya.
Paham
Qodariyah berlawanan dengan paham Jabariyah. Menurut paham Qodariyah, manusia
harus bebas dan merdeka memilih amalnya sendiri.
Untuk
mengatasi kedua paham yang saling bertentangan , yaitu Qodariyah dan Jabariyah
sebaiknya kita menyimak firman Allah dalam surah al-Ra’d [13] ayat 11,:
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang
dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang
tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat
amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang
menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah. [768] Tuhan tidak
akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran
mereka.
e. Sistem Shufiyah
Paham
sufiyah yang dilansir para sufi berpendapat bahwa pendidikan akhlaq tersusun
atas tiga fase:
1. Fase takhalli atau takhliyah, yaitu membasmi sifat-sifat
duniawiyah yang terdapat dalam diri manusia. Takhliyah zhahiriyah yaitu menjauhkan diri dari kejahatan tujuh
macam anggota maksiat zhahir, ketujuh tersebit adalah faraj, lisan, tangan,
mata, telinga, kaki, dan perut. Kemudian, manusia melakukan Takhliyah
bathiniyah yang didahului dengan taubat yaitu dengan cara Istigfar,
menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
2. Fase Tahalli, mengisi jiwa
seseorang dengan jiwa mahmudah yang merupakan ibadat qolbi. Maka hiasilah diri
nkita dengan taqwa, hati yang bersih, dan sifat siddiq.
3.
Fase Tajalli, adalah pengalaman Puncak yang dicari para pecinta Allah.([10])
dimana fase ini telah jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, fase ini hasil
usaha dari fase pertama dan kedua.
Meskipun dalam diri manusia cenderung berbuat kejahatan, namun usaha yang
pertama dan yang utama adalah menjauhkan
diri dari larangan Allah. Meninggalkan
larangan-Nya lebih berat dari pada mengerjakan perintah-Nya. Hal ini
terjadi karena pengaruh lingkungan. Untuk itu bagi orang tua agar mendidik
anaknya dengan baik mulai sedini mungkin.
[1] Elias
A,dkk. Pur Al-Jil. Pocket dictionary.
Bairut 1983
[2] Duryanto S.S Kamus Bahasa Indonesia lengkap. Apollo. Surabaya ; 1997
[3] Ensiklopedia Islam. PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve. Jakarta
; 1994
[4] Elias
A,dkk. Pur Al-Jil. Pocket dictionary.
Bairut 1983
[5] S.M. Imamudin M. Dkk, Aliran Aliran Teologi Islam,
Kaisar, ’08 dan Ensiklopedia Islam PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994
[6] Sukardi,
Kuliah – kuliah Tasawuf. Pustaka
Hidayah, Juni 2000
[8] S.M. Imamudin M. Dkk, Aliran Aliran Teologi Islam,
Kaisar, ’08 dan Ensiklopedia Islam PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994
[9] S.M. Imamudin M. Dkk, Aliran Aliran
Teologi Islam, Kaisar, ’08.
[10] Sukardi, Kuliah – kuliah Tasawuf. Pustaka Hidayah, Juni 2000
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar