Kitab ini satu-satunya kitab tafsir yang penyusunnya dua orang. Uniknya mereka tidak mengerjakannya secara bersamaan.
Siapa yang tak kenal dengan Tafsir Jalalain? Setiap pengkaji tafsir
al-Quran pasti mengenal kitab tafsir ringkas yang disusun dua maestro
ilmu tafsir, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti. Jalaluddin,
yang berarti orang yang mengagungkan agama, adalah gelar yang diberikan
kepada seorang ulama yang dianggap sangat ahli dalam bebarapa ranah
ilmu. Dalam khazanah tasawuf, misalnya, nama Jalaluddin dinisbatkan
kepada sufi besar Maulana Muhammad bin Muhammad al-Qunuwi al-Balkhi
ar-Rumi alias Jalaluddin Rumi.
Karena disusun oleh dua Jalaluddin itulah kitab tafsir berusia empat
abad yang menjadi rujukan wajib di banyak pesantren ini dinamakan Tafsir
Jalalain, Tafsir Dua Jalal.
Jika ditilik dari model penafsiran, Tafsir Jalalain cenderung
menonjolkan analisis kebahasaan atau nahwu dan sharaf, dari sisi susunan
kalimat dan asal-usul kata, serta analisis tajwid dan qiraah atau tata
cara membaca al-Quran. Terkait dengan al-Quran, penguasaan ilmu-ilmu
tersebut merupakan pra-syarat mutlak untuk bisa membaca dan memahami
al-Quran dengan benar.
Meski disebut-sebut penyusunnya oleh dua orang, sebenarnya al-Mahalli
dan as-Suyuthi tidak mengerjakannya dalam waktu yang bersamaan.
Masing-masing penyusun yang berbeda generasi itu hanya menulis tafsir
separuh al-Quran pada masanya. Sebab ketika sang mufassir pertama
menyusun bagian pertama Tafsir Jalalain, mufassir kedua baru saja
memulai pengembaraannya mencari ilmu.
Sekali tempo liku-liku arah pengembaraan membuat keduanya bertemu dalam
hubungan guru dan murid. Namun setelah itu mereka berpisah lagi. Baru
beberapa tahun setelah sang guru wafat, sang murid datang untuk
meneruskan pekerjaan besar sang guru yang belum usai.
Penulis awal Tafsir Jalalain adalah Jalaluddin al-Mahalli, tokoh
kelahiran Kairo, Mesir, tahun 791H/1389 M, yang bernama asli Muhammad
bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad bin Hasyim al-Mahalli
al-Mishri asy-Syafi’i. Uniknya, entah mengapa, ulama besar yang juga
termasyhur karena kealimannya di bidang fiqih, ilmu kalam, nahwu dan
manthiq dan karya-karya besarnya, itu mengawali penulisan tafsirnya dari
Surah al-Kahfi yang terletak di pertengahan juz lima belas lalu terus
ke belakang hingga surah terakhir, An-Nas.
Usai menafsirkan Surah An-Nas, al-Mahalli lalu kembali ke halaman muka
Al-Quran, menafsirkan surah Al-Fatihah. Tadinya, setelah usai
menafsirkan surah pertama dalam Al-Quran itu ia akan melanjutkan dengan
surah Al-Baqarah, Ali Imran dan seterusnya hingga akhir surah Al-Isra.
Namun taqdir berkata lain, ketika baru selesai menulis tafsir
Al-Fatihah, sang Allamah berpulang ke haribaan Allah pada tahun 864
H/1459 M.
Gaya Yang Sama
Merasa sayang dengan karya besar sang guru yang nyaris terbengkalai,
belasan tahun kemudian, pekerjaan mulia itu pun dilanjutkan oleh salah
satu murid al-Mahalli yang saat itu telah menjadi ulama besar yang
sangat alim, Abdurrahman bin Kamaluddin Abi Bakar bin Muhammad
Sabiquddin bin Fakhrudin bin Utsman bin Nashiruddin Muhammad bin
Saifudin Khidhir al-Khudhairi As-Suyuthi Al Mishri Asy-Syafi’i, atau
Jalaluddin as-Suyuthi. Secara mengagumkan, As-Suyuthi melanjutkan
penafsiran dari Surah Al-Baqarah sampai akhir Surah Al-Isra di juz 15,
dengan metodologi serta pola dan gaya bahasa yang nyaris sama persis
dengan tulisan awal sang guru.
Jika bukan karena ada keterangan bahwa kitab tafsir itu disusun oleh dua
mufassir, orang-orang pasti akan mengira penyusun Tafsir Jalalain hanya
satu orang saja. Bahkan, untuk menyamakan metodologi dengan sang
pendahulu, As-Suyuthi juga meletakkan surah Al-Fatihah berikut
penafsirannya di akhir kitab.
Untuk melengkapi penjelasan dalam kitab-kitab tafsirnya, Imam as-Suyuthi
juga menyusun kitab Lubabun Nuqul yang menjelaskan asbabun nuzul
(sebab-musabab turunnya sebuah ayat) setiap surah. Pada edisi cetak
modern, kutipan asbabun nuzul setiap surah Al-Quran tersebut tertera
sebagai hasyiyah (catatan pinggir) kitab Tafsir Jalalain. Selain itu
juga dimuat kutipan kitab Nasikh wal Mansukh, karya Imam Ibnu Hazim.
Pemuatan asbabun nuzul tersebut dimaksudkan untuk menuntun pemahaman
akan makna tafsir yang benar sesuai dengan konteks sosial dan masalah
ketika ayat tersebut turun. Sedangkan nasikh wal mansukh (yang
membatalkan dan yang dibatalkan) merupakan salah satu sarana untuk
memahami kesimpulan yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran.
Meski terbilang sangat ringkas, informasi-informasi penting dalam Tafsir
Jalalain membuat kitab itu terus menjadi rujukan ulama, bahkan hingga
saat ini. Keringkasan penjabarannya juga mengundang minat banyak ulama
sesudahnya untuk menyusun komentar atas kitab tafsir tersebut. Sebut
saja Majma’ al-Bahrain Wa Mathla’ al-Badrain karya Syaikh Muhammad bin
Muhammad al-Karkhi, al-Futuhat al-Ilahiyyah atau Hasyiyah al-Jamal dan
Hasyiyah ash-Shawi karya Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Mishri
al-Maliki al-Khalwati.
Kebesaran dua tokoh penyusun Tafsir Jalalain sangat melegenda. Di
samping dikenal karena pembahasannya yang luas dalam setiap kitab,
Jalaluddin al-Mahalli dan as-Suyuthi juga telah menghasilkan karya yang
jumlahnya cukup banyak. Dalam bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran,
misalnya, as-Suyuthi telah menghasilkan sedikitnya dua puluh kitab,
seperti al-Itqan fi Ulumil Quran dan ad-Durrul Mantsur fi Tafsir Bil
Ma’tsur.
Semua kitab-kitab karya as-Suyuthi selalu menarik untuk dikaji. Sebab,
selain kajiannya yang mendalam, setiap karyanya juga mempunyai keunikan.
Kitab Ad-Durrul Mantsur, misalnya, ialah sebuah kitab tafsir al-Qur’an
yang sumbernya berasal dari hadits-hadits yang diriwayatkan
ath-Thabarani.
Dengan teliti as-Suyuthi menukil semua hadits marfu’ (periwayatannya
sampai kepada Rasulullah SAW) dan atsar (ucapan atau keterangan) para
sahabat dan tabi’in yang menafsirkan atau mengulas ayat-ayat al-Quran.
Namun, berbeda dengan setiap hadits selalu ia jelaskan juga derajat
keshahihannya, atsar-atsar yang nukilnya ia biarkan saja tanpa komentar.
Muhaddits Piawai
Selain mufassir, As-Suyuthi memang dikenal juga sebagai muhaddits
piawai. Tengok saja karya-karya dalam bidang hadits yang jumlahnya tak
kurang dua belas kitab. Di antaranya yang paling populer adalah Ainul
Ishabah Fi Ma’rifati ash-Shahabah, Durru ash-Shahabah Fi Man Dakhala
Mishra Minash Shahabah dan al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla’.
As-Suyuthi lahir ba’da Maghrib, malam Senin bulan Rajab 849 H, enam
tahun sebelum bapaknya wafat. Ia berasal dari lingkungan cendekiawan.
Tak heran sejak dini ayahnya berusaha mengarahkannya menjadi ilmuwan dan
orang shalih.
Sejak usia belia ia selalu diajak sang ayah menghadiri berbagai majelis
ilmu. Di forum yang mulai itu sang ayah sering meminta doa dari ulama
besar untuk anaknya. Salah satu ulama yang pernah mendoakan as-Suyuthi
agar menjadi ulama besar adalah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, muhaddits
besar penyusun kitab Bulughul Maram. Tak hanya mendoakan, setiap kali
minum segelas air usai mengajar, Syaikh Ibnu Hajar selalu menyisakan
sedikit untuk diminum as-Suyuthi.
Ketika sang ayah wafat, as-Suyuthi diasuh oleh Syaikh Kamaluddin bin
Humam al-Hanafi, pengarang kitab Fathul Qadir. Di bawah asuhan sang
allamah itulah as-Suyuthi berhasil hafal al-Qur’an di usia delapan
tahun. Setelah itu ia lalu menghafal kitab al-’Umdah, lalu Minhajul
Fiqhi Wal Ushul dan Alfiyah Ibnu Malik.
Ketika usianya menginjak 15 tahun, as-Suyuthi mulai berkelana dan
berguru kepada para ulama besar. Sebut saja Syaikh Siraajuddien
al-Balqini, yang mengajarnya berbagai kitab fiqih seperti al-Hawi
Ash-Shaghir, Al-Minhaj, Syarah Al-Minhaaj dan Ar-Raudhah. Syaikh
Sihabuddin Asy-Syaarmasahi dan Asy-Syari Al-Manawi Abaz Kuriya Yahya bin
Muhammad, guru-guru ilmu faraidh (waris)-nya.
As-Suyuthi juga menimba ilmu tata Bahasa Arab dan ilmu hadits kepada
Syaikh Taqiyuddin Asy-Syamini Al-Hanafi (w 872 H), dan berguru ilmu
tafsir, ilmu Ushul, ilmu bahasa Arab dan ilmu Ma’ani kepada Syaikh
Muhyiddin Muhammad bin Sulaiman Ar-Rumi Al-Hanafi selama empat belas
tahun. Ia juga sempat berguru kepada Jalaluddin Al-Mahalli (penyusun
pertama Tafsir Al-Jalalain) dan ‘Izzul Kinaani Ahmad bin Ibrahim
al-Hanbali, serta banyak lagi ulama yang lain.
Selain ilmu agama, Imam Suyuthi juga beberapa bidang ilmu umum seperti
ilmu hitung dan ilmu faraidl dari Majid bin As-Siba’ dan Abdul Aziz
Al-Waqaai, serta ilmu kedokteran kepada Muhammad bin Ibrahim Ad-Diwani
Ar-Rumi.
Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, salah satu murid As-Suyuthi mengatakan
dalam kitab Thabaqat-nya, bahwa gurunya telah berguru kepada lebih dari
600 ulama. Ditunjang modal kecerdasan, kekuatan hafalan dan keuletan
belajar, As-Suyuthi yang ahli ibadah, zuhud dan tawadhu’ pun segera
menjelma menjai seorang ulama besar yang memenuhi taraf kemampuan untuk
berijtihad.
Selain alim, Imam Suyuthi juga dikenal sebagai sosok yang teguh
pendirian dan tak suka menjilat kepada pemerintah. Bahkan ia tak pernah
mau menerima hadiah dari raja. Suatu ketika raja Ghuri memberinya hadiah
berupa uang seribu dinar dan seorang budak perempuan. Segera saja uang
itu dikembalikan. Sedangkan sang budak perempuan itu dimerdekakan. Ia
lalu berkata kepada sang raja, “jangan berusaha memalingkanku hanya
dengan memberi hadiah semacam itu, karena Allah telah menjadikanku tidak
merasa butuh lagi terhadap hal-hal semacam itu.”
Dan setelah hidup dengan penuh gemilang cahaya ilmu dan ibadah, ulama
yang telah menulis lebih dari 500 judul kitab itu wafat pada hari
Jum’at, 19 Jumadi Ula 911 H. Sebelumnya sang Allamah sempat menderita
sakit selama tujuh hari, sebelum akhirnya berpulang dalam usia 61 tahun
10 bulan 18 hari. Jenazah ilmuwan agung itu dimakamkan di pemakaman
Qaushun atau Qaisun, di luar pintu gerbang Qarafah, di Kairo, yang
terkenal dengan sebutan Bawwabah As-Sayyidah ‘Aisyah (Pintu gerbang
Sayyidah ‘Aisyah).
Sumber: disini
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar