Rabu, 15 Mei 2013

Bank Syariah


Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, Hal. 55:
Alasan Pembenaran Pengambilan Riba
            Sekalipun ayat-ayat dan hadis riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Diantaranya karena alasan berikut:
1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak menzalimi, diperkenankan.
3. Bank, sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
1.      Darurat:
Untuk memahami Pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan oleh syara’ (Allah dan Rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.
·        Imam Suyuti dalam bukunya, al-Asybah wan-Nadzair (الأشباه والنظائر), menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency di mana jika seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.
·        Dalam literatur klasik, keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan dua batasan.
·         
...فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (173)
“…Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedang dia (1) tidak menginginkan dan (2) tidak (pula) melampaui batasm maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)
            Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al-qawaid al-fiqhiyah seputar kadar darurat.
            Sesuai dengan ayat di atas, para ulama merumuskan kaidah, الضرورات تقدر بقدرها “Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya.”
            Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap, tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.

8. Ahkam al-Fuqaha’ (Keputusan Mu’tamar Nahdlatul Ulama) dalam Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Soal no. 28, 204, 316 dan 395; Hal. 28, 197, 338, dan 473:

Soal 28: Menerima Gadai dengan Mengambil Manfaatnya: - Sampai pada kata –
Jawaban: Dalam Masalah ini terdapat tiga pendapat dari para ahli hukum (ulama):
a.       Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente)
b.      Halal: sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sebab menurut ahli hukum yang terkenal, bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk syarat.
c.       Syubhat: (tidak tentu jelas halal haramnya) sebab para ahli hukum berselisih pendapat.
Adapun Muktamar memutuskan, bahwa yang lebih berhati-hati ialah pendapat yang pertama (haram).

Soal 204: Menitipkan Uang dalam Bank: - Sampai pada kata –
Jawaban: Adapun hukumnya bank dan bunganya, itu sama dengan hukumnya gadai yang telah ditetapkan hukumnya dalam putusan Muktamar ke 2 nomor 28.

Soal 316: Mendepositokan Uang dalam Bank: - Sampai pada kata –
Jawaban: Berdasarkan keputusan Konggres NU ke 12 tahun 1937 soal nomor 204, keputusan Konggres NU ke 2 tahun 1927 soal nomor 28, maka hukum mendepositokan uang kepada bank tersebut ada tiga pendapat: a. Haram, b. Halal, c. Syubhat. Dan Konggres berpendapat bahwa yang ahwath (lebih hati-hati/baik adalah pendapat yang pertama (haram)).

Soal 395: Masalah Bank Islam:
1. Para musyawirin masih berbeda pendapatnya tentang hukum bunga bank konvensional sebagai berikut:
a.       Ada pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya haram.
b.      Ada pendapat yang tidak mempersamakan antara bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya boleh.
c.       Ada pendapat yang mengatakan hukumnya syubhat (tidak identik dengan haram).
Pendapat pertama dengan beberapa variasi antara lain sebagai berikut:
a.       Bunga itu dengan segala jenisnya sama dengan riba sehingga hukumnya haram.
b.      Bunga itu sama dengan riba dan hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sementara sebelum beroperasinya sistem perbankan yang Islami (tanpa bunga).
c.       Bunga itu sama dengan riba, hukumnya haram. Akan tetapi boleh dipungut sebab adanya kebutuhan yang kuat (hajah rajihah).
Pendapat kedua juga dengan beberapa variasi antara lain sebagai berikut:
a.       Bunga konsumtif sama dengan riba, hukumnya haram, dan bunga produktif tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
b.      Bunga yang diperoleh dari bank tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
c.       Bunga yang diterima dari deposito yang dipertaruhkan ke bank hukumnya boleh.
d.      Bunga bank tidak haram, kalau bank itu menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum.
2. Mengigat warga NU merupakan potensi terbesar dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan sosial ekonomi, diperlukan adanya suatu lembaga keuangan sebagai peminjam dan pembina yang memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai dengan keyakinan kehidupan warga NU, maka dipandang perlu mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam, yakni bank tanpa bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Sebelum tercapainya cita-cita di atas, hendaknya sistem perbankan yang dijalankan sekarang ini harus segera diperbaiki.
b.      Perlu diatur:
1)      Dalam penghimpunan dana masyarakat dengan prinsip:
a)  Al-Wadi’ah (simpanan) bersyarat atau dhaman, yang digunakan untuk menerima giro (current account) dan tabungan (saving account) serta pinjaman dari lembaga keuangan lain yang manganut sistem yang sama.
b)  Al-Mudharabah, Dalam prakteknya, bentuk ini disebut investment account (deposito berjangka), misalnya 3 bulan, 6 bulan dan sebagainya, yang pada garis besarnya dapat dinyatakan dalam: 1. General investment account (GIA). 2. Special investment account (SIA).
2)      Penanaman dana dan kegiatan usaha:
a)    Pada garis besarnya ada 3 kegiatan, yaitu:
- Pembiayaan proyek.
- Pembiayaan perdagangan perkongsian.
- Pemberian jasa atau dasar upaya melalui usaha patungan, profit sharing dan sebagainya.
b)    Untuk proyek financing system yang dapat digunakan antara lain:
1.      Mudharabah muqaradhah
2.      Musyarakah syirkah
3.      Murabahah
4.      Pemberian kredit dengan service change (bukan bunga)
5.      Ijarah
6.      Bai’uddain, termasuk di dalamnya bai’ussalam
7.      Al-Qardhul hasan (pinjaman kredit tanpa bunga, tanpa service change)
8.      Bai’u bitsumanin aajil
c)    Untuk aqriten participation, bank dapat membuka LC (Letter of Credit) dan pengeluaran surat jaminan. Untuk ini dapat ditempuh kegiatan atas dasar:
1.      Wakalh
2.      Musyarakah
3.      Murabahah
4.      Ijarah
5.      Sewa-beli
6.      Bai’ussalam
7.      Al-Bai’ul aajil
8.      Kafalah (garansi bank)
9.      Warking capital financing (pembiayaan modal kerja) melalui purchase order dengan menggunakan prinsip murabahah.
d)    Untuk jasa-jasa perbankan (banking service) lainnya, seperti pengiriman dan transfer uang, jual beli valuta dan penukarannya dan lain-lain, tetap dapat dilaksanakan dengan prinsip tanpa bunga.
3)      Munas mengamanatkan kepada PBNU agar membentuk suatu tim pengawas dalam bidang syariah, sehingga dapat menjamin keseluruhan operasional bank NU tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah muamalah Islam.[1]
4)      Para musyawirin mendukung dan menyetujui berdirinya bank Islam NU dengan sistem tanpa bunga.

9. Sidang OrganisasiKonferensi Islam (OKI); diambil dari: Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Muhammad Syafi’I Antonio, Hal. 65.
            Semua peserta Sidang OKI kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama, yaitu sebagai berikut:
a.       Praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam.
b.      Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Hasil Kesepakatan inilah yang melatarbelakangi didirikannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).



[1] Ketentuan nomor 3 dan 4 tidak ditemukan di dalam buku Ahkam al-Fuqaha’. Akan tetapi, ia ada di dalam buku Bank Syariah; M. Syafi’I Antonio.

Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top