SIMBAH KH. SYAIROZI
Pada masa remajanya simbah
KH. Syairozi mondok di Kajen Malang ,
pada saat mengaji di Kajen beliau pernah melakukan tirakatan dengan cara ;
selama enam bulan beliau tidak makan apa-apa kecuali makan buah pace yang sudah
matang. Dan pernah melakukan ibadah I’tikaf dan beliau bisa mendapatkan
Lailatul Qodar.
Sehari-hari mBah KH. Syairozi
hanya disibukkan dengan membaca dan mengajarkan al-Qur’an serta mengajarkan
kitab-kitab, beliau membaca al-Qur’an mulai jam delapan pagi sampai masuk waktu
dhuhur.
Setelah mBah KH. Syairozi
menikah, beliau punya keinginan membangun sebuah rumah seperti layaknya
pasangan suami istri yang lain, namun karena keterbatasan kemampuan, keinginan
tersebut belum bisa diwujudkan, dan kebetulan beliau punya seorang kenalan
bernama Syuhada’ yang rumahnya di Kencong, dia menawarkan tanah sawah dan tanah
pekarangan miliknya seluas 4 bahu untuk dibeli oleh mBah KH. Syairozi,
”Sakjane aku kepingin tuku
sawah utowo pekarangan, nanging ora duwe opo-opo ”,
Kemudian Pak Syuhada’
menimpali : ”Sawahku rong bahu sewakno menyang pabrik!, kapan wis oleh duwik, wehno
nang aku kanggo bayar sawah lan pekarangan kuwi !”.
Setelah mBah KH. Syairozi
menerima pembayaran sewa sawah dari pabrik, kemudian beliau bayarkan uang
tersebut kepada Pak Syuhada’ dan selang beberapa waktu mBah KH. Syairozi amat
terpukul jiwanya, karena mBah H. Syukur pulang ke haribaan Alloh Ta’ala.
Setelah wafatnya orang tua, mBah KH. Syairozi mengajak musyawarah keluarga
segenap ahli waris dari mBah H. Syukur ” Dulur-dulur kabeh !, iki aku ora
njaluk warisan, mung yen sedulur kabeh setuju, aku kate nyilih sawahe sedulur
kabeh tak sewakno, perlune kanggo bayar
sawah lan pekarangan ning Kencong ”, “kapan mung ngono wae hiyo oleh”,
jawab para ahli waris.
Setelah pembayaran sawah dan pekarangan
di Kencong lunas, kemudian mBah KH. Syairozi mengajak kepada istrinya untuk
boyongan pindah ke Desa Kencong, sang istri tercinta pada awalnya tidak mau
pindah, karena khawatir di Kencong tidak ada aliran sungai, setelah diberi
penjelasan bahwa disebelah timur tanah pekarangan tersebut ada sebuah sungai,
dan di pekarangan tersebut sudah ada rumah kecil dan sebuah Musholla, maka sang
istri pun mau diajak pindah ke sana.
Tidak lama mBah KH. Syairozi
dan istrinya menempati rumah di Desa Kencong, beliau punya keinginan membangun
sebuah masjid sebagai ganti langgar tua yang sudah ada sejak sebelum beliau
beli dari Pak Syuhada’ Kencong. Disamping mendirikan sebuah masjid beliau juga
punya keinginan membangun sebuah pondok, keinginan beliau tersebut sempat
didengar oleh saudara-saudaranya, oleh karena itu mereka sepakat untuk memindah
rumah mBah H. Syukur Jombangan untuk dijadikan pondok di Kencong.
Rumah peninggalan mBah H. Syakur akhirnya
dipindah ke Kencong dan didirikan di sebelah timur jalan, tepatnya sebelah
timur pohon Sawo, kemudian pada waktu yang lain bangunan itu dipindah ke arah
barat, di dekatnya masjid, tepatnya di sebelah selatan masjid, yang dikenal
dengan pondok Umum. Yang akhirnya karena perkembangan pembangunan, maka pada
bulan Robi’ul Awwal tahun 1411 H, dipindah lagi di lokasi yang saat ini menjadi
kamar Masakini sebelah barat
sungai.
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar