Jumat, 06 Desember 2013

ILMU JARHI WAT-TA‘DIL dll

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu selalu menjaga Aquran dan hadist Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Alquran dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Hadis adalah pedoman umat Islam nomor dua setelah al-Qur’an yang tak boleh dilupakan, karena memang kedudukannya yang sentral sebagai pedoman untuk digunakan sebagai hujjah maupun dalil hukum dalam melaksanakan ibadah agar sesuai jalur syariatnya.
Sehubungan dengan itu perlu kita mengetahui dahulu tentang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan H{adis, seperti  Ilmu Jarh}i Wa At-Ta’dil, Ghorib, Asbab Al-Wurud, dan Tawarikh Al-Mutun Al-H{adis, dan lainnya. Di dalam makalah ini akan dibahas ilmu-ilmu tersebut
.
Ilmu-ilmu tersebut pada hakikatnya suatu bagian dari ilmu yang meneliti tentang Rawi, Sanad, dan Matan. Ilmu-ilmu tersebut merupakan ilmu yang menerangkan tentang hal-hal kecacatan yang menunjukkan sifat-sifat ketercelaan dan keadilan perawi juga sanad dan matan h}adis. Kemunculan ini erat kaitannya dengan kemunculan h}adis-hadist palsu. Seandainya para tokoh kritikus rawi tidak mencurahkan segala perhatiannya dalam masalah kemunculan h}adis-hadist palsu dengan dimulainya dari kasus pembunuhan Khalifah Ustman bin Affan yang berkembang menjadi kemunculan sekte-sekte hadist berlatar belakang politik dan hawa nafsu, niscaya akan terjadi kekacauan dalam urusan Islam.
Meneliti keadaan para rawi, menguji hapalan dan kekuatan ingatannya juga sanad dan matan h}adis, para Ulama’ menempuh rihlah yang panjang dan senantiasa mengingatkan untuk teliti dan berhati-hati terhadap perawi yang berdusta. Untuk lebih jelasnya dibicarakan dalam makalah ini.
 
 
1.2.     Rumusan Masalah
Diharapkan makalah ini bisa memberikan kita gambaran tentang bagaimana Adilnya seorang rawi serta keadaan Sanad dan Matan suatu H{adis benar-benar memenuhi syarat-syaratnya sehingga bisa dibuat pedoman.
 
1.3.     Tujuan dan Manfaat
Yakni supaya kita tahu mana H{adis-H{adis yang ‘adil dari segi sanad maupun matannya atau asbabul wurudnya. Dan mengetahui lafaz}-lafaz} yang tergolong ghorib atau tidak.
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
A.    ILMU JARH{I WAT-TA‘DIL
    Al-Jarh} secara bahasa merupakan isim mashdar dari kata jarah}a yang berarti luka yang mengalirkan darah, sedangkan menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalah annya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak. Kemudian terdapat pula istilah At-Tajrih}, yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pend}a’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
Al-‘Adlu secara bahasa berasal dari kata ‘adala yang berarti meluruskan atau berbuat adil. Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima, dan at-Ta’dil secara bahasa berasal dari kata ‘addala yang berarti artinya mensucikan. Sedang menurut istilah, al-‘adl adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadist (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan). Dan At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalah annya, dan diterima beritanya. 
Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib menta’rifkan Ilmu al-Jarh} wa at-Ta’dil adalah:
هو العلم الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أو ردهم.
“Suatu ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatannya” .
 
1.    Tingkatan-Tingkatan al-Jarh wa at-Ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadist bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, ked}abitannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam h}adis. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh.
 
2.    Tingkatan Lafazh-Lafazh Ta’dil
Pertama – Segala sesuatu yang menggunakan bentuk dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : Authaqun Nas (orang yang paling thiqah), Athbatun Nas hifz}an wa ‘adalatan (orang yang paling teguh/kuat hafalan dan keadilannya), Ilayhi al-muntaha fi thabti (orang yang paling teguh), Thiqatun fauqath at-thiqah (orang yang tsiqahnya melebihi orang yang tsiqah).
Kedua – Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-thiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafaz} (dengan mengulangnya) maupun dengan makna, seperti : thiqatun-thiqah, atau thiqatun-thabt, atau thab-thiqah, h}ujjatun-h{ujjah, h}ujjatun-h{afiz} dan atau d}abitun-mutqin.
Ketiga – Yang menunjukkan adanya penthiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : thiqah, thabt, mutqin atau hafiz}.
Keempat – Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : S}aduq (jujur), Ma’mun (dipercaya), atau laa ba’sa bihi (orang yang tidak cacat). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat la ba’sa bihi adalah thiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan kethiqahan perawi tersebut).
Kelima – Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan, seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya).
Keenam – Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya), shaduuq in syaa’allah (orang yang in sya Allah jujur).
 
3.    Hukum Tingkatan-Tingkatan Ta’dil
    Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
    Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
    Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
 
4.    Tingkatan Lafazh-Lafazh Jarh
Pertama – Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).
Kedua – Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).
Ketiga – Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
Keempat – Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).
Kelima – Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits).
Keenam – Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan, seperti : Akdzabun Naas (orang yang paling pembohong), atau ilaihil muntahaa fil wadl’i (ia adalah puncak dalam kedustaan).
 
5.    Hukum Tingkatan-Tingkatan Jarh
  • Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
  • Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali. 
 
6.    Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
Para penyusun mempunyai metode yang berlainan:
a.        Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yangdla’if saja dalam karyanya.
b.        Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.
c.        Sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat.
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka :
  1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H).
  2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir[/I].
  3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H).
  4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H).
 
B.    ILMU GHARAIB AL-H{ADIS
 
1.    Pengertian ilmu gharib al-Hadits
 
Ibnu Shalah menta’rifkan Ilmu Gharibil-Hadits, ialah Ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadh-lafadh dalam matan Hadits yang sulit lagi sukar difahamkan, karena jarang sekali digunakannya.
Dengan memperhatikan ta’rif tersebut, hanyalah kiranya bahwa yang menjadi obyek ilmu Gharibil-Hadits ialah kata-kata yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahamkan maksudnya. Dan nyata pulalah kiranya tujuan yang hendak dicapai oleh ilmu ini, ialah melarang seseorang menafsirkan secara menduga-duga dan mentaqlidi pendapat seseorang yang bukan ahlinya.
Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang tentang arti suatu lafadh gharib yng terdapat dalam sebuah matan Hadits, tetapi karena beliau merasa tidak mampu, lalu menjawab, ujarnya : “Tanyakannlah kepada seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidang Gharibil-Hadits, karena aku tak suka memperkatakan sabda Rasulullah SAW dengan purbasangka”.
Begitu pula Al-Ashmu’iy, ketika ditanya oleh seseorang tentang arti Hadits yang berbunyi : “Tetangga itu berhak untuk didekati". Beliau mengatakan : “ Saya enggan menafsirkan sabda Rasulullah ini tetapi orang-orang Arab menyangka, bahwa lafadh “Sabqi” itu artinya al-Laqiz ( janbun=dekat).
 
2.      Cara-Cara menafsirkan ke-Gharib-an al-Hadits.
 
Para Muhadditsin mengemukakan hal-hal yang dapat digunakan untuk menafsirkan ke-Gharib-an matan Hadits. Di antara hal-hal yang dipandang baik untuk menafsirkan ke-Gharib-an Hadits ialah:
a.        Hadits yang sanadnya berlainan dengan hadits yang bermatan gharib tersebut.
a.        Penjelasan dari Sahabat yang meriwayatkan Hadits atau dari Sahabat lain yang tidak     meriwayatkannya.
b.        Penjelasan dari rawi selain sahabat.
Contohnya :
Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau bersabda (yang artinya) : “ Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih ‘Atirah”. Berkata Abu Ubaid dalam "Gharibul Hadits" (1/195) : "’Atirah adalah sembelihan di bulan Rajab yang orang-orang jahiliyah mendekatkan diri kepada Allah dengannya, kemudian datang Islam dan kebiasaan itu dibiarkan hingga dihapus setelahnya (setiap tahun). Tahukah kalian apa itu ‘atirah ? Inilah yang biasa dikatakan orang dengan nama Rajabiyah”. [Diriwayatkan Ahmad (4/215), Ibnu Majah (3125) Abu Daud (2788) Al-Baghawi (1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasa'i (7/167) dan dalam sanadnya ada rawi bernama Abu Ramlah, dia majhul (tidak dikenal). Hadits ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan Ahmad (5/76) namun sanadnya lemah. Tirmidzi menghasankannya dalam "Sunannya" dan dikuatkan Al-Hafidzh dalam Fathul Bari (10/4), Lihat Al-Ishabah (9/151)].
 
3.      Perintis Ilmu Gharib al-Hadits dan Kitab-kitabnya.
Kebanyakan para Muhadditsin menganggap bahwa perintis Ilmu Gharibil-Hadits itu adalah Abu Ubaidah Ma’mar bin Mutsanna at-Taimy salah seorang Ulama Hadits yang berasal dari kota Basrah. Beliau Meninggal pada tahun 210 H. Sebagian Ulama Hadits yang lain berpendapat bahwa promotor ilmu tersebut ialah Abu Hasan an Nadir bin Syamil Al-Maziny, seorang ulama ilmu Nahwu, yang meninggal pada tahun 204 H. ia adalah seorang guru dari imam Ishaq bin Rahawaih, guru imam Bukhary itu.
Ilmu yang telah dirintis oleh kedua ulama tersebut disempurnakan dan dikenbangkan oleh ulama-ulama kemudian, hingga melahirkan beberapa kitab gharibil-Hadits yang sangat berguna dalam memahami Al-Hadits. Kitab-kitab itu antara lain :
  1. Gharibil Hadits oleh Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (157-224 H). Tidak sedikit para ahli ilmu yang memuji kitab itu sebagai kitab yang kaya akan faidah dan berharga.
  2. b.        Al-Faiqu fi Gharibil-Hadits, karya Abu Qasim Jarullah Mahmud bin Umar Az-Zumakhsyary (468-538) Kitab yang mencangkup seluruh ilmu Gharibil Hadits yang telah ditulis oleh ulama-ulama yang mendahuluinnya itu telah dicetak berulang kali di Hayderabab dan Mesir.
  3. c.        An-Nihayah fi Gharibil-Hadits wal-Atsar, karya Imam Majdudin Abis- Sa’adat Al-Mubarak bin Muhammad ( Ibnu’I Atsir ) Al-Jazary (544-606 H). Buku ini merupakan buah daripada hasil-karya ulama-ulama sebelumnya yang diperbaiki susunannya menurut alfabetis dari lafadh-lafadh yang gharib. Hadits-Hadits yang ada hubungannya denagn hadits yang Gharib itu dikemukakan pula serta ditafsirkankanlah kalimat demi kalimat hingga hilang keGharibannya. Kitab yang terdiri dari 4 jilid itu dicetak berulang kali diMesir. Pada cetakan yang terakhir, ia dijadikan 5 jilid dengan diberi tahqiq ( interpensi ringkas ) oleh kedua ulama besar, Tharir Ahmad Az-Zawy dan Mahmud Muhammad At-Thanahy dan dicetak oleh Daru Ihya’l-kutubi’l Arabiyah (Mesir) pada tahun 1383 H = 1963 M.
  4. d.        Kemudian disusul oleh Abu Hafsh umar bin Muhammad bin Raja’I Al-Ukbury ( 380-458H). Ia adalah salah seorang guru Abu Yahya Muhammad bin Al-Husain Al-Farra Al-Hanbaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.
 
C.    ILMU ASBAB AL-WURUD AL-H{ADIS
 
Secara Etimologis Asbab al-Wurud merupakan susunan idhafat yang berasal dari gabungan kata asbab dan al-wurud. Kata asbab merupakan bentuk jamak dari kata sabab yang berarti tali atau penghubung, yakni segala sesuatu yang lain, atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata wurud merupakan bentuk masdar dari kata warada-yaridu-wurudan, yang berarti datang atau samapai kepada sesuatu. Sehingga Asbab al-Wurud disini dapat diartikan sebagai sebab-sebab datangnya atau keluarnya hadits nabi. Sedangkan secara Istilah ada beberapa pengertian Asbab al-Wurud yang dapat kita ambil dari beberapa pakar hadits:
 
1.      Menurut Hasby Ash-Shiddieqy Asbab al-Wurud adalah:
علم يعرف به السبب الذي ورد لأجله الحديث و الزمان الذي جاء فيه
Artinya: Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan itu.
 
2.      Menurut Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Sayuti pada kitabnya            Al-Luma’ fi Asbab al-Wurud al-Hadits:
انه ما يكون طريقا لتحديد المراد من الحديث من عموم او خصوص او اطلاق او تقييد او نسخ او نحو ذلك
Artinya: Sesuatu yang menjadi jalan untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, atau untuk menentukan ada tidaknya naskh (penghapusan) dalam suatu hadits, atau yang semisal dengan hal itu.
 
3.      Abdul Mustakim mendefinisikan:
علم يعرف به الاسباب التي ورد لاجلها الحديث و الزمان الذي جاء به ما ورد الحديث ايام وقوعه من حادثة او سؤال الذي يساعد على تحديد المراد من الحديث من عموم او خصوص اواطلاق او تقييد او نسخ او نحو ذلك
Artinya: Ilmu yang menerangkan sebab-sebab dari masa Nabi menuturkan sabdanya. Atau ilmu yang mengkaji ttentang hal-hal yang terjadi di saat hadits di sampaikan, berupa peristiwa atau pertanyaan, yang hal itu dapat membantu atau menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum atau khusus, mutlaq atau muqayyad, atau untuk menentukan ada tidaknya naskh (penghapusan) dalam suatu hadits, atau yang semisal dengan hal itu.
Dari definisi –definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu Asbab al-Wurud adalah ilmu yang menjelaskan sebab-sebab keluarnya Hadits, baik berupa peristiwa atau keadaan yang terjadi, waktu maupun karena ada pertanyaan. Sehingga dapat memahami kejelasan hadits baik dari segi umum dan khusus, mutlaq atau muqayyad, atau untuk menentukan ada tidaknya naskh (penghapusan) dalam suatu hadits
 
1.    Fungsi Asbab al-Wurud.
Dari pengertian Asbab al-Wurud di atas maka dapat dilihat ada beberapa fungsi dari Asbab al-Wurud ini, yaitu:
1.        Menentukan adanya takhshish hadits yang bersifat umum.
2.        Membatasi pengertian hadits yang masih mutlaq.
3.        Men-tafshil (merinci) hadits yang masih bersifat globab (umum).
4.        Menentukan ada atau tidaknya nasikh-mansukh dalam suatu hadits.
5.        Menjelaskan ‘illah (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hokum
6.        Menjelaskan maksud suatu h}adist yang masih musykil. (sulit dipahami atau janggal).
Contoh dari fungsi Asbab al-Wurud sebagai takhsis terhadap sesuatu yang masih bersifat umum dan juga menjelaskan ‘illah (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum, misalnya hadits:
صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم
Artinya: Shalat orang yang sambil duduk pahalanya setengah dari orang yang shalat sambil berdiri.
Asbab al-Wurud dari hadits di atas adalah ketika penduduk Mandinah sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Kebanyakan para sahabat melakukan shalat sunnah sambil duduk. Ketika itu Rasulullah datang menjenguk dan mengetahui bahwa para sahabat suka melakukan shalat sunnah sambil duduk walaupun dalam keadaan sehat. Kemudian Rasulullah bersabda sebagaimana hadits di atas. Mendengarkan sabda Rasulullah para sahabat yang tidak sakit kemudian shalat sunnah dalam berdiri.
Dari Asbab al-Wurud tersebut maka dapat dipahami bahwa kata “shalat” (yang masih bersifat umum pada h}adist tersebut) adalah sahalat sunnah (khusus). Dan dari penjelasan tersebut dapat dipahami pula bahwa boleh melakukan shalat sunnah dalam keadaan duduk namun hanya akan mendapatkan pahala setengah apabila dalam keadaan sehat. Tetapi apabila dalam keadaan sakit dan melakukan shalat dalam keadaan duduk maka akan mendapatkan pahala penuh. Hal ini merupakan penjelasan dari sebab-sebab ditetapkannya suatu hukum shalat sunnah sambil sambil duduk. Contoh dari Asbab al-Wurud yang berfungsi sebagai pembatasan terhadap pengertian mutlaq sebagaimana hadits berikut:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من سن فى الاسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل اجر من عمل بها ولا ينقص من اجورهم شيء من سن فى الاسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من ازوارهم شيء
Artinya: Rasulullah bersabda: barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau prilaku yang baik) dalam Islam, lalu sunnah itu diamalkan oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Demikian pula sebaliknya, barang siapa yang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikit pun dosa yang mereka peroleh.
Asbab al-Wurud hadits tersebut adalah ketika Rasulullah bersama-sama sahabat, tiba-tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin, meliahat hal demikian Rasulullah merasa iba kepada mereka. Setelah shalat berjama’ah Rasulullah berpidato yang menganjurkan untuk berinfak. Mendengar hal tersebut seorang sahabat keluar dan membawa sekantong makanan untuk orang-orang miskin tersebut. Melihat hal tersebut maka Rasulullah bersabda sebagaimana hadits di atas.
Melihat Asbab al-Wurud di atas, kata sunnah yang masih bersifat mutlak (belum dijelaskan oleh pengertian tertentu) dapat disimpulkan adalah sunnah yang baik, dalam hal ini adalah bersedekah. Contoh Asbab al-Wurud yang berfungsi untuk menentukan adanya suatu nasikh – mansukh sebagaimana hadits berikut:
Hadits pertama:
افطر الحاجم و المحجوم
Artinya: Batal puasa bagi orang yang membekam dan yang dibekam
Hadits kedua:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يفطر من قاء ولا من احتلم ولا من احتجم
Artinya Rasulullah bersabda: Tidak batal puasa orang yang muntah, orang yang bermimpi kemudian keluar sperma dan orang yang berbekam.
Kedua hadits tersebut tampak saling bertentangan, yang pertama menyatakan bahwa orang yang membekam dan dibekam sama-sama batal puasanya. Sedangkan hadits kedua menyatakan sebaliknya. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hazm, hadits pertama sudah di-nasikh (dihapus) dengan hadits kedua. Karena hadits pertama lebih awal datangnya dari hadits kedua. Contoh Asbab al-Wurud yang menjelaskan maksud hadits yang masih musykil (sulit dipahami atau janggal) adalah sebagaimana hadits berikut:
من تشبه قوما فهو منهم
Artinya: Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka termasuk golongan mereka.
Asbab al-Wurud dari hadits ini adalah ketika dalam peperangan umat Islam dengan kaum kafir, Rasulullah kesulitan membedakan mereka mana yang teman dan mana yang lawan. Kemudian Rasulullah menginstruksikan kepada pasukan umat Islam agar memakai kode tertentu agar berbeda dengan musuh.  Dan yang masih menggunakan kode seperti musuh akan kena panah kaum pasukan Islam.
1.    Cara-cara Mengetahui Asbab al-Wurud
Diantara beberapa cara mengetahui Asbab al-Wurud dari hadits-hadits adalah sebagai berikut:
1.            Asbab al-Wurud dapat dilihat pada hadits tersebut, karena Asbab al-Wurud terdapat pada hadits itu sendiri. Contoh:
انه قيل لرسول الله صلى الله عليه وسلم اتوضأ من بئر بضاعة , وهي بئر يطرح فيه الحيض , ولحم الكلب و النتن فقال : الماء طهور لا ينجسه شئ
Artinya: Bahwa beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan Rasulullah: Apakan tuan mengambil air wudhu dari sumur Budho’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing dan barang-barang busuk? Jawab Rasululla: Air itu suci, tidak ada sesuatu yang menjadikannya najis.
2.            Asbab  al-wurud yang dapat dilihat pada hadits lain, karena Asbab al-Wurud hadits tersebut tidak tercantum pada haditsnya sendiri. Contoh dalam hal ini adalah pada hadits tentang Niat dan hijrah berikut ini:
ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها او امرأة ينكحها فهجرته الى ما هاجر اليه.
Artinya: “… Barang siapa yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang bakal dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang diniatkannya saja.”
Asbab al-Wurud pada hadits tersebut tidak terdapat pada hadits itu sendiri, namun terdapat pada hadits lain, yaitu pada hadits yang ditakhrijkan oleh Al-Thabarany yang bersanad tsiqah dari Ibnu Mas’ud berikut ini:
كان بيننا رجل خطب امرأة يقال لها ( ام قيش ) , فأبت ان يتزوجها حتى يهاجر , فهاجر فتزوجها . كنا نسميه
 ( مهاجر ام قيش)
Artinya: Konon pada jama’ah kami terdapat seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan yang bernama Ummul Qais. Tetapi perempuan itu menolak untuk dinikahinya, kalau laki-laki pelamar tersebut enggan berhijarh ke Madinah. Maka ia lalu hijrah dan kemudian menikahinya. Kami namai laki-laki itu Muhajir Ummi Qais”
3.            Asbab al-Wurud dapat dilihat pada aqwal shahabat atau informasi shahabat. Contoh pada hal ini dapat kita lihat pada hadits berikut:
الميت يعذب ببكاء اهله عليه
Artinya: Si Mayyit akan diazab dengan sebab tangisan keluarga atasnya.
Asbab al-wurud pada hadits ini terdapat pada penjelasan Aisyah bahwa ketika jenazah orang Yahudi melewati Rasulullah, mereka menangisi mayyit tersebut sehingga Rasulullah bersabda demikian. Hal ini karena disebabkan pada tradisi menangisi mayyit orang Yahudi ketika itu dengan ratapan, mencakar atau menampari wajah sendiri atau pun menyobek-nyobek baju, sehingga menggambarkan ketidakrelaan dengan takdir kematian tersebut. Sedangkan tangisan dengan wajar sebagai bentuk belasungkawa diperbolehkan.
4.            Asbab al-wurud melalui ijtihad, hal ini dilakukan apabila ada ditemukan riwayat yang jelas mengenai asbab al-wurud. Ijtihad ini dilakukan dengan cara melihat sejarah sehingga mampu menghubungkan antara ide dalam teks hadits dengan konteks munculnya hadits. Contoh hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لن يفلح قوم ولوا امرهم امرأة
Artinya: Rasulullah bersabda: Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusannya (untuk memimpin) mereka kepada perempuan.
 
D.    ILMU TAWARIKH AL-MUTUN
 
1.    Sekilas Mengenai Ilmu Ma’anil Hadits.
 
Kajian tentang bagaimana memahami hadits sebenarnya sudahmuncul sejak kehadiran Nabi Muhammad Saw, terutama sejak beliaudiangkat sebagai rasul, yang kemudian dijadikan panutan (uswahhasanah) oleh para sahabat.
Ilmu ma’anil hadits adalah disiplin ilmu-ilmu hadits yang terkaitdengan objek kajian matan hadits, yang sudah diaplikasikan paraulama’ dulu dalam ilmu gharibul hadits, nasikh mansukh, mukhatalifulhadits, tarikhul mutun, asbabul wurud dan sebagainya.
Dilihat dari segi objek kajiannya, ilmu Ma’anil hadits memliki duaobjek kajian, yaitu objek material dan objek formal. Objek materialadalah bidang penyelildikan sebuah ilmu yang bersangkutan. Dalamperspektif filsafat ilmu, objek material yang sama dapat di pelajari olehpelbagai ilmu pengetahuan yang berbeda, dimana masing-masingmemandang objek itu dari sudut yang berlainan. Misalnya objek Illmu Taawarikhul Muutun. Materialnya adalah manusia. Ilmu psikologi akan melilhat dari sisiperilaku dan sikapnya, sedangkan ilmu sosiologi akan melihatnya darisisi hubungan dan interaksi sosial yang terjadi pada manusia tersebut.
Dengan demikian, objek material ilmu ma’anil hadits adalah hadits Nabi SAW. Mengingat ilmu ma’anil hadits merupakan cabangilmu hadits. Sedangkan objek formalnya adalah objek yang yangmenjadi sudut pandang dari mana sebuah ilmu memandang objekmaterial tersebut. Karena ilmu ma’anil hadits berkaiatan denganpersoalan makna (meaning) dan interpretasi sebuah teks hadits, makaobjek formalnya adalah matan atau redaksi hadits itu sendiri di lihatdari segi bagaimana maksud atau pengertian redaksi tersebut.Dalam study ilmu hadits, apabila objek kajiannya di fokuskanpada masalah sanad, maka akan dikaji dalam ilmu hadits riwayah.
Ilmu ini kemudian di kembangkan pada persoalan mencari kredibilitasperawi, melalui metodhe jarah wa ta’dil. Namun apabila titik tekanobjek kajiannya adalah pada aspek sejarah dan latar belakangmunculnya hadits serta perluasan makna hadits, maka hal itumerupakan wilayah ilmu tawarikhul mutun. Demikan halnya apabilafokus kajiannya pada upaya menjelaskan latar belakang dan sebab-sebab lahirnya hadits maka akan di kaji dalam ilmu tawarikhul mutun.
 
2.    Ta’rif dan Maudlu’nya Ilmu Tawarikh Al-Mutun
Ilmu Tawarikhul mutun adalah seimbang dengan ilmu tawarikhi an-Nuzul,yaitu:
علم يعرف به تاريخ ورود الحديث الشريف .
 “ilmu yang dengan dia diketahui sejarah datang hadits yang mulia”  .
Ilmu tawarikhul mutun ini adalah ilmu yang mengkaji tentangsejarah matan hadits. Termasuk dalam konteks ilmu Tawarikhul Mutun sebenarnya perlu dikembangkan teori kategori hadits hadits makkiyah dan madaniyah, sebagaimana dalam kajian Ulumul Qur’an. Sebab boleh jadi masing-masing redaksi akan memiliki kekhasan redaksional maupun isi kandungannya. Hal ini akan membantu mencari manahadits yang nasikh dan mana mansukh.
Di samping itu, pengetahuan hadits makkiyah dan madaniyah juga akan memberikan informasi tentang bagaimana evolusi perkembangan syari’at islam.  Ada beberapa jalan untuk mengetahui Tawarikh Al-Mutun Al-H{adits,diantaranya:
 
a)        Dengan terdapat perkataan :
permulaan yang terjadi, adalah begini, أَوَّلُ مَا كَانَ =
Hadits yang diberitakan‘aisyah yaitu:
أََوَّلُ مَا بَدَئَ بِهِ رَسُوْلُ الله ِمِنَ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِح (رواه البخاري ومسلم)
 “Permulaan wahyu, yang dengan wahyu itu dimulaikannya kepada Rasulullah SAW adalah mimpi benar” ( H.R. Bukhari-Muslim).
Dan seperti hadits :
أَوَّلُ مَا نَهَنِيْ رَبِّى بَعْدَ ْعِبَادَةِ اْلأَوْثَانِ شُرْبُ الْخَمِرِ وَمُلاَحَاتِ الرِّجَالِ (رواه ابن ماجه)
 “Permulaan yang dilarang aku daripadanya oleh tuhanku sesudah dilarang menyembah berhala, ialah: meminum arak dan mempermainkan orang lelaki”.(H.R. Ibnu Majah).
Diantara kitab-kitab hadits yang menerangkan apa yang mula-mula dilakukan nabi, atau diperintah nabi ialah : Ibnu Abi Syaibah. Didalam musnadnya dikhususkan satu bab dalam hal ini.
b)        Dengan disebut lafadh “Qablu’ : sebelum, seperti hadist jabir, yaitu:
 “ Adalah rasulullah SAW mencegah kami membelakangi kiblat, atau menghadapnya dengan kemaluan-kemaluan apabila kami membuang air. Kemudian aku melihat nabi, setahun sebelum beliau wafat, menghadapinya”. (H.R. ahmad dan Abu Daud)
c)        dengan terdapat perkataan ba’du = kemudian, sesudah, sepertih}adis.
 “Sesungguhnya jabir telah melihat nabi SAW mengusap atas khufnya.Maka seorang bertanya: apakah sebelum turun surah al-maidah,ataukah sesudahnya? Maka jabir menjawab : aku tiada memeluk agama islam melainkan sesudah turun surah al-maidah”. (H.R.Bukhari)
d)        Dengan perkataan :” akhirul Amraini” = yang terakhir dari duaurusan, seperti hadist jabir Ibn Abdullah :
“ Adalah yang terakhir dari dua urusan rasulullah, ialah tidak berwudhu, karena memakan daging yang disentuh api”. (H.R. AbuDaud dan lain-lain).
e)        dengan terdapat kalimat “bi syahrin” = dengan sebulan, seperti :
hadist Abdullah Ibn ukaein :
 “ telah datang kepada kami kitab rasulullah sebelum wafatnya dengan dua bulan, yaitu : janganlah kamu mengambil manfaat dari bangkai,baik kulitnya, maupun uratnya. ( H.R. Abu daud, an-nasai, at-thurmudzidan Ibnu majah).
Dan dengan terdapat kalimat tahun seperti hadist buraidah yang diriwayatkan oleh muslim, yaitu :
 “Adalah rasulullah SAW berwudhu buat tiap-tiap shalat. Maka pada tahun pengalahan mekah, beliau bershalat beberapa shalat dengan satu kali wudhu”
Ilmu tawarikhul mutun juga berfungsi menganalisis sebuahperkembangan makna kata dalam hadits, sehingga kita memperolehinformasi secara akurat bahwa suatu kata pada kurun waktu itumemiliki makna tertentu, sedangkan pada kurun waktu yang lainmemiliki makna yang lain. Sebagai contoh hadits yang Artinya:
“Sulaiman bercerita kepada kami, ismail memberi kabar kepada kami, Abbullah ibn said ibn abi hind memberi kabar kepada saya, dari ayahnya, dari ibn Abbas bahwa nabi Saw. Bersabda: “Barangsiapa yang di kehendaki Allah menjadi orang baik maka ia akan di pahamkan mengenai masalah agama (H.R. Ahmad)
Hadits tersebut oleh sebagian orang hanya di pahami secara fiqh oriented, sehingga paham agama hanya berarti paham ilmu fikih,sebab dalam hadits tersebut ada kata yufaqqihhu fil ad-din. Padahal agama tidak hannya persoalan fikih. Dahulu kata fikih maknanya lebih luas termasuk persoalan akidah. Namun kata ‘fiqh’ menjadi menyempit maknanya setelah berkembangnya ilmu fikih yang seolah hannya mengurus hukum halal haram, makruh sunnah, yang terkesan‘hitam putih’ dalam melihat persoalan.
 
3.    Faedah mempelajari Ilmu Tawarihkul Mutun
Karena demikian maudlu’nya, maka ilmu tawarikhul mutun inisangat berguna dan berperan sekali untuk mengetahui nasikh danmansukhnya suatu hadits.
 
4.    Perintis Ilmu Tawarihkul Mutun dan kitabnya
Ulama’ yang dianggap promotor dalam ilmu ini dan menulisdalam satu kitab yang berdiri sendiri, ialah Imam Sirajuddin Abu Hafsh‘Amar bin Salar Al-Bulqiny, dengan buah karyanya yang diberi nama Mahasin al-Isthilah.
 
 
BAB III
PENUTUP
 
A.    KESIMPULAN
Ilmu-ilmu H{adīth diatas merupakan cabang dari Ilmu Hadist yang menempati proporsi tertentu dalam periwayatan h}adis. Hal ini dikarenakan dalam ilmu-ilmu tersebut, yang menjadi pembahasan adalah sanad, matan, dan rawi h}adis. Karena itu, ilmu-ilmu tersebut sangat berguna dan amat penting untuk diterapkan.
Mengingat dalam kesejarahan Islam, pasca kewafatan Rasulullah saw. pernyataan-pernyataan yang diklaim merupakan hadist beliau – padahal bukan –semakin berkembang di kalangan umat Islam, tak ayal ini eksistensi dari ilmu ini semakin diperlukan. Hal ini untuk mengetahui serta membedakan para periwayat yang jujur dari yang berbohong.
Di era globalisasi yang sarat dengan perkembangan segala jenis ilmu pengetahuan sekarang ini, semakin tampaklah pentingnya ilmu–ilmu tersebut. Tidak bisa dibayangkan kesulitan yang akan dihadapi seseorang yang ingin meneliti hadist tanpa adanya ilmu–ilmu tersebut, karena sebagaimana telah diketahui bahwa para periwayat hadist telah meninggal ribuan tahun lalu. Karenanya, eksistensi ilmu ini bagaimanapun harus tetap dipertahankan hingga kapan pun, sebagai bagian dari khazanah keilmuan hadist pada khususnya, dan Islam pada umumnya.
 
B.    SARAN
Dengan demikian maka saran kami bahwasannya marilah kita teliti tentang mas`alah hadist yang merupakan pedoman bagi kita, yang mana kita punya kewajiban untuk menjaganya dari h}adis-hadis yang palsu.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
  1. Ushulul-Hadis dan Muqaddimah, Al-Jarh} wat-Ta’dil 3/1.
  2. Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits. Cetakan I (Bandung: PT. _________Alma’arif, 1974)
  3. Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits
  4. Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A.Ilmu Ma’anil Hadits,Idea Press, Yogyakarta, 2008,
  5. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy,Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits jilid II,Bulan Bintang, _________Jakarta, 1981,

Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top