Minggu, 15 Desember 2013

ISLAM DALAM FENOMENA LINGKUNGAN HIDUP 4

  1. Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati Dan Hewani
1.      Pelestarian Hutan
Hutan dan segala ekosistem yang berada di dalamnya merupakan bagian dari komponen penentu kestabilan alam.
Keanekaragaman hayati menjadi kekayaan luar biasa yang sanggup memberikan inspirasi bagi pecinta alam, tentunya bukan sebagai sarana hiburan, namun demi memahami makna kekuasaan agung sang pencipta. Pepohonan di hutan menjadi tumpuan sekaligus penahan resapan air dalam tanah, sehingga air tidak mudah terlepas meluncur menjadi bencana banjir yang menyengsarakan manusia. Hewan-hewan melengkapi kekayaan hutan menjadi bermakna lebih. Suasana ini seolah mengatakan kepada kita, bahwa di dunia ini bukan hanya manusia saja yang menjadi makhluk Allah tapi masih ada hewan dan tumbuhan yang senantiasa hidup dan tumbuh serasi dengan sunatullah yang telah digariskan.

Islam menempatkan ekosistem hutan sebagai wilayah bebas (al-mubahaat) dengan status bumi mati (al-mawaat) dalam hutan-hutan liar, serta berstatus bumi pinggiran (marafiq al-balad) dalam hutan yang secara geografis berada di sekitar wilayah pemukiman. Kedua jenis hutan ini memiliki nilai persamaan dalam prinsip-prinsip pengaturannya, dimana semuanya masih menjadi bidang garapan pemerintah. Dan pemerintah juga berhak memberikan ijin penebangan hutan selama tidak berdampak negatif pada lingkungan sekitar.[1]
Hanya saja dalam jenis hutan bebas (liar), secara prinsip asal, legal untuk dimanfaatkan oleh siapapun, baik untuk dijadikan sebagai kepemilikan (ihya' li al-tamalluk) maupun untuk diambil kekayaan alam yang ada didalamnya. Sehingga wajar sampai saat ini masih kita kenal model pembukaan lahan hutan sebagai pemukiman maupun persawahan seperti yang terjadi pada hutan-hutan di daerah Sumatera dan Kalimantan dalam program transmigrasi. Hal ini tidak bisa dimaknai sebagai perusakan lingkungan karena secara alami pertambahan jiwa akan selalu menuntut pertambahan lokasi pemukiman.[2]
Dalam wacana ini Islam menunjukkan kepeduliannya akan lingkungan dengan melarang pemanfatan kategori hutan semacam itu jika memang pemerintah memandang hutan-hutan tersebut berperan vital dalam kestabilan ekosistem.[3]
Untuk jenis hutan yang termasuk marafiq al-balad karena secara lazim penduduk sekitar selalu memanfaatkannya untuk keperluan penggembalaan binatang, sebagai sumber kayu bakar serta untuk keperluan lain, maka bagi pemerintah tidak diperkenankan mengalihkan pemanfaatan kawasan itu untuk kepentingan personal maupun kelompok tertentu. Dalam arti, hak dari rakyat yang berada di sekitarnya maupun yang berada jauh dari kawasan itu adalah sama. Dan mengenai intervensi pemerintah dalam melarang penebangan pohon dalam kawasan ini mutlak diperbolehkan seperti dalam hutan liar.[4]
Dari uraian di atas, terlihat bahwa pemerintah memegang peranan penting dalam setiap kebijakannya tentang pengaturan hutan. Sehingga syariat menganggap pencurian kayu di hutan merupakan tindakan yang ilegal dan harus ditindak tegas. Bahkan kayu-kayu tersebut haram untuk diperdagangkan.[5]
Pada bagian lain Islam juga sangat menganjurkan pelestarian sumber daya alam hewani. Dan hal ini dapat kita pahami dari beberapa konsep syariat sebagai berikut :
Pertama, Islam tidak memperkenankan pembunuhan hewan selain untuk kepentingan konsumsi. Padahal hewan yang diperbolehkan untuk dikonsumsi dalam Islam rata-rata termasuk hewan yang mempunyai populasi cukup banyak, bukan termasuk hewan-hewan langka yang populasinya semakin sedikit.[6]
Kedua, syariat juga tidak memperbolehkan penyiksaan hewan, baik dengan cara memperlakukan tidak semestinya maupun dalam bentuk penyiksaan lainnya.[7]
Ketiga, Islam menganjurkan untuk merawat binatang dengan memberikan kebebasan hidup atau memberikan kebutuhan hidup hewan andai saja binatang itu ada dalam kepemilikannya. Bahkan hal itu merupakan perbuatan terpuji dan berpahala.[8]
Keempat, dalam aturan pembunuhan hewan, Islam hanya memprioritaskan atas hewan yang termasuk jenis hewan berbahaya (al-fawasiiq al-khams) serta hewan sejenis, yakni hewan-hewan yang mengganggu ataupun menyerang manusia. Sehingga hewan-hewan lain yang tidak memenuhi ketentuan tersebut tetap wajib dilestarikan hidupnya, baik yang halal dikonsumsi maupun yang tidak.[9]
Dari beberapa keterangan di atas dapat kita pahami bahwa ketika pemerintah membuat aturan perlindungan hewan-hewan langka karena mempertimbangkan kestabilan ekosistem, maka bagi individu rakyat tidak diperbolehkan untuk melanggarnya. Sehingga praktek perburuan ilegal secara syariat tidak dibenarkan dengan alasan apapun.
2.      Hutan Lindung, Suaka Marga Satwa, Cagar Alam Dan Taman Nasional
Melalui prinsip-prinsip pengaturan sumber daya alam hewani maupun nabati, kita dapat melakukan aplikasi lanjutan dalam berbagai program pelestarian lingkungan, seperti halnya pembuatan cagar alam, hutan lindung, maupun pencanangan suaka marga satwa. Semuanya ini merupakan program yang sudah selaras dengan pandangan Islam tentang lingkungan. Dimana Islam telah terbukti sangat peduli akan proses kelestarian lingkungan serta berlaku tegas atas setiap pelanggaran yang akan merugikan orang banyak.
Hutan lindung dan cagar alam merupakan bentuk kepedulian pemerintah dalam melestarikan lingkungan dan menangani bencana lingkungan. Bentang alam yang berbukit-bukit dari hutan lindung serta banyaknya cekungan tanah di dalamnya berfungsi sebagai tangki air dan penadah air hujan yang sangat berguna bagi petani untuk mengairi sawahnya. Keanekaragaman jenis tanaman telah membantu menyuburkan tanah pertanian sekitarnya melalui unsur hara yang datang secara gratis bersama air sebagai pupuk alami, di samping manfaat sebagai pengatur iklim bagi pertanian dan ekosistem yang ada. Keanekaragaman tersebut merupakan bank genetik (sifat asli) yang harus dilestarikan sebagai cadangan kehidupan serta merupakan kekayaan tak ternilai bagi kehidupan masa kini dan yang akan datang. Karena masih banyak jenis tanaman yang belum diketahui secara khusus manfaat yang terkandung dan menjadi penting untuk diteliti sebagai bahan obat, sumber pangan, papan dan lain-lain. Selain itu semua penelitian akan menambah kecintaan terhadap lingkungan dan akan membangun generasi intelektual yang paham dengan potensi alam serta tahu cara pengolahan yang lebih arif bagi lingkungan dan masyarakat.
Suaka marga satwa berfungsi langsung melestarikan dan melindungi berbagai jenis hewan sebagai kekayaan dan demi kepentingan cadangan umat manusia di masa mendatang. Karena selain menjadi bank genetik kekayaan hewan serta kelangsungan berbagai jenisnya merupakan jaminan kelangsungan ekosistem di masa yang akan datang.
Taman Nasional menjadi proyek pemerintah dalam melestarikan keanekaragaman hewani maupun nabati. Hutan lindung, cagar alam serta suaka marga satwa akan bernilai lebih ketika dicoba untuk difungsikan sebagai taman nasional. Selain merupakan sebuah bentuk kepedulian lingkungan tentunya pendapatan akan dapat digunakan sebagai sarana finansial untuk membiayai proyek pelestarian berikutnya. 
  1. Ekosistem Kelautan
1.      Eksploitasi Pertambangan Lepas Pantai
Pemerintah dalam mengusahakan pendapatan negara sangat mengharapkan sektor pertambangan minyak sebagai penyangga utama. Dalam hal ini pemerintah yang paling berkepentingan memberikan ijin atas pertambangan lepas pantai yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta maupun BUMN. Selain minyak, daerah lepas pantai juga banyak didirikan pertambangan lain sebagai usaha memanfaatkan sumber daya kelautan.
Dalam Islam, minyak merupakan barang tambang terselubung (al-ma'dan al-bathin) dimana eksploitasinya selalu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sebenarnya setiap rakyat punya hak atas barang tambang semacam ini, namun dalam menanganinya pemerintah berhak menyerahkannya kepada personal ataupun kelembagaan dalam pengolahannya. Namun tentunya semua itu atas dasar kemaslahatan rakyat.[10]
Sehingga sangat tetap apabila pemerintah menetapkan UU. No. 11/1967 yang berbicara tentang peningkatan kewenangan dan tanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya mineral dengan tetap memperhatikan keselamatan lingkungan hidup serta menindak tegas terhadap pelaku pencemaran lingkungan serta menuntut ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan.
2.      Pemanfaatan Sumber Daya Alam Laut
Dalam syariat Islam, Ikan, mutiara maupun barang-barang lainnya merupakan sumberdaya kelautan masuk kategori al-ma'dan al-dhahir (kekayaan yang jelas tampak dan tidak terlalu sulit dieksploitasi). Dalam hal ini syariat menegaskan bahwa prinsip dasar dalam barang-barang demikian adalah bebas, artinya bagi siapapun diperbolehkan untuk memanfaatkan selamanya. Sehingga pembuatan semacam branjang di tengah laut sebenarnya ilegal menurut sudut pandang syariat. Dan bagi pemerintah tidak diperkenankan melakukan intervensi atas pemanfaatan mineral kelautan semacam ini. Kecuali atas hal-hal yang akan berdampak luas terhadap lingkungan.[11]
Laut kita merupakan kekayaan yang luar biasa. Potensi ikan laut sebesar 6,7 juta ton pertahun yang tersebar di perairan Zona Ekonomi Eksklusif diperkirakan mampu menyumbang pemasukan devisa sebesar 10 milyar dolar Amerika per tahun mulai tahun 2003. Namun, sekali lagi kita harus menyadari, kekayaan yang begitu besar tentunya harus diimbangi dengan pelestarian yang seimbang. Meskipun semuanya untuk manusia namun bukan berarti manusia boleh semena-mena memanfaatakannya.
3.      Pencemaran Air Laut
Eksploitasi pertambangan lepas pantai dan penangkapan ikan dengan bahan kimia atau peledak adalah penyebab paling dominan terjadinya pencemaran air laut. Selain itu, pencemaran juga sering diakibatkan oleh tumpahan minyak dari kapal-kapal tanker pengangkut minyak. Secara garis besar syariat Islam memandang kejadian-kejadian tersebut merupakan resiko yang harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan latarbelakang kejadiannya. Jika diawali dengan kecerobohan maka selain sangsi dan denda, pemerintah juga berhak melakukan kebijakan terbaik bagi oknum yang melanggar. Dan jika pencemaran itu berawal dari kecelakaan tanpa disertai kecerobohan, meskipun syariat tidak mengenakan denda bagi pelaku, namun urusan pencemaran lingkungan tetap harus direhabilitasi bersama karena hal itu merupakan tanggungjawab semuanya. Islam dalam hal ini sangat melarang setiap usaha pencemaran air karena hal itu akan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan ekosistem, sebagaimana digambarkan dalam QS. al-A'raaf :56 di atas.[12]
Dapat kita amati di negara kita, bahwa lemahnya sumberdaya manusia menjadi penyebab kurang optimalnya pemanfaatan sumberdaya alam bahkan cenderung menyebabkan perusakan-perusakan terhadap ekosistem laut. Pembuangan limbah industri yang mayoritas mengandung bahan-bahan kimia mematikan, penangkapan ikan dengan bahan peledak, kesemuanya berakibat sama yakni pencemaran air laut.
4.      Wisata Laut
Lepas dari boleh dan tidaknya mendirikan tempat pariwisata, wisata laut di akui sebagai penyumbang devisa yang cukup besar. Hal ini tidak lepas dari potensi kelautan yang selama ini diolah dengan berbagai cara dengan disertai pengenalan yang memadai. Bukan hanya itu, sarana prasarana pinggiran pantai diformulasikan sebagai perangsang minat wisatawan. Hanya saja penyalahgunaan wewenang yang paling berperan membentuk kesan negatif atas wisata kelautan.
Sebenarnya Islam mengakui bahwa daerah sekitar laut (pantai) boleh dimanfaatkan dengan melalui perijinan, meskipun selamanya tidak mungkin untuk dimiliki. Namun dalam pemanfaatan ini selain tidak boleh mengganggu pemanfaatan laut, juga selalu harus mengutamakan pelestarian lingkungan. Jangan sampai pinggiran pantai dikotori oleh sampah sampah yang tidak sedap untuk dipandang, serta jangan sampai ada eksploitasi berlebihan atas daerah pantai agar daratan kita semakin lama tidak semakin habis bahkan semakin menyempit.

Dar El-Azka
Den Bagoes Sangking Ngayojokarto


[1]    Fiqh al-Islamy juz. V hal. 542-543 dan Hawasyi al-Syarwani juz. VIII hal. 43-44 Dar el-kutub el-alamiyah
[2]    Ibid,  hal. 542-543
[3]    Ibid,  hal. 505
[4]    Ibid,  hal. 517-519
[5]    Is'ad al-rafiq juz. II hal. 97 dan Qulyuby juz. II hal. 162 Dar Ihya'
[6]    Al-Mughni Syarh al-Kabir juz. IX hal. 232 dan Ahkam al-Qur'an Ibn Araby juz.II hal.26
[7]    Al-Zawajir juz. I hal. 349
[8]    Nail al-Authar juz. VII hal. 7
[9]    Al-Bahr al-Zakhar juz. VI hal. 227
[10]   Fiqh al-Islami juz. V hal. 584-585  dan Al-Mahally juz. III hal. 95
[11]   Al-Mahally juz. III hal. 94-95
[12]   Hasyah Jamal juz.V hal. 83, Tafsiir al-Baghawy juz. II hal. 166 dan Fath al-Qadir juz. II hal. 213
Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top