Orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, Orang yang shaleh. Pengertian ini sering digunakan oleh para ahli untuk membedakan antara oran yang taat beragama, Atau yang sering juga disebut sebagai ‘Abangan’. 2). Orang yang mendalami pengajiannya dalam agama islam dengan berguru ketempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya. Adapun pengertian’ santri’ yang digunakan disini mengacu pada pengertian yang kedua.[2]
|
Kata ‘pesantren’ yang terdiri dari kata asal “santri” yang
mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” , yang menentukan
tempat; jadi berarti ‘tempat para santri ‘. Kadang-kadang “sant” (manusia) baik
dihubungkan dengan suku kata “tra” (suka menolong), sehingga kata “pesantren”
dapat berarti “tempat pendidikan manusia baik-baik.
Pondok Pesantren
adalah bangunan untuk tempat sementara; rumah; bangunan tempat tinggal yang
berpetak-petak yang berdinding bilik dan beratap rumbia; madrasah dan asrama
(Tempat mengaji, belajar agama Islam.[3];
kosa kata”pondok” diduga berasal dari Arab “funduq” yang berarti hotel atau
asrama (Dhofier, 1983); kata “pesantren” diduga berasal dari bahasa Tamil India
“shastri”. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku suci atau
mempelajari kitab suci bagi penganut agama Hindu. Mungkin karena pengaruh India
atau agama Hindu kemudian kata pesantren digunakan bagi agama Islam yang dapat
diartikan sebagai lembaga atau tempat untuk mempelajari kitab suci Al-Qur’an
(Ensiklopedia Islam, 1994).[4]
Tempat tinggal
para santri adalah “pesantren” yang menentukan ciri dan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan
Islam dan penyebarannya sampai jauh memasuki pelosok-pelosok pedesaan.[5]
“Pesantren” asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dsb;
pondok.[6]
Menurut Prof. Dr.
Mukti Ali, bahwa Pondok Pesantren adalah Pondok.[7]
Dari definisi di
atas dapat dapatlah dikatakan bahwa Pondok Pesantren adalah suatu lembaga
keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam yang
dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan para santri dan masyarakat.
Jadi Pondok
Pesantren adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam terutama di
daerah-daerah pedesaan terbesar luas di seluruh tanah air yang telah banyak
diketahui, namun biasanya orang segan untuk membicarakannya. Sebab
pesantren dianggapnya konservatif, kuno, terbelakang dan semacamnya. Tetapi
membiarkan kenyataan ini untuk tidak akan menyelesaikan masalah. Padahal
dipandang dari segi pembinaan bangsa, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, kesehatan, ketrampilan maupun Hankam, tanpa diikut sertakan pesantren baik sebagai subyek maupun
obyek mengandung arti membiarkan suatu kelompok sosial berkembang sendiri tanpa
pembinaan. Apalagi lembaga ini jumlahnya amat besar, puluhan juta rakyat Indonesia sejak
belum adanya sekolah telah mengalami proses pendidikan melalui sejumlah puluhan
ribu Pondok Pesantren yang terbesar di pedesaan di seluruh tanah air terutama
di Jawa. Sebagaimana yang diungkapkan, bahwa :
“Pondok Pesantren sebagai pusat pendidikan islam,
pengkaderan dan pembinaan umat yang lahir dari budaya bangsa sendiri telah terbukti
mampu berkompetisi dengan corak zaman yang mengitarinya, sehingga tidak sedikit
pemimpin umat dan bangsa yang pernah ditempa dari model pendidikan pesantren
ini. (Buletin Bina Pesantren, 1999:1)
Dewasa ini Pondok Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya
sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan islam yang sekaligus
juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan,
kepelatihan, pengembangan masyarakat dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka
itulah Pondok Pesantren.[8]
Dalam uraian selanjutnya, penulis akan mengungkan
perkembangan Pondok Pesantren dari masa ke masa hingga masa pembangunan
sekarang.
a.
Sejarah lahirnya Pondok Pesantren.
Pesantren sebagai pusat penyebaran agama
Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan kedatangan agama Islam
di negeri kita. Di pulau Jawa pesantren ini berdiri untuk pertama kalinya di
zaman Walisongo, sekitar abad 14 M (tahun 1399 M) dibawa oleh Maulana Malik
Ibrahim dengan keponakannya bernaman Maqdum Ishaq yang menetap di Gresik.[9]
Syeikh Malik Ibrahim atau lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Maghribi dianggap
sebagai pendiri pesantren pertama di tanah Jawa.
Sebagai
ulama yang berasal dari Gujarat India, agaknya tidak sulit bagi Syeikh Maulana
Malik Ibrahim untuk mendirikan dan mengadakan pengajian serta pendidikan
seperti Pondok Pesantren. Karena sebelumnya sudah ada Hindu dan Budha dengan
sistem biara dan asrama, sehingga pada waktu agama Islam berkembang, biara dan
asrama itu tidak berubah bentuk hanya namanya dikenal menjadi Pondok Pesantrennya
yaitu tempat tinggal dan belajar pada santri.
Sebagai pusat kegiatan dan percetakan
kader-kader mubaligh, para Wali Songo mendirikan masjid dan pesantren dalam
bentuk sederhana.
Terdapat kesepakatan diantara ahli sejarah
Islam yg menyatakan bahwa pendiri pesantren pertama adalah dari
kalangan Walisongo, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa dari
mereka yg pertama kali mendirikannya. Ada yg mengganggap bahwa Maulana Malik
Ibrahim-lah pendiri pesantren pertama[10],
adapula yg menganggap Sunan Ampel, bahkan ada pula yg menyatakan pendiri
pesantren pertama adalah Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Akan tetapi
pendapat terkuat adalah pendapat pertama. Sedang mengenai pendapat yg
menyatakan pesantren paling tua adalah pesantren Tegalsari Ponorogo maka hal
tersebut tidak sampai menafikan hal yg kami sebutkan diatas. Karena yg dimaksud
adalah pendirian dan pelembagaan pesantren pertama kali.[11]
Tujuan dari para wali mendirikan pesantren
itu adalah sebagai tempat menyiarkan agama islam dan membentuk guru-guru yang
akan meneruskan usaha tersebut dikalangan ummat.[12]
Dengan demikian, sejarah pesantren di Jawa
adalah semenjak datangnya para Walisongo menyiarkan agama Islam. Sepertinya
yang telah disebtukan di atas, bahwa orang yang pertama kali mendirikan
pesantren di Indonesia adalah Syeikh Maulana Malik Ibrahim.
b.
Pondok Pesantren Pada Masa Penjajahan
Pada masa Kerajaan Demak pendirian masjid
dan Pondok Pesantren mendapat bantuan sepenuhnya dari raja dan para pembesar
kerajaan. Bahkan raja sendiri yang mempelopori usaha-usaha untuk memajukannya.
Setelah perpindahan kekuasaan Demak ke Pajang, usaha untuk memajukan masjid dan
Pondok Pesantren itu tidak berkurang. Dari kalangan kerajaan masih tetap
mempelopori pendiriannya. Kalangan kerajaan tetap mempelopori langsung
pendirian masjid dan Pondok Pesantren. Dan setelah pusat kerajaan Islam
berpindah lagi dari Pajang ke Mataram dalam tahun 1588, perhatian untuk
memajukan Pondok Pesantren semakin besar. Lebih-lebih dimasa pemerintahan
Sultan Agung.[13]
Dalam Usahanya memakmurkan masjid, Sultan
Agung memerintahkan agar tiap-tiap desa didirikan masjid, pada setiap ibu kota
Kabupaten didirikan masjid raya. Sultan Agung memerintahkan agar setiap ibu
kota Kabupaten didirikan sebuah masjid raya (Masjid Agung), dan pada tiap-tiap
ibu kota distrik sebuah masjid Kawedanan. Demikian pula pada tiap-tiap desa.[14]
Dengan demikian, perhatian sultan agung
dalam bidang pendidikan agama Islam cukup besar, sehingga pada masa kerajaan
Mataram yaitu pada masa pemerintahan sultan agung merupakan zaman keemasan bagi
kemajuan pendidikan dan pengajaran agama Islam, terutama Pondok Pesantren.
Adapun faktor-faktor yang menguntungkan
perkembangan dan pertumbuhan Pondok Pesantren yang membuat lembaga ini tetap
bertahan di tengah-tengah masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Agama Islam telah tersebar luas di
seluruh pelosok tanah air dan sarana yang paling populer untuk pembinaan kader
Islam dan mencetak Ulama’ adalah masjid dan Pondok Pesantren.
2.
Kedudukan para ulama’ dan kyai di lingkungan kerajaan
berada dalam posisi kunci. Selain raja dan sultan-sultan sendiri ahli agama,
para penasehatnya adalah para kyai dan ulama’. Oleh karena itu pembinaan Pondok
Pesantren sangat mendapat perhatian para sultan dan raja-raja Islam. Bahkan
pendirian beberapa Pondok Pesantren disponsori oleh Sultan dan raja-raja Islam.
3.
Usaha Belanda yang menjalankan politik “belah bambu”
diantara raja-raja Islam dan Ulama Islam semakin mempertinggi semangat jihad
umat Islam untuk melawan Belanda. Sehingga dimana-mana terjadi pemberontakan
yang dipelopori oleh raja-raja dan ulama Indonesia, seperti Imam Bonjol,
Pangeran Diponegoro dan lain-lainnya.
4.
Faktor lain yang mendorong bertambah pesatnya
pertumbuhan Pondok Pesantren adalah adanya gairah agama yang tinggi dan
panggilan jiwa dari ulama’ dan kyai untuk melakukan da’wah.
5.
Semakin lancarnya hubungan antara Indonesia dan
Mekkah. Para pemuda Islam banyak yang bermukim
di Mekkah dan disana mereka memperdalam pengetahuan agama dan seorang ulama di
Masjidil Haram.[15]
Dari
ungkapan tersebut dapat dipahami, bahwa perkembangan dan pertumbuhan Pondok
Pesantren cukup pesat sekali pada penjajahan Belanda. Pertumbuhan tersebut,
disamping peran para ulama’ dan kyai sebagai pengelola pesantren, itu juga
karena adanya partisipasi dari dukungan yang besar dari para raja Islam dan
para Sultan yang ikut mempelopori pendirian Pondok Pesantren. Dan walaupun
Belanda terus menekan dengan beraneka upayanya untuk membinasakan dan
menghancurkan Pondok Pesantren itu tetap berkembang dan bertahan, bahkan
beberapa ulama terus mendirikan pesantren-pesantren baru di tempat-tempat yang
jauh dari intaian Belanda.
Pendidikan islam di Indonesia pada masa penjajahan
menurun kualitasnya dibandingkan masa sebelumnya (Kerajaan Islam) Belanda
sebagai penjajah pada masa itu tidak memperdulikan perkembangan pendidikan di
Indonesia terutama Islam karena Belanda sendiri menganut agama nashroni dan
bahkan Belanda cenderung menghalangi pendidikan islam di Indonesia. Penaklukan
bangsa barat atas Indonesia
memang membawa sedikit kemajuan teknologi. Tetapi kemajuan teknologi itu
tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahan Belanda semata. Begitu
juga dalam bidang pendidikan, Belanda memperkenalkan sistem dan metode baru,
tetapi sekedar unntuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan
mereka dengan upah yang murah. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu
adalah werternisasi dari kristenisasi yakni untuk kepentingan barat dan
nashrani. Dua motiv inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajah barat di
Indoneia selama 3,5 abad.
Ketika Belanda sudah mulai menguasai berbagai lini di
Indonesia dan pada saat Van Den Boss menjadi Gubernur Jendral di Jakartra pada
tahun 1831, kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan
sebagai sekolah pemerintah. Dan setiap keresidenan dibangun satu sekolah agama
kristen. Ini adalah salah satu usaha Belanda untuk membuat mundurnya pendidikan
islam di indonesia
Gubernur Jendral Van Den Capellen pada tahun 1819 M
mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi
agar dapat membantu pemerintahan Belanda. Jika kita lihat sekilas tentang
rencana ini memang baik, akan tetapi jika kita pel;ajari lebih dalam kita akan
menemukan makna bahwa dalam rencana ini Van Den Capellen menganggap pendidikan
agama is;lam yang ada di pondok-pondok belum membantu pemerintah Belanda, para
santri pondok masih dianggap buta huruf latin. Dan ini juga usaha Belanda dalam
memojokan pendidikan islam yang ada di Indonesia sehingga pendidikan islam
menurun.
Politik pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia
yang mayoritas Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya dan
rasa kolonialismenya.
Pada tahun 1832 M pemerintah Belanda membentuk suatu
badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan islam
yang disebut Presterraden. Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905
M pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan
pengajaran ( Pengajian) harus meminta izin lebih dahulu. Pada tahun 1925M
pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan
agama islam yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran
mengaji. Dan pada tahun 1932M keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan
menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran
yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut ordanansi sekolah liar.
Kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang
disebut Netral Agama yakni bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah
satu agama sehingga sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. Secara tersurat
keputusan ini memang baik untuk tidak memihak agama manapun. Akan tetapi
apabila kita telisik lebih dalam lagi, ketetapan ini amat sengaja dibuat untuk
memundurkan pendidikan agama islam, karena agama islam yang begitu penting bagi
masyarakat tidak lagi diajarkan di sekolah umum.
Dari uraian-uraian yang telah kita ketahui pastilah kita
mengira bahwasanya pendidikan Islam turun drastis, tapi pada kenyataannya
justru pendidikan islam semakin maju dari masa ke masa selama penjajahan. Ini
dikarenakan para kyai bersikap nonkooperatif kepada Belanda dan akhirnya dari
pendidikan islam yang ada diseluruh Indonesia munculah tokoh-tokoh
Nasional yang begitu luar biasa dengan gigihnya melawan Belanda.
Pada babak pertamanya Pemerintah Jepang menampakan
diri seakan-akan membela islam, yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan
Perang Dunia II. Untuk mendakati umat islam Indonesia mereka menempuh
kebijaksanaan antara lain :
1.
Kantor urusan agama yang pada masa Belanda dipimpin
oleh orang-orang orientalis Belanda dirubah menjadi dipimpin oleh ulama Islam
sendiri yaitu K.H Hasyim Asy’ari
2.
Pondok Pesantren yang besar-besar sering mendapat
kunjungan dan bantuan dari pembesar Jepang
3.
Sekolah Negeri diberi pelajaran budi pekerti yang
isinya identik dengan ajaran agama
4.
Pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan
Hizbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda islam.
6.
Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya sekolah Tinggi
Islam di Jakarta
7.
Para ulama Islam
bekerja sama dengan pimpinan-pimpinan Nasionalis diizinkan membentuk barisan
PETA.
8.
Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan
yang disebut Majelis Islam A’la Indonesia yang bersifat kemasyarakatan.[16]
Namun
pada puncak Perang Dunia II Jepang mengalami tekanan hebat dari sekutu dan
mulai saat itu Jepang menampakan sikap kesewenang-wenanganya sebagai penjajah
yang mengakibatkan penderitaan lahir batin rakyat Indonesia. Pendidikan umumpun
terbengkalai, namun untungnya Pondok Pesantren dan madrasah masih dapat
berjalan dengan agak wajar
c.
Pondok Pesantren Setelah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945,
madrasah dan Pondok Pesantren tetap berjalan sesuai dengan kemampuan para
pengasuh dan masyarakat pendukungnya masing-masing.
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP)
sebagai badan legislative pada waktu itu dalam pengumumannya bertanggal 22
Desember 1945 (Berita RI Tahun II No. 4 dan 5 halama 20 kolom 1) diantaranya
menganjurkan:
“Dalam memajukan pendidikan dan pengajaran
sekurang-kurangnya diusahakan agar pengajaran di langgar-langgar dan madrasah
berjalan terus dan dipersesat”.[17]
Setelah kemerdekaan banyak Pondok Pesantren telah menyesuaikan diri dengan
tuntutan zaman. Dengan berakhirnya masa penjajahan di bumi Indonesia, maka umat Islam Indonesia mendapat kesempatan yang
lebih luas untuk mengadakan kontak dengan dunia luar. Pondok Pesantrenpun
melakukan kontak dengan dunia ilmu pengetahuan yang ada di luar. Terlihat
adanya perkembangan di lingkungan pendidikan Pondok Pesantren. Pesantren mulai
banyak mendirikan/menyelenggarakan pendidikan formal terutama madrasah. Seperti
Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, di samping tetap
meneruskan sistem lama berupa sistem Wetonan dan Sorongan.[18]
Sebagaimana kita semua
mengetahui Pondok Pesantren sebagai pendidikan Islam tertua di Indonesia telah
menunjukkan kemampuannya dalam mencetak kader-kader ulama’ dan telah berjasa
turut mencerdaskan bangsa Indonesia. Karena potensi Pondok Pesantren yang cukup
besar itu serta jasanya dalam turut mencerdaskan masyarakat Indonesia banyak
kalangan memberikan perhatian kepada Pondok Pesantren terutama ditujukan untuk
menjadi pelopor pembangunan masyarakat (agent of development).
Perkembangan Pondok
Pesantren pada zaman pembangunan ini boleh dikatakan telah berhasil dan
memuaskan walaupun di beberapa pesantren masih perlu diadakan pembenahan dan
pembinaan. Karena maju dan tidaknya suatu pesantren bergantung pada pengalaman
dan kemampuan yang dimiliki kyai sebagai pengelola pesantren itu.
Kita harus bersyukur
dan boleh berbangga dengan keberhasilan Pondok Pesantren dapat berkembang dan
menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang telah mampu menempatkan
dirinya dalam mata rantai dari keseluruhan sistem pendidikan nasional. Bila
melihat pertumbuhan Pondok Pesantren di zaman penjajahan sangat memprihatinkan
yaitu tertekan, terhambat dan semacamnya, tapi sekarang sungguh berlainan
keadaannya.
Presiden Indonesia
pertama Ir. Soekarno sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa pada IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta memberikan kritik membangun pada Pondok Pesantren:
“Lepaskan jiwa saudara daripada jiwa
pesantren itu, tetapi naiklah ke angkasa setinggi-tingginya, laksana burung
Elang Raja Wali. Eh. Lihat seluruh dunia. Lepaskan saudara-saudara punya
pikiran hanya dari lingkungan pesantren”.[19]
Pada waktu Mr R Suwandi menjadi Mentri PP
dan K (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947), beliau membentuk Panitia Penyelidik
Pengajaran Republik Indonesia. Dalam Panitia itu merekomendasi mengenai
sekolah-sekolah agama, seperti disebutkan dalam laporannya pada tanggal 2 Juni
1946 yang berbunyi:
“Bahwa pengajaran yang bersifat Pondok
Pesantren dan madrasah perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasi serta diberikan
bantuan biaya dan lain-lain”, sesuai dengan yang telah diputuskan BPKNIP pada
akhir tahun 1945 diatas.[20]
Dengan demikian nyatalah bahwa perhatian
pemerintah sangat besar sekali dan Pondok Pesantren diakui sebagai lembaga
pendidikan yang berjasa membantu pemerintah dalam mencerdaskan bangsa.
[1] Ensklopedia
Islam, (PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994) dan (Karya Adaptasi Dewan
Bahasa dan Pustaka, Malaysia, 2004) 100
[2] http://wwwsuksesblogspotcom.blogspot.com/2011/04/bab-1-pendahuluan.html
diakses pada tanggal 12 Oktober 2012
[3]
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi dua (Balai
Pustaka, Jakarta 1989) 695
[4] Pola
Penyelenggaraan Pondok Pesantren, Model Unit Usaha Pertanian.
(Departemen agama RI, 2001) 1-2
[5] Prof.
Komaruddin, Dra. Yooke Tjuparmah, dan S. Komaruddin, M.Pd., Kamus Istilah
Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta Bumi Aksara, , 2006) 235
[6]
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi dua (Balai
Pustaka, Jakarta 1989) 677
[7] Dr.
Mulyanto Sumardi, Sejarah Singkat Pendidikan islam di Indonesia 1945-1975,
(Jakarta, CV. Dharma Bhakti, 1978) 39
[8] M. Dian
Nafi’, Abd A’la, Hindun Anisah, Abdul Aziz dan Abdul Muhaimin, Praksis
Pembelajaran Pesantren, (Insite For Training and Defelopment (ITD) Amherst,
MA, Forum Pesantren, Yayasan selasih. Yogyakarta.
2007) 11
[9] Dra.
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta, Bumu Aksara, 1997),
137
[10] Drs. H.
Kafrawi MA., Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren, Sebagai Usaha
Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (P.T. Cemara
Indah, Jakarta. 1978) 44
[11] http://taimullah.wordpress.com/2010/02/13/sejarah-peran-dan-perkembangan-pesantren/
di akses pada 14 Oktober 2012
[12] Drs. H.
Kafrawi MA., Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren, Sebagai Usaha
Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (P.T. Cemara
Indah, Jakarta. 1978) 44
[13] Drs.
Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Dharma Bhakti,
Jakarta, 1982) 39
[14] Ibid.
hal 40
[15] Ibid.
hal 41-43
[16] Dra. Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta,
Bumu Aksara, 1997), 151
[17] H.A.
Timur Djaelani MA, Peningkatan Mutu Pendidikan Dan Pengembangan Perguruan
Agama, (Dermaga, Jakarta, 1982) 21
[18] Drs.
Marwan Saridjo, dkk, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Dharma
Bhakti, Jakarta, 1982) 59
[19] Ibid.
hal 59-60
[20] H.A.
Timur Djaelani MA, Peningkatan Mutu Pendidikan Dan Pengembangan Perguruan
Agama, (Dermaga, Jakarta, 1982) 22
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar