ISLAMIC
STUDIES FOR TRAINING MODULE
KUSTA
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
I.
PROLOG STUDY
Konon,
suatu ketika Nabi Yunus pernah bertanya kepada Malaikat Jibril, "Hai
Jibril, tunjukkan padaku sosok manusia yang paling taat beribadah di dunia ini
!". Jibril menjawab seraya berisyarat dengan menunjukkan pada sosok
laki laki yang tangan, kaki serta pandangan matanya hilang akibat penyakit
kusta (al-judzam).
Meskipun dalam keadaan demikian, ia tidak bosan bosan
berucap: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan tangan, kaki dan kedua
mata ini sebagai karunia dari-Mu. Dan kini telah Engkau hilangkan semuanya,
juga atas kehendakmu, namun masih Kau beri aku pengharapan kepada-Mu". [1]
Betapa
besar kepercayaan diri dari laki laki dalam hikayat di atas. Dalam ujian yang
begitu berat, ia masih mampu menunjukkan ketaatan yang begitu besar, hingga
menghantarkannya menjadi hamba Allah yang paling mulia di muka bumi. Seyogyanya
hikayat di atas dapat kita jadikan cermin, bahwa segala penyakit termasuk kusta
pada hakikatnya merupakan ujian ketakwaan bagi seorang hamba, bukan kutukan
maupun keturunan. Sehingga ketika seorang hamba bersabar serta menyadari
hakikat sebuah cobaan, dan bahkan tidak mengurangi kepercayaan diri dalam
menempuh kehidupan, bukan tidak mungkin ia akan menjadi hamba yang paling
dicintai Tuhannya.
II.
PROBLEM SOLVING
i.
Kusta Dalam Definisinya
Kusta
dalam literatur pengobatan Islam (al-Thîb al-Islamy) dibedakan dalam dua
jenis:
Pertama, al-Judzam, yakni penyakit
yang diakibatkan penetrasi cairan hitam dari empedu ke sekujur badan hingga
mengakibatkan perubahan sifat (resam tubuh), karakter serta penampakan organ
tubuh. Dan pada fase berikutnya, ketika tidak segera diobati akan berakibat
cacat permanen. Dalam islam, penyakit ini dinamakan dâ' al-asad (penyakit
macan), dengan ditandai bercak merah pada tubuh terutama wajah kemudian
menghitam dengan diikuti bau yang kurang sedap dan terakhir ketika terlambat
diobati akan berakibat kecacatan.[2]
Untuk jenis ini lebih tepat dikatagorikan sebagai kusta basah.
Kedua,
al Abrash,
yaitu penyakit kusta yang ditandai bercak putih pada bagian luar kulit hingga
selanjutnya dapat berakibat belang kulit serta menghilangkan kemampuan
peredaran darah dalam kulit.[3]
Dan biasanya rambut yang tumbuh pada organ tubuh yang terjangkit akan berwarna
putih. Jenis inilah yang biasa diistilahkan dengan kusta kering. Namun dalam
spesifikasinya mirip dengan bagian pertama, yakni ketika pengobatan terlambat
dilakukan maka kecacatan juga mungkin terjadi.
ii.
Telaah Qur'any
Dalam Surat Al-Maidah ayat
110 yang menjelaskan tentang mu'jizat Nabi Isa, Allah berfirman:
وَتُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ
بِإِذْنِي
"Dan (ingatlah), waktu kamu
menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang
berpenyakit sopak (kusta) dengan seizin-Ku"
Setiap mu'jizat diturunkan
sesuai dengan budaya jamannya. Pada masa Nabi Isa, tradisi kedokteran sedang
mengalami kemajuan pesat. Hingga Allah menurunkan kusta sebagai penyakit yang
sulit untuk disembuhkan, bahkan para ahli kedokteran di masa itu menganggap
mustahil untuk melakukan penyembuhan. Namun kebesaran Allah menunjukkan, bahwa
kusta dapat disembuhkan atas kehendak-Nya. Dan untuk saat ini, Allah juga telah
menurunkan pertolongan (ma'unah) kepada manusia untuk bisa menyelesaikan
penyakit kusta secara mudah dan cepat.
Setiap penyakit ada obatnya,
namun hanya kebesaran Allah yang menentukan segala kesembuhan. Allah berfirman
dalam QS. As-Syu'araa' :80
وَإِذَا
مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
"Dan
apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku"
Hal
ini menjadi bukti, betapa naifnya kita sebagai manusia. Namun bukan berarti
kita harus menyerah, karena Allah juga mewajibkan kita untuk berusaha (Ihtiyar).
Dan Insyaallah dengan usaha kita, segala obat dari berbagai macam penyakit yang
sampai saat ini belum ditemukan, akan segera ditemukan demi kepentingan umat
manusia.
iii.
Kusta Dalam Sunah Nabi
Sinkronisasi Dua Pemahaman
Tentang Penularan Kusta
1.
Hadis-hadis tentang penularan kusta.
@
فِرَّ مِنَ
الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلأَسَدِ
"Menghindarlah
kamu dari orang yang terkena judzam (kusta), sebagaimana engkau lari dari singa
yang buas" (HR.
Bukhari)
@
وَفِرَّ مِنَ
اْلمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ اْلأَسَدِ
"Menghindarlah kamu dari orang yang terkena judzam
(kusta), sebagaimana engkau lari dari singa yang buas" (HR. Bukhari)
Catatan :
Dalam kitab Tabyinul Haqa'iq Syarah Kanzu ad-Daqa'iq
dijelaskan bahwa arti tekstual hadits ini “perintah untuk menghindar”, secara Ijmâ'
(konsensus ulama) bukanlah makna yang dikehendaki. Karena siapapun
diperkenankan mendekat (bergaul) dengan penderita kusta dan bahkan dijanjikan
pahala atas segala upaya pelayanan dan perawatannya.[4]
@ لاَ
تُدِيْمُوْا إِلىَ اْلمَجْذُوْمِيْنَ النَّظْرَ
"Janganlah kau terus menerus memperhatikan mereka
yang menderita judzam (kusta)"
HR. Ibn Majah
@
إِنَّا قَدْ
بَايَعْناَكَ فَارْجِعْ e كاَنَ فِيْ وَفْدِ ثَقِيْفٍ رَجُلٌ مَجْذُوْمٌ
فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُ
"Dalam sebuah peperangan, ada seorang laki laki
berpenyakit kusta utusan Tsaqif yang kemudian oleh Nabi diberikan kabar (lewat
utusannya),"Aku telah membaiatmu dan kembalilah ke (rumahmu)" HR. Muslim
@ كَلِّمِ اْلمَجْذُوْمَ
وَبَيْنَكَ وَبَيْنَهُ قَيْدُ رُمْحٍ أَوْ رُمْحَيْنِ
"Berbincanglah kepada penderita kusta, dan jarak
antara kamu dengan dia kira kira satu tombak atau dua tombak" HR. Abu Nu'aim
@ لاَ
يُوْرَدُ مُمرِّضٌ عَلَى مُصِحٍ
"Tidak di datangkan seorang yang sakit kepada yang
sehat"
HR. Muslim
2.
Hadis hadis tentang tidak adanya penularan dalam kusta
@
أَخَذَ بِيَدِ مَجْذُوْمٍ
فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ فِيْ اْلقَصْعَةِ ثُمَّ قَالَ كُلْ بِاسْمِ اللهِ ثِقَةً
بِاللهِ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ e أَنَّ
رَسُوْلَ الله
"Sesungguhnya
Rasulullah saw. memegang tangan seorang penderita kusta, kemudian memasukannya
bersama tangan Beliau ke dalam piring. Kemudian Beliau mengatakan:
"makanlah dengan nama Allah, dengan percaya serta tawakal
kepada-Nya". HR.
Turmudzi
@
لاَ عَدْوَى وَلاَ
طَيْرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
"Tidak
boleh meyakini bahwa penyakit itu menular (tanpa ijin Allah) dan kita tidak
boleh berprasangka buruk karena adanya burung terbang dan tidak boleh
berprasangka atas burung hantu (saat malam hari) serta tidak boleh berprasangka
buruk atas datangnya bulan sofar"
Sebagian
ulama cenderung berkeyakinan, bahwa segala jenis penyakit termasuk kusta dalam
pandangan Islam tidak ada yang menular. Mereka berpendapat, bahwa hadis hadis
mengenai hal ini lebih otentik untuk dijadikan sebagai argumentasi. Sebagian
ulama yang lain menetapkan kesimpulan sebaliknya. Yakni penularan sebuah
penyakit adalah merupakan hal yang mungkin terjadi. Ibn Hajar dalam hal ini
memberikan jalan tengah, bahwa tidak seyogyanya hadis hadis itu dibenturkan
satu dengan lainnya. Tentunya agar nilai rahmatan lil 'alamin dari setiap sabda
Nabi tidak dikesampingkan begitu saja. Dalam hal ini sinkronisasi yang terjadi
di kalangan ulama dapat disimpulkan dalam lima versi :
Versi
pertama,
pendapat
yang tidak menyetujui adanya penularan dalam setiap penyakit, termasuk kusta.
Sedangkan dalil dalil tentang menjauhi penderita kusta adalah sebagai bahasa
rahmatan lil 'alamin dari Nabi bagi penderita kusta, yakni menjaga perasaannya
agar tidak terlalu merasa hina ketika bertemu mereka yang sehat.
Nilai
yang bisa kita adopsi dari arahan pertama ini adalah sikap toleransi yang
diajarkan Nabi dalam memperlakukan penderita kusta. Dimana penderita kusta yang
dalam kesehariannya terkadang sudah mengalami problem kepercaan diri yang
berat, jangan lagi ditambahi dengan beban moral dalam bentuk apapun. Namun hal
ini kami rasa bersifat kondisional. Dalam arti, justru terkadang penderita
banyak membutuhkan suntikan moral, bukan malah dijauhi. Dan hal ini dibuktikan
dengan perilaku Nabi yang secara tersirat memberikan suntikan moral bagi
penderita kusta. Dan diharapkan dengan terangkatnya moral penderita, kita bisa
membantu mereka dengan berbagai macam pengobatan serta merekapun punya kemauan
untuk sembuh serta berobat.
Versi
kedua,
meyakini
adanya penularan dalam kusta dan yang sejenis, karena prinsip dalam hadis hadis
yang menegaskan tidak adanya penularan dalam penyakit adalah umum yang kemudian
muncul eksepsi (pengecualian) terhadap kusta dan penyakit yang sejenis.
Versi
ketiga,
perintah
untuk menjauhi penderita kusta bukan karena hakikat penyakit tersebut menular.
Namun lebih spesifik lagi, penularan dalam keterangan itu merupakan kelaziman
dari persinggungan dan pergaulan yang relatif lama. Keterangan ini disampaikan
oleh Ibn Qutaibah.
Versi
keempat,
berlatar
belakang cerita orang orang jahiliyah yang meyakini bahwa semua penyakit selalu
mempunyai karakter menular. Menurut pendapat ini, hadis nabi tentang tidak
menularnya penyakit harus dimaknai secara proporsional. Yakni, penularan
tidaklah datang begitu saja. Namun semuanya itu tetap atas kehendak Allah.
Pendapat ini dikemukakan al-Nawawi serta mayoritas ulama Syafi'iyyah. Sedangkan
penderita kusta yang ditemani makan oleh Nabi menurut pendapat ini adalah
penderita yang belum sampai parah. Juga perlu diberikan sebuah kejelasan dari
berbagai dalil di atas, bahwa hadis tentang perintah menjauhi penderita kusta
adalah diperuntukkan untuk mereka yang lemah keyakinannya. Sedangkan hadis
tentang percontohan Nabi yang menggauli para penderita kusta adalah ditujukan
untuk mereka yang tebal keyakinan agamanya.
Keyakinan
masyarakat serta bukti medis menjadi penting untuk kita fahami dalam penanganan
penyakit kusta. Kita sebagai pelaku kemasyarakan menyadari hal ini sangat
rasional terjadi, dan mungkin sedikit sekali dari manusia di muka bumi ini yang
mempunyai keyakinan tebal dalam melayani penderita kusta di tengah masyarakat.
Sehingga perlu kiranya kita membentuk keyakinan kolektif dari masyarakat dan
petugas kesehatan dalam rangka melayani penderita penyakit kusta, dan tentunya
melalui cara yang manusiawi, tidak dengan cara dipinggirkan.
Versi
kelima,
meniadakan
hakikat penularan secara mutlak dalam setiap jenis penyakit serta memberikan
sebuah arahan, bahwa menjauhi penderita kusta dalam hadis Nabi hanya sebagai
tindakan antisipatif. Karena dikhawatirkan ketika terjadi penularan disaat
pergaulan, orang lain akan beranggapan serta meyakini bahwa penyakit tersebut
menular. Versi ini dikomentarkan oleh at-Thabrani dan didukung oleh ulama
lainnya.[5]
Keyakinan
banyak menentukan dalam penyembuhan serta penanganan kusta. Ada benarnya kita
menerapkan prinsip semacam ini, namun ketika ditinjau dari sudut pandang, bahwa
hal itu dapat mempermudah kita dalam menangani kusta. Ketika masyarakat dan
petugas kesehatan tidak canggung lagi memberikan motifasi dan bantuan
penyembuhan kepada penderita kusta, Insya Allah persoalan ini lebih mudah untuk
diatasi.
Seyogyanya
kita mengambil hikmah dari perbedaan di atas, bahwa kusta baik kita katakan
menular ataupun tidak, merupakan cobaan Allah kepada hambanya. Dan sebuah hal
prinsip yang harus kita yakini, hanya Allah-lah yang menciptakan dan
menghendaki semuanya. Persinggungan dan pergaulan tidak selalu mengakibatkan
penularan, karena penularan tidak akan terjadi jika Allah tidak menghendaki.
iv.
Pencegahan Kusta
Islam mengajarkan berbagai
upaya pencegahan penyakit kusta dengan dimensi penjelasan yang variatif.
Sebagian mampu kita berikan penjelasan secara rasional, namun sebagian yang
lain belum sampai kita singkap rahasia di dalamnya.
1. Konsumsi Garam Yang Cukup
Hal
paling sepele dan paling dini yang diajarkan Islam dalam mencegah terjadinya
kusta adalah mengkonsumsi garam. Dalam pesan Nabi kepada Sayidina Ali
disebutkan:
افْتَحْ طَعَامَكَ بِاْلمِلْحِ وَاخْتِمْ بِهِ فَإِنَّ مَنِ
افْتَتَحَ طَعَامَهُ بِاْلمِلْحِ وَاخْتَتَمَ بِهِ عُوْفِيَ مِنِ اثْنَيْنِ
وَسَبْعِيْنَ نَوْعًا مِنْ أَنْوَاعِ الْبَلاَءِ مِنْهَا اْلجُذَامُ وَاْلبَرَصُ
"Mulailah makananmu dengan
garam dan akhirilah (juga) dengan garam, maka kamu akan dijauhkan dari
tujuhpuluh macam dari beberapa macam cobaan. Dan termasuk diantaranya kusta dan
lepra" [6]
Rasionalisasi
dari sabda nabi di atas adalah dimungkinkan karena garam sebagai salah satu
pendukung utama makanan pokok, mempunyai beberapa kandungan zat yang sangat
berguna untuk membentuk kekebalan tubuh maupun menetralisir proses tertentu di
dalam tubuh yang bermanfaat dalam pencegahan penyakit termasuk kusta.
2. Merawat Organ Dan Jaringan
Saraf Sekitar Mulut
Mungkin
kita tidak menyadari ada sebagian organ tubuh kita merupakan titik pangkal
saraf yang menjadi sumber penyakit kusta. Dari beberapa keterangan yang kami
temukan, mulut adalah organ yang paling banyak diulas sebagai bagian tubuh yang
mempunyai akses saraf yang berperan merangsang terjadinya kusta. Disebutkan
keterangan dalam berbagai referensi baik dari hadis maupun dari keterangan
ulama :
لا تخللوا بعود الريحان ولا الرمان
فإنهما يحركان عرق الجذام
"Janganlah kamu menyela-nyelai
(gigimu) dengan kayu tumbuhan raihan (tumbuhan berbau harum) atau kayu pohon
delima karena keduanya akan menggerakkan urat (saraf) dari kusta. HR. Haytsamy
Dari
keterangan tersebut Ibn Qudamah memberikan kriteria alat yang digunakan untuk
ber-siwak (gosok gigi), yakni halus lembut sekaligus mampu membersihkan
gigi.[7]
Keterangan lain menyebutkan :
قطع
الظفر بالأسنان مكروه يورث البرص
" Memotong kuku dengan beberapa gigi adalah makruh dan akan
mengakibatkan kusta"
ويسن أن يبلع ريقه وقت وضع
السواك في الفم وقبل أن يحركه كثيرا لما قيل إن ذلك أمان من الجذام والبرص ومن كل
داء
"Disunatkan menelan ludah
sewaktu meletakkan siwak (sikat gigi) di mulut dan sebelum mengosokkan berulang-ulang,
karena dari hal itu (menurut sebuah pendapat) akan menjaga dari kusta, lepra
dan penyakit-penyakit lain".[8]
Sehingga
wajar apabila kemudian syariat Islam sangat menganjurkan menggosok gigi karena
mempunyai beberapa manfaat yang sangat banyak.
وإدامته تورث السعة والغنى وتيسر الرزق وتسكن الصداع وتذهب
جميع ما في الرأس من الأذى والبلغم وتقوي الأسنان وتزيد فصاحة وحفظا وعقلا وتطهر
القلب وتذهب الجذام
"Membiasakan bersiwak
(menggosok gigi) akan menyebabkan kelonggaran, kekayaan, kemudahan rejeki,
mengurangi sakit kepala, menghilangkan penyakit dan lendir di kepala,
menguatkan gigi, menambah kefasihan lisan, hapalan dan kecerdasan otak, serta
menghilangkan penyakit kusta".[9]
3. Antisipasi Lain
Selain
hal yang telah disebutkan di atas, masih ada hal hal yang secara medis Islam
dapat menjadi penyebab, seperti makanan sejenis acar yang terbuat dari susu
yang cara masaknya dengan digodok, atau biasa disebut (al-Mariy). Atau
seperti memelihara bulu hidung, dan seumpama harus dihilangkan, maka harus
dengan dipotong bukan dengan dicabut.[10]
Semua ini mungkin sebagai tindakan prefentif, dan pada intinya, tawaran dari
syariat Islam dengan mengetengahkan ilustrasi budaya bersih adalah konsep dan
garapan pakar medis dari ulama ulama terkemuka.
Kajian
kajian kesehatan mungkin telah banyak kita pelajari, baik tentang tindakan
pencegahan maupun pengobatan. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita bisa
mengantisipasi sedini mungkin perkembangan kusta dengan membudayakan hidup
bersih serta menyadari bahwa kesehatan adalah hal esensial. Sehingga
manifestasi dari rasa syukur serta kesadaran tersebut, kita yang mengidap
maupun kita yang menjadi abdi masyarakat bisa bahu membahu dalam menangani
persoalan ini. Dan kita yakin dengan rasa syukur kita, meskipun dalam skala
kecil dan belum memuaskan, Allah akan memberikan kesehatan dan kemudahan kepada
kita. Dalam sebuah keterangan hadits :
من
عطس أو تجشى فقال الحمد لله على كل حال رفع الله عنه سبعين داء أهونها الجذام
"Barangsiapa bersin dan
meng-antup kemudian dia mengucapkan "Segala puji bagi Allah, atas setiap
keadaan", maka Allah akan menghilangkan darinya tujuhpuluh penyakit, dan
yang paling ringan adalah kusta".
v.
Fenomena Persetubuhan Di Saat Haid
Kaum
Yahudi sangat jijik melihat istri istri mereka ketika sedang mengalami haid.
Sehingga mereka tidak mau menemani ketika makan, minum dan bahkan tidak pernah
serumah. Berbeda jauh dengan tradisi Nasrani yang terlalu menyepelekan
persoalan haid. Mereka selalu melakukan hubungan biologis meskipun istri
istrinya mengalami haid. Kemudian Islam datang membawa prinsip ta'adul (balance)
di antara dua tradisi dengan memperkenankan semua hal kecuali dalam urusan
hubungan biologis. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah :222
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Mereka bertanya kepadamu
tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri".
Menurut
al Khatib, maksud dari "adza" (kotoran) adalah penyakit bagi
anak yang akan terlahir, karena persetubuhan di saat haid akan berakibat anak
terkena penyakit kusta.[11]
Apa maksud dari statemen semacam ini ? apakah benar persetubuhan semacam itu
selalu berakibat kusta ?.
Ali
as-Sa'idi mengungkapkan, bahwa alasan pokok keharaman (larangan) dalam masalah
di atas terdapat beberapa pendapat. Pertama, sebagian kalangan memahami
alasannya bersifat ta'abudy (dogmatif irasional) dan belum bisa
dirasionalkan. Kedua, ada yang memahami hal tersebut dilarang karena
dikhawatirkan menimbulkan penyakit kusta, lepra dan sejenis penyakit kulit yang
merontokkan rambut (al-Qar'u) pada anak yang akan lahir. Ketiga, memahami
larangan itu demi mengantisipasi penyakit yang akan menimpa pelaku.
Dari
realita inilah kita harus arif mendudukkan permasalahan di atas. Persetubuhan
ketika dalam masa haid diakui ataupun tidak merupakan larangan bukan hanya
datang dari agama namun juga dari kalangan medis. Sehingga alasan utama syariat
dengan memberikan warning dalam berbagai literatur, secara esensial bermuatan tanfiir
(menjauhkan manusia) dari segala hal yang dilarang oleh agama. Sehingga
harus kita tempatkan porsi ancaman "akan mengakibatkan seorang anak
mengidap kusta" sebagai usaha ulama Islam menjauhkan manusia dari semua
larangan agama. Mengenai wujud dan tidaknya larangan semacam itu, semuanya
kembali kepada kehendak Allah. Dan kita juga harus memperhatikan sebuah sabda
Nabi :
من
حمى حول الحمى يوشك أن يقع فيه
"Barangsiapa
menggembala di sekitar bumi larangan, maka kemungkinan besar ia akan terjerumus
ke dalamnya"
Hadist ini merupakan
pengibaratan agar seseorang jangan pernah mencoba coba kemaksiatan maupun
larangan karena kemungkinan besar dia akan terjerumus ke dalamnya. Dan bukan
tidak mungkin, jika Allah menghendaki kemaksiatan itu akan berbuah sesuatu yang
tidak kita inginkan, naudzubillah min dzalik.
vi.
Kusta Adalah Jenis Penyakit Yang Bisa Disembuhkan
Allah
menurunkan cobaan bagi manusia hanyalah untuk mengetahui kesabaran seorang
hamba. Sehingga Allah selalu menciptakan obat untuk setiap penyakit. Dalam
sebuah hadis :
قالوا
يا رسول الله فهل علينا جناح أن نتداوي فقال تداووا عباد الله فإن الله لم يضع داء
الا وضع له دواء
"Sahabat berkata: "Ya
Rasulullah, apakah kita berdosa jika melaksanakan pengobatan?". Kemudian
Beliau menjawab: "Berobatlah kalian hamba-hamba Allah, karena Allah tidak
menciptakan sebuah penyakit, kecuali Dia juga menciptakan (untuk penyakit itu)
obat"
HR. Ibn Hibban
Hadist ini seharusnya kita
maknai secara proporsional, agar tidak terkesan fiktif ketika kita melihat
banyak penyakit semacam AIDS atau mungkin SARS yang belum secara transparan
ditemukan penangkal obatnya. Penjelasannya dapat kita temukan dalam hadis lain
:
إن
الله لم ينزل داء إلا أنزل له شفاء علمه من علمه وجهله من جهله
"Sesungguhnya Allah tidak
menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan obatnya. Dia memberikan
(pengetahuan) kepada siapa yang mengetahui dan meniadakan pengetahuan itu dari
mereka yang tidak tahu". HR. Turmudzi
Banyak
obat yang masih dirahasiakan Allah kepada manusia.[12]
Seperti dalam kusta yang dulu sulit disembuhkan, itu semata mata Allah belum
memberikan pengetahuan pada manusia akan obatnya. Dan terbukti, kini dunia
medis telah mampu menjawab tantangan penyakit kusta dengan pengobatan yang
efektif dan efisien.
Dalam
Islam di kala dahulu juga banyak dikenalkan beberapa pengobatan kusta dengan
melalui beberapa media. Diantaranya dapat kita simak berikut ini.
a.
Pengobatan dengan empedu burung nasar
Muhammad Satha' menawarkan
pengobatan dengan mempergunakan empedu dari burung nasar yang dicampur dengan
minyak yang terbuat dari biji anggur (dahn al-'inab). Perbandingan
campuran dari keduanya, menurut beliau, harus seimbang, kemudian dioleskan ke
sekujur tubuh yang terjangkit kusta selama tiga hari. Dengan ijin Allah, kusta
akan sembuh.[13]
b.
Manfaat brotowali (al-handzal)
Disebutkan oleh Ibn Muflih
tentang salah satu khasiat brotowali, yakni dapat menghilangkan serta memutus
penyakit kusta. Digunakan dengan cara digosokkan ke bagian tubuh yang
terjangkit kusta. Insyaallah sembuh.
c.
Pengobatan Dengan Pembekaman (Hijamah)
Pembekaman atau semacam tusuk
jarum yang pada intinya menghilangkan darah penyakit dalam tubuh kita, dapat
menjadi alternatif penyembuhan kusta. Dalam sebuah hadis :
عليكم
بالحجامة
فإنها شفاء من اثنين وسبعين داء
"Menetapilah kalian untuk melakukan pembekaman, karena
pembekaman
dapat menyembuhkan dari
tujuhpuluh dua penyakit"
Dan disebutkan, salah satu
penyakit yang dapat disembuhkan adalah kusta. Hadis ini juga menjadi
rekomendasi kesehatan tabib tabib jaman dahulu.[14]
d.
Pengobatan Kusta Kering
Salah satu penanganan yang
dulu biasa dipraktekkan adalah dengan mempergunakan air mawar yang dipakai
sebagai lulur dalam mandi.[15]
vii. Perlakuan
Terhadap Penderita Kusta
Dari
syariat disebutkan beberapa ketentuan mengenai penderita kusta, di antaranya
tentang hak perceraian dengan model khiyar (pilihan pembatalan nikah).
Hak ini diberikan dalam konteks rumah tangga atas dasar hadis Nabi :
أَنَّه
تزوج بامرأة فلما أدخلت رأى بكشحها بياضا فردها إلى أهلها
"Sesungguhnya (Nabi) mengawini
seorang perempuan, dan ketika (perempuan itu) masuk ke kamar Nabi, Beliau
melihat di sekitar lambungnya, belang-belang putih. Maka Nabipun
mengembalikannya kepada keluarganya"
Menurut
pakar hukum Islam, hak tersebut berlaku ketika kondisi kusta yang dideritanya
sudah mencapai fase kritis (istihkam). Bahkan menurut sebagian
pendapat harus diberikan kesempatan berobat selama satu tahun, baru kemudian
seseorang boleh menggunakan hak semacam ini.
Sebenarnya
kita dapat memahami hal ini lewat sebuah kenyataan, dimana menurut pakar hukum
Islam, ekses yang dibawa oleh penyakit kusta terutama dalam kehidupan rumah
tangga tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Karena rata rata tabiat manusia
selalu berusaha menjauhi hal hal yang menjijikkan. Serta cenderung menjaga diri
dari segala bentuk penularan penyakit, maka menjauhi penderita kusta merupakan
sebuah hal yang bisa kita pahami.[16]
Apalagi esensi pernikahan dari suami istri tentu tidak lepas dari kebutuhan
kebutuhan biologis yang menuntut adanya persinggungan.
Pertimbangan
dampak seperti di atas dapat kita bawa dalam permasalahan lain yang juga
disebutkan oleh syariat. Seperti dispensasi jamaah bagi penderita kusta dan
masalah masalah lainnya. Namun dengan catatan kusta yang sudah mencapai taraf
berpotensi mengganggu orang lain.
Namun
apakah dampak ini tidak bisa kita tawar?. Tentunya kita jawab bisa, karena hal
hal di atas hanya sekedar hak, sehingga ketika tercipta pengertian baik dalam
keluarga maupun dalam konteks sosial, kita bisa memberikan hak lebih fleksibel
kepada mereka. Namun apakah mungkin hal ini kita lakukan, mengingat sifat
manusiawi kita juga berbicara sama?. Inilah tantangan yang harus kita jawab.
III. PENUTUP KAJIAN
Dalam
menyelesaikan persoalan kusta, kita harus mengetahui duduk permasalahan yang
selama ini kurang dipahami mengenai kusta. Terlebih lagi ketika dipandang dari
kacamata agama.
Islam
menunjukkan nilai rahmatan lil 'alamiennya dengan berbagai aturan serta
kepedulian yang dalam penanganan penyakit kusta. Salah besar mereka yang
menilai kusta sebagai penyakit kutukan dan tidak benar kusta sulit disembuhkan.
Kusta
menurut Islam tetap mendapatkan hak sebagaimana warga biasa meskipun ketika
kusta mencapai tahapan tertentu, syariat juga menerapkan kebijakan berbeda. Hal
ini bukan karena kusta merupakan penyakit yang harus dijauhi, akan tetapi lebih
bersifat dampak gangguan sosial. Sehingga jikalau mulai sekarang kita mampu
menciptakan iklim masyarakat yang menempatkan porsi solidaritas lebih besar
dibandingkan porsi kepentingan sesaat, sangat mungkin kusta dan penderitanya
akan disikapi sebagaimana penyakit penyakit kulit lainnya. Sehingga masyarakat
tidak perlu merasa risih dengan keberadaannya. Dan tidak kalah pentingnya,
penderita juga termotifasi untuk sembuh dan menatap masa depan dengan lebih
cerah.
Darul Azka
Staf
Ahli LBM – P2L
[1]. Al-Ghazali "Ihya' Ulumuddin"
juz.IV hal.338 Dar Ihya' el-Kotob El-Arabiyah
[2]. Ayyub al-Zar'i "al-Thiib al-Nabawy"
hal. 116 Dar el-Fikr dan Wuzara' al-Auqaf wa al-Syu'un al-Islamiyah bi
al-Kuwait "al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah" juz. VIII hal. 77 Wuzarah
al-Auqaf
[3]. Ibid, hal. 77
[4]. Utsman bin Aly Al-Zaila'i Al-Hanafi "Tabyinul
Haqa'iq Syarah Kanzud Daqa'iq" Juz IV hal. 24 Dâr Al-Kitab
Al-Islamy
[5]. Wuzara' al-Auqaf wa al-Syu'un al-Islamiyah
bi al-Kuwait, Of. Cit. hal. 131-132 dan Ibn Hajar "al-Fatawy
al-Fiqhiyyah" juz. IV hal. 111 Dar el-Fikr
[6]. Musthafa al-Khadimy "Bariqah
al-Mahmûdiyah" hal. 109
[7]. Ibn Qudamah "Al-Mughni Syarh
Al-Kabîr" juz. I hal. 118 Dar el Fikr
[8]. Al-Nawawi al-Jawy "Nihayah al-Zain"
juz. I hal. 21Maktabah Hidayah dan "Fatawy Hindiyah"
juz. V hal. 359
[9]. Asy-Syarwani "Hawasyi al-Syarwani"
juz. I hal. 220 Dar El-Fikr
[10]. Al Ukhwah al-Qurbasi "Ma'alim
al-Qurbah"hal. 130 dan Ali As-Sa'idi "Hasiah al-'Adawi"
juz.II hal. 446
[11]. Al-Khatib al-Syarbini "Al-Bujairamy
ala al-Khatib" juz. I hal. 365-367
[12]. Ayyub al-Zar'i Of. Cit hal.
116
[16]. Ar-Rafi'i "Al-Aziz Syarh al-Wajiz"
hal. 132-133 dan Wuzara' al-Auqaf wa al-Syu'un al-Islamiyah bi al-Kuwait, Of.
Cit. hal. 131-132
thanks informasinya mas..
BalasHapuswah penjelasanya sangat gamblang..
kalau disini bagaimana mneurut mas sendiri http://www.tanyadok.com/kesehatan/kusta-apakah-bisa-disembuhkan