DALAM acara sebuah televisi swasta, host, Angelina Sondakh, yang
waktu itu belum lama ikut pergelaran Miss World, dan belum berstatus
anggota DPR (apalagi tahanan KPK), mengajukan pertanyaan kepada Gus Dur.
”Kalau Anda jadi presiden, setujukah seandainya pemilihan Miss World
digelar di Indonesia?” Gus Dur enteng menjawab, ”Anda ini bagaimana.
Nanya gitu kok sama santri.” Sontak terdengar suara tawa bergemuruh di
studio, barangkali juga para pemirsa di rumah dirambati rasa geli.
Angie tampak ikut tersenyum tanpa bisa mengajukan pertanyaan susulan.
Bagi penulis, yang tiap hari tinggal di dusun, jawaban Gus Dur seperti
itu sangat melegakan. Persoalan dan kontroversi di negeri ini terkait
isu Miss World ibarat rutinitas tahunan, entah soal perwakilan Indonesia
yang mengenakan busana kurang bahan sampai untung rugi jika Indonesia
menjadi tuan rumah.
Penulis melihat bahwa persoalan Miss World hanyalah satu contoh dari
sekian banyak ”barang dagangan” yang dikemas dengan label dan status
tertentu secara sosial, untuk kemudian ”diperjualbelikan” secara moral
agar mendapat perhatian khalayak. Ilustrasinya kurang lebih begini.
Jika Anda produser film, usahakan film yang Anda buat segera
menyandang status ”haram ditonton”. Biarkan orang-orang geger dengan
sendirinya. Makin geger berarti makin bagus karena banyak pihak
penasaran. Semakin banyak orang penasaran, semakin tinggi tingkat
penjualan tiket film yang Anda buat.
Model semacam ini sering diterapkan dalam banyak hal dan tumbuh subur
dalam mentalitas kanak-kanak masyarakat konsumtif. Dilarang sama
artinya dianjurkan. Maka jawaban Gus Dur sepert itu, mengajarkan kita
untuk tak mudah terjebak dalam perangkap hitam putih yang acap
diwacanakan secara dangkal oleh mainstream media massa.
Pemilihan Miss World boleh saja diklaim sebagai ajang kecantikan,
kemolekan, dan kecerdasan perempuan. Silakan juga diklaim sebagai media
kampanye pariwisata untuk menggenjot devisa, investasi, dan citra
Indonesia di mata dunia. Kalau kurang puas, sekalian saja diklaim dengan
istilah ”media dakwah budaya Indonesia”.
Semua klaim itu hanyalah persoalan pinggiran. Toh lebih penting
mengurus pendidikan generasi ketimbang memperlombakan kecerdasan dan
kecantikan sekaligus. Lebih utama menjamin keselamatan TKI yang bekerja
di luar negeri jika kita bicara devisa negara. Lebih penting menertibkan
keruwetan birokrasi kalau yang dicari investasi. Alhasil, pokok
soalnya, sekali lagi, terletak pada alur barang dagangan di pasar bebas
moral.
Cara Pikir
Beberapa waktu lalu, Ketua Umum PBNU Dr KH Said Aqil Siradj dalam
kapasitasnya sebagai Ketua Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPUI)
mengeluarkan pernyataan sikap yang intinya menolak penyelenggaraan Miss
World di Indonesia. Pernyataannya diikuti dengan kalimat, ”Jika
perhelatan Miss World tetap berlangsung, kami tidak ikut bertanggung
jawab secara moral dan budaya.”
Ibarat surat, kepada siapa pernyataan dialamatkan? Saya yakin bukan
para partisipan Miss World sebab mereka hanya orang-orang yang menjadi
boneka dari para pihak yang berkepentingan dengan bisnis tertentu. Bukan
pula masyarakat luas, karena justru khalayaklah yang dijual di hadapan
para pengiklan.
Kiai Said menujukan kalimat-kalimat itu kepada pedagang grosir,
eceran, sekaligus makelar yang berkepentingan dengan acara tersebut.
Komoditas mereka pada dasarnya hanya isu. Hanya meski sebatas isu, ia
bisa membawakan dampak fisik yang tak remeh. Wajar jika Kiai Said juga
menyebutkan pertimbangannya bahwa unsur mudarat kegiatan seperti itu
lebih banyak ketimbang kemaslahatannya.
Pernyataan Kiai Said merupakan kelanjutan dari cara Gus Dur melihat
dan menyikapi pelbagai persoalan. Itulah warisan Gus Dur: ilmu al ahwal,
yaitu ilmu tentang kompleksitas kenyataan dan bagaimana menghadapinya.
Ini sejenis pengetahuan yang bisa didapatkan setelah seseorang mendalami
idealitas Islam hingga ke hal-hal paling rinci, dan kemudian
menyilangkannya dengan realitas kehidupan.
Idealitas berurusan dengan kebenaran normatif, sedang realitas
berkenaan dengan kemaslahatan bersama. Ilmu al ahwal terasa kian penting
karena perang wacana secara sengaja makin dirembetkan pada segisegi
kearifan kultural bangsa. Ekspresinya makin telanjang dalam keseharian.
Dari sisi kanan ada serangan ekstremis atas nama agama, dari sisi
kiri ada fundamentalis atas nama pasar bebas. Daya tahan bangsa ini
terus dikepung dan digencet. Salah satunya melalui pergelaran Miss World
kali ini.
Penulis teringat salah satu puisi Gus Mus. Sambil membayangkan wajah
pedagang grosir, eceran, dan makelar Miss World, yang dengan ramah dan
gembira, mengucapkan ”Selamat Datang di Negeri Daging!” (10)
— KH Akhmad Said Asrori, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, pengasuh Ponpes Raudlatut Thullab Magelang
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar