بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Pengantar
Menjadi wanita adalah kodrat sekaligus anugerah Allah. Barangkali
tidak mudah dijalani dan penuh jalan terjal. Tapi adalah keniscayaan jika
wanita kemudian menjadi isteri bagi suami, dan menjadi ibu dari anak-anaknya. Peran
domestik yang sudah sedemikian repot ini kadang masih ditambah dengan
peran
sosial wanita sebagai bagian dari anggota komunal masyarakat. Sungguh merupakan
pengabdian yang luar biasa, karena di samping mengurus masalah pribadi dan
keluarga, mereka masih harus berbagi waktu dan usaha bagi kerja-kerja sosial.
Sejarah mencatat bagaimana wanita berperan dalam soal-soal
kemasyarakatan dan bahkan dalam perjuangan bangsa. Dan itu bukan hanya terjadi
di abad ini tapi bahkan jauh di beberapa abad yang lalu, di masa Rasulullah
shallallahu ‘alayh wasallam. Wanita berperan sedemikian rupa dalam berbagai
bentuk dan cara. Mereka ikut mangayubagyo dan menghantarkan Islam menjadi
seperti yang dapat dilihat pada masa ini. Salah satu wanita motivator dan
teladan itu adalah Sayyidah Khadijah binti Khuwaylid, sebagaimana profil
perjuangannya berikut ini.
Fenomena Khadijah Binti Khuwaylid radliyallahu ‘anha
Khadijah adalah isteri Kanjeng Rasul yang pertama. Sejarah
mencatat, beliau bukan hanya wanita pertama yang masuk Islam, tapi juga adalah
orang pertama yang menyatakan iman kepada Nabi. Beliau menikah dengan Kanjeng
Rasul saat berusia 40 tahun. Dan dalam 25 tahun pernikahannya dengan Nabi, beliau
dikaruniai Allah dua orang putra dan empat orang putri, yaitu: al-Qasim, ‘Abdullah,
Zaynab, Ruqayyah, Umm Kultsum dan Fathimah.
Khadijah senantiasa memberi semangat dan menjadi
motivator utama Nabi. Beliau merupakan pendamping setia Nabi, terutama saat
masyarakat mengucilkan Nabi. Sebagai seorang saudagar, melalui harta
kekayaannya, beliau menjadi pendukung utama Nabi dalam menegakkan agama Islam.
Saat kematian Khadijah, Nabi menjadikannya sebagai “Tahun
Kesedihan” atau ‘Ammul-Huzni. Saat masih bersama, Nabi tidak menduakan Khadijah.
Nabi bahkan menduda dan tidak beristri lagi selama tiga tahun paska meninggalnya
Khadijah. Besarnya cinta Nabi juga terlihat ketika beliau menziarahi kuburan
Khadijah, pada momentum para shahabat bereuforia merayakan keberhasilan
menaklukkan Makkah (Fath Makkah).
Potret Perjuangan Khadijah
Cinta Nabi yang sedemikian besar kepada Sayyidah Khadijah
tentu berdasarkan alasan-alasan agama. Ini bukan semata-mata cinta suami kepada
isteri, sebagaimana asumsi Sayyidah ‘Aisyah saat cemburu akibat Nabi mengagung-agungkan
namanya: “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selainnya (كأن لم يكن في
الدنيا امرأةٌ إلا خديجة)”. Nabi kemudian menjelaskan alasannya:
“واللهِ، ما
أبدلَنِي اللهُ خيْرًا مِنْها: آمَنَتْ بِي حِيْنَ كَفَر الناسُ، وصدَّقَتْني إِذْ
كَذَّبَنِي الناسُ، ووَاسَتْنِي بِمَالِها إِذْ حَرَّمَنِي النَّاسُ، ورَزَقَنِي
منها اللهُ الوَلَدَ دون غَيْرِها من النِّسَاءِ.”
(Demi Allah, Allah tidak memberiku wanita pengganti yang
lebih baik daripadanya: dia iman kepadaku tatkala orang-orang mengingkariku; dia
mempercayaiku ketika orang-orang mendustakanku; dia membantuku dengan hartanya
saat orang-orang tidak mau membantuku; dialah ibu dari anak-anak yang Allah
anugerahkan kepadaku, tidak dari istri-istri yang lain)
Ada beberapa penegasan yang
dapat diambil dari penjelasan Nabi terhadap keistimewaan Sayyidah Khadijah
radliyallahu ‘anha sebagaimana di atas:
1. Ungkapan “آمَنَتْ
بِي حِيْنَ كَفَر الناسُ” berarti, landasan perjuangan adalah keimanan. Iman menjadi
visi dan misi perjuangan Sayyidah Khadijah. Bermakna perjuangan beliau
senantiasa bersandar pada keyakinan tauhid dan berbasiskan ajaran agama. Hal
inilah yang menjadikan beliau berjuang tanpa takut dan tanpa menyerah, meskipun
harus dilakukan dengan susah payah.
2. Ungkapan “وصدَّقَتْني
إِذْ كَذَّبَنِي الناسُ” bermakna, keharusan untuk memiliki komitmen yang kuat. Berdasarkan
iman dan keyakinan yang kokoh, maka Sayyidah Khadijah memiliki tekad kuat
mengawal perjuangan Nabi hingga tuntas. Komitmen inilah yang menjadikan beliau
berani membela Nabi, melawan para penentang dan menanggung penderitaan bersama
dengan Nabi.
3. Ungkapan “ووَاسَتْنِي
بِمَالِها إِذْ حَرَّمَنِي النَّاسُ” bermaksud, kerelaan Sayyidah Khadijah untuk berkorban. Berkorban
adalah bukti cinta dan kesetiaan. Tidak ada perjuangan tanpa disertai dengan
pengorbanan. Rela berkorban berarti kesediaan dan keikhlasan berjuang tanpa
mengharap imbalan, baik bersifat materi, maupun non-materi. Kerelaan berkorban
bahkan menuntut seseorang berani dan bersedia menanggung penderitaan bagi
terwujudnya tujuan perjuangan.
4. Ungkapan “ورَزَقَنِي
منها اللهُ الوَلَدَ دون غَيْرِها من النِّسَاءِ” dapat diartikan sebagai kesadaran Khadijah terhadap
kodrat dan keberadaannya sebagai wanita, yang memiliki peran utama sebaga
isteri dan ibu bagi anak-anak. Jadiperan domestik ini tetap tidak boleh
ditinggalkan selama menjalankan peran sosial. Hal ini bermakna, perjuangan yang
dilakukan haruslah tetap dalam batas dan dukungan suami atau orangtua, dan
tetap menjaga fitrah, harga diri, harkat dan martabat pribadinya sebagai
seorang wanita.
Demikian catatan singkat ini disampaikan. Semoga
bermanfaat.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Oleh: Hilmy Muhammad
Daftar Bacaan:






0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar