Sabtu, 09 November 2013

SEJARAH ILMU DI BERBAGAI KAWASAN

Disusun oleh: M. Bik Muhtaruddin

BAB I
A. PENDAHULUAN
Yang namanya sejarah memang tidak pernah bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, karena di dalamnya terdapat beberapa peristiwa-peristwa yang telah terjadi pada masa yang sudah dilewati dan hal itu sangat berguna bagi kehidupan manusia untuk masa kini bahkan masa depan dalam segala aspek kehidupan. Sejarah sangat berpengaruh terhadap proses perjalanan hidup manusia, karena kejadian-kejadian pada masa lalu dan masa kini saling berhubungan.
K
ejadian-kejadian tersebut tidak terbatas pada hubungan kronologis saja, tetapi juga adanya hubungan sebab akibat yang sangat erat.
Sejarah ilmu telah membuktikan serangkaian kemenangan-kemenangan ilmu atas kebodohan dan tahayul yang berkembang. Berangkat dari mitos-mitos yang berkembang, manusia yang kritis mencoba untuk melakukan berbagai pembuktian yang mampu diterima akal tentang hal-hal tersebut, sehingga menelurkan karya-karya ilmiah tentang berbagai hal yang semula merupakan mitos.
Sementara itu, kemapanan ilmu-ilmu yang kita pelajari pada saat ini, tidak lahir begitu saja secara instan, melainkan melalui beberapa proses dan tahapan-tahapan panjang untuk menjadi sebuah ilmu. Disini diperluakan adanya pemahaman mengenai sejarah ilmu secara priodik. Karena setiap priode menampilkan ciri khas tertentu dan penemuan demi penemuan tidaklah berpusat pada suatu tempat.[1]
Sepertihalnya sejarah ilmu dan filsafat tentu tak akan lepas dari perbincangan peradaban Yunani kuno, sebab Filsafat dan ilmu yang dikenal di dunia Barat dewasa ini telah dulu menjadi objek kajian pada zaman Yunani kuno. Walaupn sebenarnya bukan hanya Yunani kuno yang mempuyai peradaban filosofis di muka bumi. terdapat beberapa kawasan yang dahulu kala juga pernah mengalami kemajuan berfikir secara filosofis, sepert India, Mesir, Cina dan Persia. Namun, Yunanilah yang mampu menorehkan prestasi luar biasa yang telah dicatat dengan tinta emas oleh sejarah sebagai negara yang membidani lahirnya ilmu pengetahuan dan filsafat.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Ilmu dan Pengalaman Prailmiah.
Ilmu secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu ‘alima-ya’lamu-‘ilman, yang berarti, mengerti atau memahami benar-benar.[2] Dalam kamus besar bahasa indonesia, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan dalam suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Dalam kamus, ilmu juga dapat diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir, dan batin.[3]
Ilmu adalah sebagai pengetahuan tentang realitas yang nyata yang dipastikan oleh pengamatan, pengujian kritis, dan pengklasifikasian sistematis di bawah prinsip-prinsip umum. Pengetahuan juga mampu menjelaskan penemuan-penemuan nilai-nilai masa lalu dan mampu membuat prediksi untuk masa depan melalui pemahaman kausalitas. Ilmu juga harus bersifat universal tidak terikat oleh ruang dan waktu, dapat dinyatakan dengan tegas, dapat difahami, dan mempunyai keterkaitan empiris yang bisa diuji persesuaian antara teori dan implikasi praktisnya.[4]
Beerling berpendapat bahwa pengalaman prailmiah adalah pengetahuan manusia  yang terdapat sebelum adanya ilmu yang menjadi dasar pengetahuan ilmiah sampai masa kini.[5] Ilmu dan pengalaman prailmiah merupakan dua hal yang saling berkaitan. Ilmu dapat muncul karena adanya tahapan-tahapan termasuk salah satunya adalah pengalaman prailmiah dan dilakukan pengujian terhadap pengalaman tersebut melalui metode-metode ilmiah.



B.   Sejarah Perkembangan Masyarakat Berilmu.
Ilmu dari masa ke masa senantiasa berkembang menjadi lebih kompleks seiring perkembangan pemikiran-pemikiran manusia. Dengan tumbuh-suburnya ilmu pengetahuan berdampak pada kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang sangat berperan dalam membantu kegiatan-kegiatan manusia, yang merupakan dampak positif teknologi, ini tidak terlepas dari adanya dampak negatif konsekuensi dari kemajuan teknologi tersebut. Namun dengan terus berkembangnya kemampuan manusia dalam hal teknologi dan ilmu pengetahuan, maka dampak negatif tersebut dapat terreduksi. Kehadiran teknologi yang selalu berkembang seakan menjadi penyelesaian dari masalah-masalah yang timbul akibat teknologi sebelumnya, tetapi harus diikuti dengan rasa pengertian manusia yang notabene adalah penemu dan pemakai teknologi.
Masyarakat berilmu merupakan buah dari filsafat-filsafat Yunani kuno yang merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu sendiri dimulai pada zaman pra-Yunani kuno, kemudian berlanjut dengan Yunani kuno, zaman pertengahan, zaman Renaissans dan Aufklaerung, zaman modern dan zaman kontemporer.
Masyarakat berilmu atau yang biasa disebut knowledge society adalah sebuah masyarakat dari berbagai organisasi dimana secara praktis setiap tugas tunggal akan dilakukan dalam dan melalui sebuah organisasi.[6] Selanjutnya Drucker menambahkan ciri-ciri masyarakat berilmu adalah : 1) Mempunyai kemampuan akademik, 2) Berpikir kritis, 3) Berorientasi kepada pemecahan masalah, 4) Mempunyai kemampuan untuk belajar meninggalkan pemikiran lama dan belajar lagi untuk hal-hal baru.
Perkembangan masyarakat berilmu akan terus meningkat sejalan dengan berkembangnya ilmu itu sendiri. Adanya pergeseran norma-norma tradisional menuju modernitas tidak dapat terhindarkan karena masyarakat berilmu bersifat dinamis.



C.  Sejarah Ilmu di Berbagai Kawasan
1.      Yunani
Dalam kerangka sejarah, perbicancangan ilmu dapat dimulai dari periode pra Yunani kuno dan Yunani kuno. Periode Yunani kuno mempunyai sebuah nilai besar, selain karna tersistematisnya sebuah metodedalam berfikir juga karna sekaligus periode ini membuka gerbang bagi sejarah peradaban manusia, yaitu bergesernya pola pikir manusia dari Mitosentris menjadi Logosentris, sehingga pada tataran praktisnya semesta alam yang dahulunya tekesan klenik dan dijauhi, kini mulai didekati bahkan di teliti. Ada usaha untuk menggali potensi yang terkandung didalamnya, manusia yang pasif berubah menjadi aktif dan kratif hingga pada akhinya dapat mewujudkan era tekhnologi seperti dalam dewasa ini.
a. Periode Pra-Yunani Kuno (sebelum abad ke 6 SM)
Pada periode ini belum lahir di tengah-tengah masyarakat seseorang yang mengeluarkan pendapat-pendapat rasional tentang alam dan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka hanya mengandalkan pengetahuan yang mereka dapat dari pengalaman. Pengetahuan yang berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap receptive mind dan masih dihubungkan dengan hal-hal magis. Kemampuan menemukan abjad dan sistem  bilangan alam sudah menempatkan perkembangan pemikiran manusia ke tingkat abstraksi yang berlanjut pada kemampuan mereka dalam menulis, berhitung, dan menyusun kalender yang didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan. Pada masa ini manusia mampu meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi, misalnya : gerhana bulan dan gerhana matahari.
b. Periode Yunani Kuno (6 SM - 6 M)
Masyarakat Yunani pada awalnya sangat kental dengan hal hal yang berbau takhayul, mitos dan klenik. Namun seiring dangan waktu, tedapat beberapa orang yang selalu bertanya akan hakikat dibalik semua yang terjadi dalam semesta alam. orang-orang itulah yang kemudian perlahan sedikit demi sedikit melepaskan diri dari kungkungan mitologi yang telah mengakar kuat dalam tradisi masa itu. Selepas terbebas dari belenggu mitolgi, baru mereka dapat membedakan mana yang riil dan mana yang hanya sebatas ilusi, mana yang hanya sebatas mitos dan mana yang mempunya dasar ilmiyah.
Periode ini merupakan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena pada periode ini muncul pemikiran-pemikiran yang merupakan cikal-bakal ilmu pengetahuan pada masa selanjutnya, dan di dalamnya terdapa peralihan pemikiran dari mitosentris menjadi logosentris. Dengan runtuhnya mite-mite dan dongeng-dongeng seputar gejala-gejala alam, muncullah rasa keingintahuan manusia pada masa itu untuk mencari jawaban tentang asal-usul dan kejadian alam semesta.
Awal kelahiran filsafat Yunani berangkat dari perhatian yang tertuju pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai bentuk usaha untuk menemukan asal-usul dari segala sesuatu. Thales (640-550 SM) menyimpulkan bahwa air merupakan arche (asas-mula) dari segala sesuatu. Pendapatnya ini di dukung oleh kenyataan bahwa air meresapi seluruh benda di jagad raya ini. Anaximander atau Anaximandrous (611-545 SM) menyakini bahwa asas-mula dari segala sesuatu adalah apeiron yaitu sesuatu yang tidak terbatas. Anaximene (588-524 SM) mengatakan bahwa asas-mula dari segala sesuatu adalah udara. Keyakinan ini didukung oleh kenyataan bahwa udara merupakan unsur vital kehidupan. Phytagoras (580-500 SM) mengatakan bahwa asas segala sesuatu dapat diterangkan atas dasar bilangan-bilangan.
Setelah banyaknya pendapat-pendapat seputar asas-mula segala sesuatu, muncul pemikiran yang tidak lagi mempertanyakan arche namun tentang tetap atau tidaknya segala sesuatu. Heraklitos (540-480 SM)mengemukakan pendapatnya melalui ungkapan panta rhei khai uden menci yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal mantap. Parmenides (515-440 SM) berpandangan sebaliknya. Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak, dan tidak bergerak. Dia menegaskan bahwa yang ada itu ada.[7]
Pemikir Yunani lain yang penting dalam rangka perkembagnan ilmu pengetahuan adalah Demokritos (460-370 SM) Ia menegaskan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang disebut dengan atom (atomos, dari a = tidak, dan tomos = terbagi). Atom-atom itu sama sekali tidak mempunyai kualitas dan jumlahnya tidak terhingga. Pandangan Demokritos ini merupakan cikal-bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi.[8]
Setelah berakhirnya masa para filosof alam, maka muncul masa transisi yakni penelitian terhadap alam tidak menjadi focus utama, tetapi sudah mulai menjurus pada penyelidikan pada manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “Sofis”. Kaum Sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-441 SM). Ia menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Pernyataan ini merupakan cikal-bakal humanism.  Ia juga menyatakan bahwa kebenaran itu bersifat subjektif dan relatif. Akibatnya, tidak ada ukuran yang absolute dalam etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolut. Tokoh lain dari kaum sofis adalah Gorgias (483-375 SM) yang memiliki sikap skeptis tentang kebenaran, dan oleh sebagian filosof dianggap sebagai pandangan nihilisme.[9]
Socrates yang muncul setelah kaum Sofis menolak relativisme kaum Sofis, begitu juga Plato dan Aristoteles. Menurut mereka, ada kebeneran objektif yang bergantung kepada manusia. Socrates membuktikan adanya kebenaran objektif itu dengan menggunakan metode yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan, sehingga metode yang digunakannya biasanya disebut metode dialog karena dialog mempunyai peranan penting dalam menggali kebenaran yang objektif.[10]
Plato (428-348 SM) adalah murid Socrates yang meneruskan tradisi dialog dalam berfilsafat. Plato memilih dialog karena ia berkeyakinan bahwa filsafat pada intinya tidak lain daripada suatu dialog. Berfilsafat berarati mencari kebijaksanaan atau kebenaran, dan oleh karena itu dapat dimengerti bahwa mencari kebenaran itu sebaiknya dilakukan bersama-sama dalam suatu dialog.
Filsafat Yunani mencapai zaman keemasannya pada masa murid Plato yang bernama Aristoteles (384-322 SM. Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu pengetahuan adalah mencari penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Kekurangan utama para filosof sebelumnya yang sudah menyelidiki alam adalah bahwa mereka tidak memeriksa semua penyebab. Aristoteles berpendapat bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai empat sebab yang semuanya harus disebut, bila manusia hendak memahami proses kejadian segala sesuatu. Keempat penyebab itu menurut Aristoteles adalah penyebab material (material cause), penyebab formal (formal cause), penyebab efisien (efficient cause), penyebab final (final cause). [11]
2.      Eropa
Periode pertengahan merupakan periode keemasan bagi Gereja, ilmu pada masa ini tidak berkembang pesat karena adanya bayang-bayang Gereja yang mengharuskan keselarasan antara pemikiran dan ajaran agama. Pemikiran pada masa ini dipandang terlalu seragam, sehingga seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran sebenarnya. Filosof Yunani yang berpengaruh pada abad ini adalah Plato dan Aristoteles, Plato menampakkan pengaruhnya pada Agustinus sedangkan Aristoteles pada Thomas Aquinas.
Kemajuan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat setelah adanya gerakan Renaissans dan Aufklaerung yang telah menjebol "penjara" ke-Gereja-an atas ilmu pengetahuan. Pada masa ini muncul beberapa ilmuwan seperti Copernicus dengan heliosentrisnya, Johanes Keppler dan Galileo Galilei. Di sini juga muncul aliran-aliran pemikiran baru seperti rasionalisme dengan Rene Descartes sebagai tokohnya, empirisme (Francis Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke), kritisisme (Imanuel Kant), idealisme (Hegel), positivisme (Auguste Comte), marxisme (Karl Marx).
3.      Cina
Cina merupakan salah satu negara yang memiliki peradaban besar hingga kini dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu bersaing dalam kedua bidang tersebut dengan Eropa. Meskipun keduanya berjauhan dan bahasanya berbeda total, terdapat kontak berkesinambungan antara Eropa dan Cina sejak zaman Yunani Kuno. Umumnya hubungan keduanya bersifat tak langsung dan terbatas pada perdagangan barang-barang antik, namun bahkan pada zaman kuno sudah terdapat sinkronisme dalam gerakan-gerakan filosofis di Eropa dan Cina, abad ke-13 terjadi kontak personal penting, yakni melalui Marcopolo, satu-satunya contoh yang sangat mahsyur. Hingga zaman Renaissans teknologi Cina lebih maju dari Eropa.[12]
Namun, pada saat ilmu dan teknologi barat berkembang pesat, ilmu dan teknologi di Cina mencapai titik nadir, sehingga prestasi-prestasi penduduk asli Cina telah dilupakan. Menurut sejarawan Inggris, Joseph Needham, ketiga penemuan besar yang diperlihatkan oleh para penulis abad ke-16 dan belakangan oleh Francis Bacon, sebagai hal penting bagi transformasi masyarakat Eropa semuanya berasal dari Cina : kompas magnetis, serbuk mesiu, dan mesin cetak. Namun Eropa tidak pernah menyadari hutang budinya kepada Cina, sementara itu, yang lebih penting, bangsa Cina tak pernah mencapai perkembangan hingga menjadi ilmu modern dalam jenis yang dicapai bangsa Eropa.[13]
4.      India
Peradaban India yang tertua sampai sekarang masih hidup. Peradaban itu telah mencapai tingkat teknologi yang tinggi sejak tahap awalnya. Kontak Eropa dengan India sebagian besar berlangsung melalui sumber-sumber berbahasa Arab, dan penelitian historis belum cukup maju untuk dapat membedakan prioritas-prioritas dan jalur-jalur penyebarannya. Jelas terlihat bahwa matematika India dengan sistem bilangan dan perhitungannya yang telah berkembang cukup tinggi, mempengaruhi aljabar Arab juga melengkapi angka-angka utama Arab (yakni, sembilan digit dan satu angkat nol dalam suatu sistem nilai-tempat). Tetapi ciri khas ilmu dalam peradaban ini berkenaan dengan kesadaran yang lebih tinggi (higher consciousness), dan dalam soal ini pemikiran Eropa sangat kurang, namun hanya kadang-kadang saja disadari adanya kekurangan itu. Oleh karena itu prestasi Eropa dan India tak dapat dibandingka secara ketat melainkan harus dianggap sebagai saling melengkapi satu sama lain.
5.      Islam
Islam merupakan agama yang sangat menghargai ilmu dan menjunjung tinggi ilmuwan. Dalam sejarah perkembangan ilmu dalam dunia Islam, terdapat adanya penerjemahan besar-besaran karya-karya filosof Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa kepemimpinan khalifah al-Mansur yang kemudian diteruskan oleh al-Ma'mun dan Harun al-Rasid. Dari sini muncullah filosof-filosof muslim yang terkenal seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Ibnu Rushd, Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi. Masa-masa ini adalah masa keemasan bagi Islam, dimana telah lahir ilmuwan-ilmuwan muslim dalam berbagai bidang keilmuan.
Lothrop Stoddard mengungkapkan bahwa menjelang abad ke-18, dunia Islam telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering kerontag berupa ritual tanpa jiwa yang menyatakan seandainya Muhammad bisa kembali hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya sebagai kaum murtad dan musyrik.[14]
Dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam Iqbal menyatakan bahwa salah satu penyebab utama kematian semangat ilmiah di kalangan umat Islam adalah diterimanya paham Yunani mengenai realitas yang pada pokoknya bersifat statis, sementara jiwa Islam adalah dinamis dan berkembang. Ia selanjutnya mengungkapkan bahwa semua aliran pemikiran Muslim bertemu dalam suatu teori Ibn Miskawaih mengenai kehidupan sebagai suatu gerak evolusi dan pandangan Ibn Khaldun mengenai sejarah.[15]
Sebab lain yang menyebabkan kehancuran tradisi keilmuan Islam adalah persepsi yang keliru dalam memahami pemikiran al-Ghazali. Orang umumnya mengecam al-Ghazali karena menolak filsafat seperti yang ia tulis dalam Tahafut al-Falasifahnya. Padahal ia sebenarnya menawarkan sebuah metode yang ilmiah dan rasional, dan juga menekankan pentingnya pengamatan dan analisis, serta sifat skeptis.


BAB III
Kesimpulan
Dari pemaparan singkat tentang sejarah ilmu dan filsafat di atas, dapat ditarik kesimpulan : bahwa Ilmu adalah pengetahuan yang tersusun dalam satu sistem yang berasal dari pengalaman studi  dan percobaan yang bersifat empiris, rasional, umum dan sistematik dan dapat diuji melalui metode-metode ilmiah. Sedangkan pengalaman prailmiah adalah pengetahuan manusia yang terdapat sebelum adanya ilmu yang menjadi dasar pengetahuan ilmiah.
Masyarakat berilmu adalah sebuah masyarakat yang mempunyai strata akademis, mempunyai pemikiran kedepan serta kemampuan untuk mengembangkan diri dan masyarakat.
Yunani merupakan nenek moyang dari pengetahuan, karena dari sanalah muncul filosof-filosof yang mengemukakan teori tentang hal-hal yang pada akhirnya menjadi ilmu pengetahuan. Zaman Renaissans dan Aufklaerung telah membuka jendela baru yang mengajak para ilmuan untuk terus meneliti sehingga ilmu pengetahuan dapat berkembang sangat pesat pada saat ini, dengan bukti lahirnya teknologi-teknologi baru.

DAFTAR PUSTAKA

Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: PP.Al-Munawwir Krapyak, 1989.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Pustaka Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1997)
Mustansyir, Rizal & Munir, Misnal, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Ravertz, Jerome R, Filsafat Ilmu; Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakara: Pustaka Pelajar, 2007.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007.


[1] Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu (Jogjakarta: Liberty Yogyakarta, 2007), 63.
[2] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989), 965.
[3] Pustaka Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 371.
[4] Stewart Ricards, An Introdution to Philoshopy of Soiology of Science (Oxford: TJ Press, 1983), 28.
[5] Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar filsafat ilmu, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), 15.
[6] Peter F Drucker, The Esensial Drucker, (New York: Happer Collins, 2001), 45.
[7] Amsal Bahktiar, filsafat ilmu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), 42.
[8] Mustansyir, Munir, filsafat ilmu, 62.
[9] Bakhtiar, filsafat ilmu, 27-28.
[10] Ibid., 29.
[11] Mustansyir, Munir, filsafat ilmu, 63-64.
[12] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu; Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan (terjemah), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 23.
[13] Ibid., 23-24.
[14] Bahktiar, filsafat ilmu, 46.
[15] Ibid., 47.

Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top