Sebuah keniscayaan bahwa setiap
makhluk mengalami perubahan. Segala aspek dalam kehidupan akan berubah dan
berkembang mengikuti arus zaman. Seiring dengan ini pula manusia sebagai
kholifah yang bertugas imaratul ardli, tertuntut untuk mengikuti perubahan.
Agar tak tereliminasi dari kancah pertarungan hidup.
Dewasa ini, era modern yang
dikoar-koarkan sebagai bentuk peradaban maju justru memiliki “efek samping”
yang begitu kompleks. Budaya, ekonomi, sosial serta agama tak luput dari
pengaruh modernisasi tersebut. Kecenderungan masyarakat kini yang konsumerisme
dan individualisme adalah dampak nyatanya.
Oleh KH. MA. Sahal Mahfudz,
kondisi semacam ini, dipaparkannya sebagai akibat dari persaingan
masalah-masalah sosial. Dan pelaku-pelaku sosial itu sendiri muncul sebagai
efek lain dari modernitas zaman. Gesekan demi gesekan yang timbul dari
berjalannya kepentingan masing-masing individu tanpa diimbangi dengan nilai
spiritual akan meninggalkan keresahan-keresahan tersendiri. Pola-pola perilaku
dan sikap hidup serta pandangan yang individualistik akan menempatkan manusia
pada titik-titik jenuh kehidupan komunitas kolektif, sehingga pada gilirannya
manusia justru acuh tak acuh terhadap lingkungannya sendiri.
Titik-titik jenuh yang
dimaksudkan oleh Kiai Sahal ini, akan menimbulkan suatu konsekuensi yakni orang
akan cenderung lari mencari “dunia lain” yang lebih menjanjikan kedamaian dan
ketentraman. Dengan demikian, agama merupakan jalan satu-satunya untuk mencapai
tujuan tersebut.
Dalam konteks ini, Islam
menawarkan konsep tasawuf sebagai alternatif dan langkah ideal untuk mengurangi
permasalahan ini. Di antara konsepnya adalah sikap zuhud.
Zuhud sendiri oleh para ulama
diartikan sebagai sikap meninggalkan ketergantungan atau keterikatan hati pada
harta dunia (materi), meskipun tidak berarti antipati terhadapnya maupun tidak
memiliki harta sama sekali.
Dengan penerapan sikap zuhud pada
lini kehidupan akan menumbuhkan kepedulian sosial yang tinggi terhadap sesama
makhluk. Karena zuhud akan mendorong seseorang untuk menjadi dermawan. Tak
salah bila Imam Ghozali mengatakan, “ sifat kikir merupakan buah dari rasa
cinta pada dunia sedang kedermawanan merupakan buah dari perilaku zuhud”.
Sikap semacam ini, tercermin dari
perilaku Nabi Sulaiman as yang “rela” makan roti dan gandum. Meski demikian
Nabi yang berjuluk Azhadiz Zaahidiin ini sering kali memberi makan pada seluruh
penduduk bumi.
Pada kurun Nabi Muhammad saw
sifat zuhud ini juga tampak pada para sahabat Nabi. Abdurrahman bin Auf salah
satunya. Walaupun tergolong orang terkaya di Madinah namun dengan sifat zuhud
yang dimilikinya, Abdurrahman bin Auf mampu mentasarufkan hartanya dengan
bijak. Bahkan pada suatu kesempatan Abdurrahman bin Auf pernah membagikan
seluruh muatan 700 kendaraan kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya,
sekembalinya dari Syam.
Dari keteladanan Nabi Sulaiman as
dan sahabat Abdurrahman bin Auf diatas, secara kontekstual dapat dipahami,
bahwasanya kedermawanan yang begitu luar biasa itu adalah konsekuensi logis
dari perwujudan sikap zuhud atau sikap tidak kumantil pada harta benda.
Sehingga membuat zahid (orang yang zuhud) dengan suka rela memberikan harta
bendanya kepada orang lain agar tercipta kesejahteran bagi masyarakat
sekitarnya.
Tentang sikap zuhud dan
kedermawanan ini, Syekh Abdul Qodir Jailani mengatakan, “semua harta benda
(dunia) adalah batu ujian yang membuat banyak manusia gagal dan celaka,
sehingga membuat mereka lupa kepada Allah. Kecuali jika pengumpulannya dengan
motif yang baik untuk akhirat. Maka biia dalam pentasarufannya memiiki tujuan
yang baik, harta dunia itupun akan menjadi harta akhirat (pahala)”.
Dengan demikian, tak berlebihan
bila sikap zuhud akan bisa mengcounter back pola hidup konsumerisme dan
individualisme yang kian marak ditengah masyarakat modern. Lebih dari itu, akan
pula mengurangi kecemburuan sosial oleh komunitas yang strata ekonominya lebih
rendah kepada komunitas seatasnya sebagai imbas dari ketimpangan sosial.
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar