A. PENDAHULUAN
Yang namanya sejarah memang tidak pernah bisa dipisahkan dari kehidupan
manusia, karena di dalamnya terdapat beberapa peristiwa-peristwa yang telah
terjadi pada masa yang sudah dilewati dan hal itu sangat berguna bagi kehidupan
manusia untuk masa kini bahkan masa depan dalam segala aspek kehidupan. Sejarah
sangat berpengaruh terhadap proses perjalanan hidup manusia, karena kejadian-kejadian pada masa lalu dan masa kini saling
berhubungan.
K
ejadian-kejadian tersebut
tidak terbatas pada hubungan kronologis saja, tetapi juga adanya hubungan sebab akibat yang
sangat erat.K
Sejarah ilmu telah membuktikan serangkaian
kemenangan-kemenangan ilmu atas kebodohan dan tahayul yang berkembang. Berangkat
dari mitos-mitos yang berkembang, manusia yang kritis mencoba untuk melakukan
berbagai pembuktian yang mampu diterima akal tentang hal-hal tersebut, sehingga
menelurkan karya-karya ilmiah tentang berbagai hal yang semula merupakan mitos.
Sementara
itu, kemapanan ilmu-ilmu yang kita
pelajari pada saat ini, tidak lahir begitu saja secara instan, melainkan
melalui beberapa proses dan tahapan-tahapan panjang untuk menjadi sebuah ilmu.
Disini diperluakan adanya pemahaman mengenai sejarah ilmu secara priodik.
Karena setiap priode menampilkan ciri khas tertentu dan penemuan demi penemuan
tidaklah berpusat pada suatu tempat.[1]
Sepertihalnya
sejarah ilmu dan filsafat tentu
tak akan lepas dari perbincangan peradaban Yunani kuno, sebab Filsafat dan ilmu
yang dikenal di dunia Barat dewasa ini telah dulu menjadi objek kajian pada
zaman Yunani kuno. Walaupn sebenarnya bukan hanya Yunani kuno yang mempuyai
peradaban filosofis di muka bumi. terdapat beberapa kawasan yang dahulu kala
juga pernah mengalami kemajuan berfikir secara filosofis, sepert India, Mesir,
Cina dan Persia. Namun, Yunanilah yang mampu menorehkan prestasi luar biasa
yang telah dicatat dengan tinta emas oleh sejarah sebagai negara yang membidani
lahirnya ilmu pengetahuan dan filsafat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ilmu
dan Pengalaman Prailmiah.
Ilmu secara etimologi berasal dari bahasa arab,
yaitu ‘alima-ya’lamu-‘ilman, yang berarti, mengerti atau memahami
benar-benar.[2] Dalam kamus besar bahasa indonesia, ilmu
didefinisikan sebagai pengetahuan dalam suatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu pula. Dalam kamus, ilmu juga dapat diartikan sebagai
pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir, dan batin.[3]
Ilmu adalah sebagai pengetahuan tentang realitas yang nyata yang
dipastikan oleh pengamatan, pengujian kritis, dan pengklasifikasian sistematis
di bawah prinsip-prinsip umum. Pengetahuan juga mampu menjelaskan
penemuan-penemuan nilai-nilai masa lalu dan mampu membuat prediksi untuk masa
depan melalui pemahaman kausalitas. Ilmu juga harus bersifat universal
tidak terikat oleh ruang dan waktu, dapat dinyatakan dengan tegas, dapat
difahami, dan mempunyai keterkaitan empiris yang bisa diuji persesuaian
antara teori dan implikasi praktisnya.[4]
Beerling berpendapat bahwa pengalaman prailmiah
adalah pengetahuan manusia yang terdapat
sebelum adanya ilmu yang menjadi dasar pengetahuan ilmiah sampai masa kini.[5] Ilmu
dan pengalaman prailmiah merupakan dua hal yang saling berkaitan. Ilmu dapat
muncul karena adanya tahapan-tahapan termasuk salah satunya adalah pengalaman
prailmiah dan dilakukan pengujian terhadap pengalaman tersebut melalui
metode-metode ilmiah.
B. Sejarah
Perkembangan Masyarakat Berilmu.
Ilmu dari masa ke masa senantiasa
berkembang menjadi lebih kompleks seiring perkembangan pemikiran-pemikiran
manusia. Dengan tumbuh-suburnya ilmu pengetahuan
berdampak pada kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang sangat berperan
dalam membantu kegiatan-kegiatan manusia, yang merupakan dampak positif
teknologi, ini tidak terlepas dari adanya dampak negatif konsekuensi dari
kemajuan teknologi tersebut. Namun dengan terus berkembangnya kemampuan manusia
dalam hal teknologi dan ilmu pengetahuan, maka dampak negatif tersebut dapat
terreduksi. Kehadiran teknologi yang selalu berkembang seakan menjadi penyelesaian dari masalah-masalah yang timbul akibat teknologi sebelumnya,
tetapi harus diikuti dengan rasa pengertian manusia yang notabene adalah penemu
dan pemakai teknologi.
Masyarakat berilmu merupakan buah dari
filsafat-filsafat Yunani kuno yang merupakan induk dari segala ilmu
pengetahuan. Perkembangan ilmu sendiri dimulai pada zaman pra-Yunani kuno,
kemudian berlanjut dengan Yunani kuno, zaman pertengahan, zaman Renaissans dan
Aufklaerung, zaman modern dan zaman kontemporer.
Masyarakat
berilmu atau yang biasa disebut knowledge society adalah sebuah
masyarakat dari berbagai organisasi dimana secara praktis setiap tugas tunggal
akan dilakukan dalam dan melalui sebuah organisasi.[6]
Selanjutnya Drucker menambahkan ciri-ciri masyarakat berilmu adalah : 1) Mempunyai
kemampuan akademik, 2) Berpikir kritis, 3) Berorientasi kepada pemecahan
masalah, 4) Mempunyai kemampuan untuk belajar meninggalkan pemikiran lama dan belajar
lagi untuk hal-hal baru.
Perkembangan masyarakat berilmu akan terus
meningkat sejalan dengan berkembangnya ilmu itu sendiri. Adanya pergeseran
norma-norma tradisional menuju modernitas tidak dapat terhindarkan karena
masyarakat berilmu bersifat dinamis.
C. Sejarah Ilmu di Berbagai
Kawasan
1.
Yunani
Dalam kerangka sejarah, perbicancangan ilmu dapat dimulai dari periode pra Yunani kuno dan Yunani kuno. Periode Yunani kuno
mempunyai sebuah nilai besar, selain karna tersistematisnya sebuah metodedalam
berfikir juga karna sekaligus periode ini membuka gerbang bagi sejarah
peradaban manusia, yaitu bergesernya pola pikir manusia dari Mitosentris
menjadi Logosentris, sehingga pada tataran praktisnya semesta alam yang
dahulunya tekesan klenik dan dijauhi, kini mulai didekati bahkan di teliti. Ada
usaha untuk menggali potensi yang terkandung didalamnya, manusia yang pasif
berubah menjadi aktif dan kratif hingga pada akhinya dapat mewujudkan era
tekhnologi seperti dalam dewasa ini.
a. Periode Pra-Yunani Kuno (sebelum abad ke 6 SM)
Pada periode ini belum lahir di
tengah-tengah masyarakat seseorang yang mengeluarkan pendapat-pendapat rasional
tentang alam dan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka hanya
mengandalkan pengetahuan yang mereka dapat dari pengalaman. Pengetahuan yang
berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap receptive
mind dan masih dihubungkan dengan hal-hal magis. Kemampuan menemukan abjad
dan sistem bilangan alam sudah
menempatkan perkembangan pemikiran manusia ke tingkat abstraksi yang berlanjut
pada kemampuan mereka dalam menulis, berhitung, dan menyusun kalender yang
didasarkan atas sintesa terhadap hasil abstraksi yang dilakukan. Pada masa ini
manusia mampu meramalkan suatu peristiwa atas dasar peristiwa-peristiwa
sebelumnya yang pernah terjadi, misalnya : gerhana bulan dan gerhana matahari.
b. Periode Yunani Kuno (6 SM - 6 M)
Masyarakat Yunani pada awalnya sangat kental
dengan hal hal yang berbau takhayul, mitos dan klenik. Namun seiring dangan
waktu, tedapat beberapa orang yang selalu bertanya akan hakikat dibalik semua
yang terjadi dalam semesta alam. orang-orang itulah yang kemudian perlahan
sedikit demi sedikit melepaskan diri dari kungkungan mitologi yang telah
mengakar kuat dalam tradisi masa itu. Selepas terbebas dari belenggu mitolgi,
baru mereka dapat membedakan mana yang riil dan mana yang hanya sebatas ilusi,
mana yang hanya sebatas mitos dan mana yang mempunya dasar ilmiyah.
Periode ini merupakan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, karena pada periode ini muncul
pemikiran-pemikiran yang merupakan cikal-bakal ilmu pengetahuan pada masa
selanjutnya, dan di dalamnya terdapa peralihan pemikiran dari mitosentris
menjadi logosentris. Dengan runtuhnya mite-mite dan dongeng-dongeng seputar
gejala-gejala alam, muncullah rasa keingintahuan manusia pada masa itu untuk
mencari jawaban tentang asal-usul dan kejadian alam semesta.
Awal kelahiran filsafat Yunani
berangkat dari perhatian yang tertuju pada pengamatan gejala kosmik dan fisik
sebagai bentuk usaha untuk menemukan asal-usul dari segala sesuatu. Thales (640-550
SM) menyimpulkan bahwa air merupakan arche (asas-mula) dari segala
sesuatu. Pendapatnya ini di dukung oleh kenyataan bahwa air meresapi seluruh
benda di jagad raya ini. Anaximander atau Anaximandrous (611-545 SM) menyakini
bahwa asas-mula dari segala sesuatu adalah apeiron yaitu sesuatu yang tidak
terbatas. Anaximene (588-524 SM) mengatakan bahwa asas-mula dari segala sesuatu
adalah udara. Keyakinan ini didukung oleh kenyataan bahwa udara merupakan unsur
vital kehidupan. Phytagoras (580-500 SM) mengatakan bahwa asas segala sesuatu
dapat diterangkan atas dasar bilangan-bilangan.
Setelah banyaknya pendapat-pendapat
seputar asas-mula segala sesuatu, muncul pemikiran yang tidak lagi
mempertanyakan arche namun tentang tetap atau tidaknya segala sesuatu.
Heraklitos (540-480 SM)mengemukakan pendapatnya melalui ungkapan panta rhei
khai uden menci yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun
yang tinggal mantap. Parmenides (515-440 SM) berpandangan sebaliknya.
Menurutnya, realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak, dan
tidak bergerak. Dia menegaskan bahwa yang ada itu ada.[7]
Pemikir Yunani lain yang penting
dalam rangka perkembagnan ilmu pengetahuan adalah Demokritos (460-370 SM) Ia
menegaskan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang disebut dengan atom (atomos,
dari a = tidak, dan tomos = terbagi). Atom-atom itu sama
sekali tidak mempunyai kualitas dan jumlahnya tidak terhingga. Pandangan
Demokritos ini merupakan cikal-bakal perkembangan ilmu fisika, kimia dan
biologi.[8]
Setelah berakhirnya masa para
filosof alam, maka muncul masa transisi yakni penelitian terhadap alam tidak
menjadi focus utama, tetapi sudah mulai menjurus pada penyelidikan pada
manusia. Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan,
sehingga timbullah kaum “Sofis”. Kaum Sofis ini memulai kajian tentang manusia
dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah
Protagoras (481-441 SM). Ia menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran.
Pernyataan ini merupakan cikal-bakal humanism. Ia juga menyatakan bahwa kebenaran itu
bersifat subjektif dan relatif. Akibatnya, tidak ada ukuran yang absolute dalam
etika, metafisika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak dianggapnya
mempunyai kebenaran yang absolut. Tokoh lain dari kaum sofis adalah Gorgias
(483-375 SM) yang memiliki sikap skeptis tentang kebenaran, dan oleh sebagian
filosof dianggap sebagai pandangan nihilisme.[9]
Socrates yang muncul setelah kaum
Sofis menolak relativisme kaum Sofis, begitu juga Plato dan Aristoteles.
Menurut mereka, ada kebeneran objektif yang bergantung kepada manusia. Socrates
membuktikan adanya kebenaran
objektif itu dengan menggunakan metode yang bersifat praktis dan dijalankan
melalui percakapan-percakapan, sehingga metode yang digunakannya biasanya
disebut metode dialog karena dialog mempunyai peranan penting dalam menggali
kebenaran yang objektif.[10]
Plato (428-348 SM) adalah murid
Socrates yang meneruskan tradisi dialog dalam berfilsafat. Plato memilih dialog
karena ia berkeyakinan bahwa filsafat pada intinya tidak lain daripada suatu
dialog. Berfilsafat berarati mencari kebijaksanaan atau kebenaran, dan oleh
karena itu dapat dimengerti bahwa mencari kebenaran itu sebaiknya dilakukan
bersama-sama dalam suatu dialog.
Filsafat Yunani mencapai zaman
keemasannya pada masa murid Plato yang bernama Aristoteles (384-322 SM.
Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu pengetahuan adalah mencari
penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Kekurangan utama para filosof
sebelumnya yang sudah menyelidiki alam adalah bahwa mereka tidak memeriksa
semua penyebab. Aristoteles berpendapat bahwa tiap-tiap kejadian mempunyai
empat sebab yang semuanya harus disebut, bila manusia hendak memahami proses
kejadian segala sesuatu. Keempat penyebab itu menurut Aristoteles adalah penyebab
material (material cause), penyebab
formal (formal cause), penyebab
efisien (efficient cause), penyebab
final (final cause). [11]
2. Eropa
Periode pertengahan merupakan periode keemasan
bagi Gereja, ilmu pada masa ini tidak berkembang pesat karena adanya bayang-bayang
Gereja yang mengharuskan keselarasan antara pemikiran dan ajaran agama.
Pemikiran pada masa ini dipandang terlalu seragam, sehingga seakan-akan tidak
penting bagi sejarah pemikiran sebenarnya. Filosof Yunani yang berpengaruh pada
abad ini adalah Plato dan Aristoteles, Plato menampakkan pengaruhnya pada
Agustinus sedangkan Aristoteles pada Thomas Aquinas.
Kemajuan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan
berkembang sangat pesat setelah adanya gerakan Renaissans dan Aufklaerung yang
telah menjebol "penjara" ke-Gereja-an atas ilmu pengetahuan. Pada
masa ini muncul beberapa ilmuwan seperti Copernicus dengan heliosentrisnya,
Johanes Keppler dan Galileo Galilei. Di sini juga muncul aliran-aliran
pemikiran baru seperti rasionalisme dengan Rene Descartes sebagai tokohnya,
empirisme (Francis Bacon, Thomas Hobbes dan John Locke), kritisisme (Imanuel
Kant), idealisme (Hegel), positivisme (Auguste Comte), marxisme (Karl Marx).
3. Cina
Cina merupakan salah satu negara yang memiliki
peradaban besar hingga kini dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mampu bersaing dalam kedua bidang tersebut dengan Eropa. Meskipun keduanya
berjauhan dan bahasanya berbeda total, terdapat kontak berkesinambungan antara
Eropa dan Cina sejak zaman Yunani Kuno. Umumnya hubungan keduanya bersifat tak
langsung dan terbatas pada perdagangan barang-barang antik, namun bahkan pada
zaman kuno sudah terdapat sinkronisme dalam gerakan-gerakan filosofis di Eropa
dan Cina, abad ke-13 terjadi kontak personal penting, yakni melalui Marcopolo,
satu-satunya contoh yang sangat mahsyur. Hingga zaman Renaissans teknologi Cina
lebih maju dari Eropa.[12]
Namun, pada saat ilmu dan teknologi barat
berkembang pesat, ilmu dan teknologi di Cina mencapai titik nadir, sehingga
prestasi-prestasi penduduk asli Cina telah dilupakan. Menurut sejarawan
Inggris, Joseph Needham, ketiga penemuan besar yang diperlihatkan oleh para
penulis abad ke-16 dan belakangan oleh Francis Bacon, sebagai hal penting bagi
transformasi masyarakat Eropa semuanya berasal dari Cina : kompas magnetis,
serbuk mesiu, dan mesin cetak. Namun Eropa tidak pernah menyadari hutang
budinya kepada Cina, sementara itu, yang lebih penting, bangsa Cina tak pernah
mencapai perkembangan hingga menjadi ilmu modern dalam jenis yang dicapai
bangsa Eropa.[13]
4. India
Peradaban India yang tertua sampai sekarang
masih hidup. Peradaban itu telah mencapai tingkat teknologi yang tinggi sejak
tahap awalnya. Kontak Eropa dengan India sebagian besar berlangsung melalui
sumber-sumber berbahasa Arab, dan penelitian historis belum cukup maju untuk
dapat membedakan prioritas-prioritas dan jalur-jalur penyebarannya. Jelas
terlihat bahwa matematika India dengan sistem bilangan dan perhitungannya yang
telah berkembang cukup tinggi, mempengaruhi aljabar Arab juga melengkapi angka-angka
utama Arab (yakni, sembilan digit dan satu angkat nol dalam suatu sistem
nilai-tempat). Tetapi ciri khas ilmu dalam peradaban ini berkenaan dengan
kesadaran yang lebih tinggi (higher
consciousness), dan dalam soal ini pemikiran Eropa sangat kurang, namun
hanya kadang-kadang saja disadari adanya kekurangan itu. Oleh karena itu
prestasi Eropa dan India tak dapat dibandingka secara ketat melainkan harus
dianggap sebagai saling melengkapi satu sama lain.
5. Islam
Islam merupakan agama yang sangat menghargai
ilmu dan menjunjung tinggi ilmuwan. Dalam sejarah perkembangan ilmu dalam dunia
Islam, terdapat adanya penerjemahan besar-besaran karya-karya filosof Yunani ke
dalam bahasa Arab pada masa kepemimpinan khalifah al-Mansur yang kemudian
diteruskan oleh al-Ma'mun dan Harun al-Rasid. Dari sini muncullah
filosof-filosof muslim yang terkenal seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina,
Ibnu Tufail, Ibnu Rushd, Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi. Masa-masa ini adalah
masa keemasan bagi Islam, dimana telah lahir ilmuwan-ilmuwan muslim dalam
berbagai bidang keilmuan.
Lothrop Stoddard mengungkapkan bahwa menjelang
abad ke-18, dunia Islam telah merosot ke tingkat yang terendah. Islam tampaknya
sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering kerontag
berupa ritual tanpa jiwa yang menyatakan seandainya Muhammad bisa kembali
hidup, dia pasti akan mengutuk para pengikutnya sebagai kaum murtad dan
musyrik.[14]
Dalam bukunya The Reconstruction of Religious
Thought in Islam Iqbal menyatakan bahwa salah satu penyebab utama kematian
semangat ilmiah di kalangan umat Islam adalah diterimanya paham Yunani mengenai
realitas yang pada pokoknya bersifat statis, sementara jiwa Islam adalah
dinamis dan berkembang. Ia selanjutnya mengungkapkan bahwa semua aliran
pemikiran Muslim bertemu dalam suatu teori Ibn Miskawaih mengenai kehidupan
sebagai suatu gerak evolusi dan pandangan Ibn Khaldun mengenai sejarah.[15]
Sebab lain yang menyebabkan kehancuran tradisi
keilmuan Islam adalah persepsi yang keliru dalam memahami pemikiran al-Ghazali.
Orang umumnya mengecam al-Ghazali karena menolak filsafat seperti yang ia tulis
dalam Tahafut al-Falasifahnya. Padahal ia sebenarnya menawarkan sebuah
metode yang ilmiah dan rasional, dan juga menekankan pentingnya pengamatan dan
analisis, serta sifat skeptis.
BAB III
Kesimpulan
Dari pemaparan singkat
tentang sejarah ilmu dan filsafat di atas, dapat ditarik kesimpulan : bahwa Ilmu adalah pengetahuan yang
tersusun dalam satu sistem yang berasal dari pengalaman studi dan percobaan yang bersifat empiris, rasional,
umum dan sistematik dan dapat diuji melalui metode-metode ilmiah. Sedangkan pengalaman
prailmiah adalah pengetahuan manusia yang terdapat sebelum adanya ilmu yang
menjadi dasar pengetahuan ilmiah.
Masyarakat berilmu adalah sebuah masyarakat
yang mempunyai strata akademis, mempunyai pemikiran kedepan serta kemampuan
untuk mengembangkan diri dan masyarakat.
Yunani merupakan nenek moyang dari
pengetahuan, karena dari sanalah muncul filosof-filosof yang mengemukakan teori
tentang hal-hal yang pada akhirnya menjadi ilmu pengetahuan. Zaman Renaissans dan Aufklaerung telah membuka jendela
baru yang mengajak para ilmuan untuk terus meneliti sehingga ilmu pengetahuan
dapat berkembang sangat pesat pada saat ini, dengan bukti lahirnya
teknologi-teknologi baru.
DAFTAR PUSTAKA
Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir; Kamus
Arab-Indonesia. Yogyakarta: PP.Al-Munawwir Krapyak, 1989.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat
Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Pustaka Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 1997)
Mustansyir, Rizal & Munir,
Misnal, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Ravertz, Jerome R, Filsafat
Ilmu; Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakara: Pustaka Pelajar, 2007.
Tim Dosen Filsafat
Ilmu UGM, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007.
[2] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir;
Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: PP. Al-Munawwir Krapyak, 1989), 965.
[3] Pustaka Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1997), 371.
[4] Stewart Ricards, An
Introdution to Philoshopy of Soiology of Science (Oxford: TJ Press, 1983),
28.
[5] Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar
filsafat ilmu, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), 15.
[11] Mustansyir, Munir, filsafat ilmu, 63-64.
[12] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu; Sejarah dan Ruang Lingkup
Bahasan (terjemah), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 23.
[13] Ibid., 23-24.
[14] Bahktiar, filsafat ilmu, 46.
[15] Ibid., 47.
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar