Selasa, 03 Desember 2013

AJARAN POKOK TASHAWUF BERKISAR SEKITAR PROSES PENYUCIAN JIWA


  •  Maqamat Dalam Tashawuf
Ajaran pokok tashawuf berkisar sekitar proses penyucian jiwa dan jalan pendekatan diri menuju Alloh SWT. Proses dan jalan itu sendiri sangat panjang dan melalui tahapan-tahapan, yang disebut maqamat. Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam ( maqam ), yang berarti posisi, kedudukan atau tingkatan . Dalam tashawuf, seperti diungkapkan Harun Nasution, pakar filsafat Islam,
bahwa maqamat lazim dipahami sebagai tempat pemberhentian atau stasiun dalam sebuah perjalanan panjang menuju Alloh SWT. Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi ( w. 378 H / 988 M ), tokoh tashawuf Suni dari Iran, menjelaskan bahwa maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Alloh SWT, yang berhasil diperolehnya melalui ibadah, perjuangan melawan hawa nafsu ( jihad an-nafs ), berbagai latihan spiritual ( riyadloh ), dan penghadapan segenap jiwa raga ( intiqa’) kepada Alloh SWT.
  • Peringkat Maqamat
Maqamat yang harus dijalani oleh seorang sufi terdiri atas beberapa peringkat. Menurut Abu Bakar al-Kalabadzi ( w. 380 H / 990 M. ), tokoh sufi asal Bukhara, Asia Tengah, menyebutkan tujuh maqam yang harus dilalui sufi menuju Alloh SWT, yaitu : taubat, zuhud, sabar, tawakal, ridla, mahabbah ( cinta ), dan ma’rifah ( mengenal ). Salah satu maqamat terpenting menurut Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili ( w. 1332 H / 1913 M ), tokoh Thariqat Naqsyabandiyah dari etnis Kurdi, ialah tobat ( taubah ). Menurutnya, tobat merupakan awal semua maqamat. Kedudukannya laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan tidak dapat berdiri. Tanpa tobat, seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Alloh SWT. Tobat dapat diumpamakan sebagai pintu gerbang menuju kehidupan sufistik.. Kata tobat berasal dari bahasa Arab, taubah, yang berarti “kembali”. Dalam istilah tashawuf, yang dikatakan tobat ialah kembali dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji, sesuai dengan ketentuan agama.
  • Peringkat Tobat
Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuli ( w. 291 H / 904 M. ), seorang sufi, menjelaskan :  bahwa tobat itu terdiri atas beberapa peringkat. Peringkat terendah ialah bertobat dari berbagai dosa besar, seperti menyekutukan Alloh SWT, durhaka kepada orangtua, berzina, meminum khamar, bersumpah palsu, dan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan agama. Peringkat selanjutnya ialah tobat dari dosa-dosa kecil, perbuatan makruh, sikap dan tindakan yang menyimpang dari keutamaan, merasa diri suci, merasa telah dekat dengan Alloh SWT, dan lain-lain. Adapun peringkat tobat yang paling tinggi ialah tobat dari kelengahan hati mengingat Alloh SWT, kendati hanya sekejap.
Tobat dari segala dosa merupakan anjuran agama. Banyak ayat Al-Qur’an yang menganjurkan tobat. Tidak kurang dari 71 kali kata taubah dengan derivasinya disebutkan Al-Qur’an, seperti berikut,
“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka kejahatan mereka diganti oleh Alloh dengan kebajikan. Dan adalah Alloh yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Alloh dengan tobat yang sebenar-benarnya” ( QS. 25 : 70-71 ).
Dalam ayat lain disebutkan,
”...Dan bertobatlah Kamu sekalian kepada Alloh, hai orang-orang yang beriman supaya Kamu beruntung” ( QS. 24 :  31 ).
Kemudian, ayat ini,
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Alloh dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai...” ( QS. 66 : 8 ).
  • Dua Sasaran Tobat
Imam al-Gazali menjelaskan dalam karyanya Minhaj al-‘Abidin ( Panduan Para Pelaku Ibadah ) bahwa tobat itu mempunyai dua sasaran. Pertama, tobat membuka jalan dalam peningkatan kualitas ketaatan seseorang kepada Alloh SWT, sebab perbuatan dosa yang dilakukan seseorang mengakibatkan kehinaan dan tertutupnya jalan untuk melakukan ketaatan kepada Alloh SWT. Dosa yang dilakukan seseorang secara terus menerus, tanpa tobat, akan menjadikan hatinya gelap, penuh noda hitam, keras, dan kotor. Hati yang demikian, tidak akan bisa merasakan kenikmatan beribadah dan tidak merasakan manisnya pendekatan diri kepada Alloh SWT. Sekiranya Alloh SWT tidak memberikan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-Nya yang berdosa, niscaya ia akan jatuh kedalam kekafiran dan kehancuran.
Kedua, tobat menentukan diterimanya amal ibadah seseorang oleh Alloh SWT. Oleh sebab itu, segala bentuk kebaikan, ketaatan, ibadah dan doa yang dilakukan seseorang belum diterima Alloh SWT selama orang itu masih bergelimang dosa. Oleh karena itu, tobat dari segala dosa merupakan suatu keharusan bagi setiap hamba Alloh SWT yang mengharap amalnya diterima oleh-Nya.
Sa’d bin Abi Waqqas, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, meminta kepada Nabi SAW agar Beliau mendoakan supaya segala permohonannya diperkenankan Alloh SWT. Menanggapi permintaan Sa’d itu Nabi SAW bersabda :  
“Hai Sa’d, makan dan minumlah dengan yang halal, tentu segala permohonanmu akan dikabulkan Alloh. Demi Alloh, yang diri Muhammad berada di bawah kekuasaan-Nya, sesungguhnya seorang hamba yang memasukkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya, segala amal ibadahnya tidak akan diterima Alloh selama empat puluh hari. Barang siapa diantara hamba Alloh yang jasadnya tumbuh dari sumber makanan yang haram, maka api neraka lebih berhak untuk menjilatnya” ( HR. at-Tabrani ).
  • Tobat Nasuha
Tobat yang dilakukan secara tulus dalam istilah Al-Qur’an disebut taubatan nasuhan ( tobat nasuha ). Para ‘Ulama’ memahami bahwa yang dikatakan tobat nasuha itu ialah tobat yang dilakukan atas kesadaran hati yang paling dalam. Dengan demikian, tobat nasuha merupakan kesadaran jiwa yang disertai tekad yang kuat untuk senantiasa melakukan kebaikan dan tidak mengulangi perbuatan jahat. Agar kesadaran demikian muncul di dalam kalbu, menurut Abu Sa’id al-Kharraz ( w. 286 H / 899 M. ), tokoh sufi yang pertama memperkenalkan teori fana dan baka, orang harus lebih dahulu menumbuhkan tiga hal. Pertama, senantiasa ingat bahwa perbuatan dosa itu merupakan perbuatan keji dan jahat, baik terhadap Alloh SWT maupun terhadap sesama manusia. Kedua, senantiasa ingat bahwa siksaan Alloh SWT itu sangat dasyat. Ketiga, senantiasa ingat betapa tidak berdayanya diri kita menanggung siksaan Alloh SWT di akhirat nanti. Dengan senantiasa ingat kepada tiga hal tersebut, akan tumbuh kesadaran di dalam hati kita untuk kembali kepada Alloh SWT melalui tobat nasuha.
  • Syarat Tobat Nasuha
Imam al-Gazali juga menjelaskan bahwa tobat nasuha itu pada intinya menghapuskan keinginan yang terlintas di dalam hati untuk melakukan perbuatan dosa yang pernah dilakukan pada masa lalu, sebagai perwujudan dari rasa kagum terhadap Alloh SWT, dan takut terhadap sikasaan-Nya. Tobat yang demikian dapat terwujud bila seseorang memenuhi tiga syarat. Pertama, membebaskan hati dari keinginan berbuat dosa. Kalau seseorang meninggalkan suatu perbuatan buruk, sementara hatinya masih menyimpan keinginan untuk melakukan perbuatan itu lagi, maka sebenarnya ia belum bertobat. Kedua, meninggalkan perbuatan buruk yang pernah dilakukan pada masa lalu. Ketiga, meninggalkan perbuatan buruk itu harus muncul dari hasrat hati, demi mengagungkan Alloh SWT dan menghindari kemurkaan dan adzab-Nya.
  • Pengertian Zuhud
Setelah tobat, maqam kedua yang harus dilalui oleh sufi ialah zuhud ( zuhd ). Zuhd dalam pengertian kebahasaan bermakna “meninggalkan sesuatu karena kekurangan dan kehinaannya”. Dalam Al-Qur’an hanya ditemui satu kata yang berakar dari kata zuhd, yaitu, az-zahidin ( orang-orang yang zuhud ), yang terdapat dalam surat Yusuf ayat 21. Yang dimaksud dengan zahidin dalam ayat tersebut mengandung makna “tidak tertarik hatinya” kepada Yusuf.
  • Hal Ihwal Keduniaan
Dalam istilah tashawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Alloh SWT, padahal terdapat kesempatan untuk memperolehnya. Dari definisi tersebut timbul pertanyaan, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hal ihwal keduniaan itu?. Jawaban pertanyaan itu tersirat dalam ayat Al-Qur’an,
“Dijadikan indah pada ( pandangan ) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Alloh-lah tempat kembali yang baik ( surga ) ” ( QS . 31: 14 ).
Juga dalam ayat Al-Qur’an,
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangaan tentang banyaknya harta dan anak....” ( QS. 57 : 20 ).
Kedua ayat itu mengisyaratkan bahwa hal ihwal keduniaan itu adalah berupa kesenangan material yang bersifat sementara dan tidak pernah memberi kepuasan kepada manusia. Segala bentuk keduniaan senantiasa mengacu kepada kepuasan semu dan terbatas. Oleh sebab itu, orang yang hanya bertujuan hidup untuk mencapai hasrat keduniaan adalah orang yang tertipu, karena ia hanya mengarahkan hidupnya pada tujuan jangka pendek, yang akan habis oleh kematian. Di balik kehidupan dunia terdapat kehidupan abadi di akhirat. Manusia harus mengarahkan tujuannya pada kehidupan abadi itu, karena di sanalah manusia akan mencapai kesenangan dan kepuasan yang sebenarnya.
Meski demikian, menurut Abu al-Hasan asy-Syadzili ( w. 656 H / 1258 M. ), pendiri Thariqat Syadziliyah, keperluan manusia pada hal ihwal keduniaan tidak dapat dikesampingkan. Menurutnya, yang dikatakan orang zuhud ialah orang yang menggunakan hal ihwal keduniaan sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya. Hajat hidup itu sendiri terdiri atas beberapa komponen. Ada yang berbentuk kebutuhan individual, keluarga, masyarakat, bahkan dalam hal bernegara. Orang yang zuhud ialah yang mampu menggunakan segala hal ihwal duniawi sesuai dengan ketentuan hukum dan etika, bukan untuk berlebih-lebihan dan berfoya-foya. Penggunaan materi yang demikian tidak dinilai bersifat keduniaan, karena segalanya digunakan untuk kepentingan pendekatan diri kepada Alloh SWT.

Oleh : Nur Rochim Wahid
Santri PP. Raudlatul Ulum,
Kencong Kepung Kediri Jatim


Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top