Rabu, 04 Desember 2013

Kepeloporan Perempuan Pesantren Sudah Terlatih Sejak di Pondok

Fenomena kepeloporan perempuan dari kalangan pesantren cukup menonjol beberapa tahun terakhir ini. Di samping bergerak dalam ranah kesetaraan gender, mereka juga juga cukup menonjol dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan politik. Fenomena ini menarik karena, perempuan dalam perspektif
pesantren biasanya lebih dipahami manusia kelas dua yang tak lepas dari dapur, sumur dan kasur. Ternyata, belakangan ini, perempuan pesantren berhasil keluar dari stigma ini. Bahkan Bu Nyai dari pesantren banyak yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga S3. Sebuah pencapaian yang tak pernah terbayangkan dalam tiga dekade sebelumnya. Ada apa di balik fenomena ini? Berikut ini adalah wawancara Agus Muhammad dari www.pondokpesantren.net dengan KH. Muhyidin Abdusshomad, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Jember.

Kepeloporan perempuan pesantren cukup menonjol dalam beberapa tahun terakhir ini. Ada apa di balik ini?

Saya kira ini tidak lepas dari kerja orang-orang yang mempunyai kesadaran kesetaraan gender. Para tokoh penggerak itu semisal Kyai Masdar, Lies Marcoes, Bu Sinta Nuriyah, Farcha Ciciek, dan adanya LSM-LSM seperti P3M, Rahima, Puan Amal Hayati. Mereka bekerja keras lebih dari sepuluh tahun, hampir lima belas tahun. Dan mereka keluar masuk pesantren, melakukan halaqah, pelatihan, tadarus, seminar di pesantren. Itu mempunyai pengaruh yang besar dalam mengubah pola pikir perempuan pesantren.

Ada faktor doktrin, nilai-nila atau tradisi pesantren?
Saya melihat justru doktrin itu paradoks dengan realitas. Misalnya kitab-kitab yang diajarkan di pesantren semacam Uqudul Lujain, dan sejenisnya, hampir tidak memberi ruang gerak sama sekali kepada perempuan. Munculnya kesadaran ini justru adalah akibat dari usaha para pejuang kesetaraan itu, bukan dari basic nilai-nilainya.

Bukankah sejak awal Islam sudah memulai kesetaraan gender jauh sebelum Barat melakukannya?

Sejauh yang saya tahu, itu baru muncul setelah digali oleh para pelopor kesetaraan gender. Sebelum itu, doktrin agama yang dikembangkan masih menganggap perempuan sebagai manusia kelas dua yang tidak lepas dari sumur, dapur dan kasur. Padahal kalau digali lebih mendalam, doktrin agama sangat mengangkat derajat perempuan. Dan ini harus diketahui seiring dengan perkembangan zaman. Tidak bisa kita sepenuhnya menghadirkan zaman dahulu untuk dilaksanakan pada saat ini. Karena situasi dan kondisi sudah sangat berbeda. Misalnya apa yang menjadi keputusan Lajnah Da’imah di Saudi Arabia di mana perempuan muslim dilarang menjadi sopir karena khawatir nanti mobilnya rusak dan nanti bercampur baur dengan laki-laki. Jadi seakan-akan manusia perempuan itu harus ada dalam satu sekat. Nah doktrin seperti itu – meski tidak persis sama – sebagian masih ada di pesantren.

Tapi sejarah awal Islam sangat jelas mengangkat derajat perempuan?
Ya, itu setelah digali, dikaji oleh kalangan para pemikir, kemudian doktrin itu dipahami sesuai dengan perubahan zaman. Kalau secara tekstual ditelan begitu saja, tidak digali sisi-sisi kontekstualnya, akhirnya seperti Arab Saudi itu di mana perempuan sama sekali tidak punya ruang gerak. Di Saudi kan Bank untuk perempuan ada sendiri; di sekolah gurunya harus perempuan. Kalau terpaksa harus laki-laki, itu harus pake CCTV. Untuk konteks sekarang, apalagi di Indonesia, cara seperti itu akan membuat orang Indonesia semakin takut saja pada Islam.

Doktrin awal sangat mengangkat derajat perempuan, lalu tergilas oleh doktrin yang membelenggu tapi ternyata kepeloporan perempuan pesantren nyaris tak terbendung. Bagaimana membaca paradoks ini?


Saya kira perkembangan pendidikan formal di pesantren memiliki pengaruh, sehingga beberapa doktrin yang dikembangkan di pesantren yang terkesan membelenggu itu tergilas oleh agenda sekolah-sekolah formal. Rasanya memang kalau dilihat dari materi pelajaran yang dikaji dari kitab-kitab di pesantren, itu tidak memungkinkan untuk melahirkan santri putri maju seperti sekarang. Di situ hampir tidak ada ruang untuk bergerak, mirip dengan Lajnah Dai’imah di Saudi itu. Paradoks itu memang sesuatu yang nyata.

Ada paradoks, tapi ternyata itu bisa dipecahkan dengan lahirnya tokoh-tokoh perempuan dari pesantren. Ini pasti ada sesuatu yang hebat di sana. Apa kira-kira itu?

Karena di pesantren sejak awal diajari mandiri. Kemandirian. Mereka sejak awal diajari dan dilatih untuk mengurus dirinya sendiri, mulai dari alat makan, pakaian, alat pembelajaran dan seterusnya. Kemudian di pesantren juga ada pelatihan-pelatihan berkomunikasi dengan publik. Misalnya seperti Haflah Maulid, Haflah Imtihan, Isro’ Mi’roj, dan lain sebagainya. Mereka sejak masuk pesantren sudah diajari terampil, mulai dari hal yang remeh temeh sampai bagaimana memanage suatu acara. Ketika ada acara, mereka yang ngurus semuanya, perlengkapan, kursi, meja, sound system, dan lain sebagainya. Di samping harus pinter berkomunikasi, mereka juga dilatih untuk menjadi panitia, MC, dan sebagainya. Dan pada saat yang sama juga menimba ilmu. Pelatihan yang secara berulang-ulang itu menjadikan alumni santri putri itu, ketika masuk ke kampus misalnya, atau dalam kehidupan nyata, mereka menjadi lebih menonjol dibanding yang lain. Sementara di sekolah umum, peluang “pelatihan” terus menerus itu kan kecil sekali; lebih kepada sains, berlama-lama di pelajaran, laboratorium dan sebagainya. Tapi untuk latihan-latihan kemandirian hingga tampil di depan publik, kan hampir setiap hari mereka lakukan. Santri dilatih untuk mendiri, cakap dan terampil di tengah situasi penuh kesederhanaan dan keterbatasan. Dan “pelatihan” ini berlangsung terus menerus, setiap hari. Ini yang membuat kepeloporan perempuan pesantren cukup menonjol.

Anehnya, sebagian kyai masih alergi dengan isu perempuan dan kesetaraan gender?

Mayoritas seperti itu. Kita sulit mencari kyai yang sadar kesetaraan. Apalagi banyak sekali, ini mungkin kritik pada sebagian kyai yang poligami. Kalau poligami yang bertanggungjawab, mungkin bisa ditolerir. Tapi poligami yang tidak bertanggungjawab banyak dilakukan di kalangan kyai di sekitar kita. Dan itu dianggap sesuatu yang lumrah dan tidak masalah. Padahal ini mestinya sudah harus dihentikan karena ini perilaku yang tidak menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Yang tragis itu di beberapa daerah poligami justru didukung oleh masyarakat. Ketika ada seorang perempuan dinikahi oleh kyai, masyarakat sekitar termasuk keluarganya merasa bangga. Walaupun pernikahan itu tidak lama. Setelah itu ditinggal. Kalau berangkat dari hadits, orang seperti itu tidak baik.

Sebagian dengan alasan ingin mendapat keturunan dari kyai?


Ada beberapa oknum kyai. Kalau ada kyai menikahi anaknya, orang tuanya bangga. Ini satu budaya yang negatif karena keluar dari nilai-nilai Islami. Sebab tidak bertanggung jawab. Allah kan melaknat kepada dawwaqiin dan dawwaqaat, orang yang hanya mencicipi.

Tapi belakangan ini banyak kyai yang mulai peduli dan kritis terhadap masalah ini. Artinya gerakan kesadaran gender tidak hanya didukung oleh perempuan tetapi juga laki-laki, termasuk sebagian kalangan kyai. Bagaimana Pak Kyai membaca fenomena ini?

Saya kira ini tidak lepas dari bacaan, kajian, perenungan. Ternyata laki-laki dan perempuan itu setara, memiliki hak-hak yang sama, walaupun dalam beberapa hal yang bersifat spesifik tidak mungkin diperlakukan sama. Dari segi psikologis, laki dan perempuan beda. Dari segi fisik-biologis pasti nggak sama. Sikap kita kepada perempuan harus adil. Tuhan pun mengajarkan seperti itu. Man ‘amila shalihan min dzakarin aw untsa falanuhyiannahum hayatan thayyiba. Barang siapa beramal shaleh baik laki-laki maupun perempuan maka akan kami beri kehidupan yang bahagia.

Dalam perkembangannya dewasa ini, kepeloporan perempuan, terutama perempuan pesantren, sudah sampe pada level mana?

Saya kira sekarang ini sudah mengalami kemajuan pesat, tapi tetap harus terus didorong. Saya bangga sekali di beberapa pesantren, seperti Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo (Situbondo, Jawa timur, red), ibu Nyai sampai bisa menyelesaikan promosi S3 dan sudah profesor. Di Jombang Ibu Nyai sudah banyak yang doktor. Dulu tidak ada. Pesantren perempuan saja baru berkembang setelah tahun 50-an. Sebelum itu tidak ada. Dan ini perlu terus didorong, terutama pihak PD Pontren (Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI, red), bagaimana menguatkan relasi kesetaraan ini.

Kalau ditingkat yang lebih tinggi, misalnya kepemimpinan peremuan, bagaimana pandangan kalangan kyai terhadap masalah ini?

Selama ini dari pengalaman kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini, kesadaran kesetaraan ini akan punah ketika berhadapan dengan masalah politik. Contoh yang paling riil, ketika Megawati dipromosikan menjadi presiden yang kedua kalinya, itu justeru yang menolak adalah para penggerak kesetaraan itu. Jadi kyai-kyai kumpul di Pasuruan, puritan sekali padangan mereka. Dan para aktivis perempuan hampir semuanya menolak. Kalau begitu, ada kendala-kendala dalam memperkuat gagasan kesetaraan ini. Salah satu kendala utama, disamping budaya dan tradisi di lingkungan pesantren sendiri, yang kedua masalah politik. Politik bisa merusak sebuah pemahaman yang sudah berkembang baik.

Di bidang pendidikan secara umum, apa saran Pak Kyai untuk mendorong kepeloporan perempuan agar lebih terlatih untuk mendiri seperti di pesantren?

Saya kira pengalaman di Jember, dari pihak lembaga, Dinas atau Kementerian yang mengurus pendidikan itu, perlu mengadakan semacam pesantren kilat. Itu sangat bermanfaat bagi anak-anak, bukan hanya dalam meningkatkan karakter dan akhlaqnya tetapi lebih kepada skill anak-anak agar terampil, lebih terlatih dalam kemandirian, kepemimpinan dan kemampuan berkomunikasi. [ ]
sumber: http://www.pondokpesantren.net/
Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top