Fenomena kepeloporan perempuan dari kalangan
pesantren cukup menonjol beberapa tahun terakhir ini. Di samping
bergerak dalam ranah kesetaraan gender, mereka juga juga cukup menonjol
dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan politik. Fenomena ini
menarik karena, perempuan dalam perspektif
pesantren biasanya lebih
dipahami manusia kelas dua yang tak lepas dari dapur, sumur dan kasur.
Ternyata, belakangan ini, perempuan pesantren berhasil keluar dari
stigma ini. Bahkan Bu Nyai dari pesantren banyak yang berhasil
menyelesaikan pendidikan hingga S3. Sebuah pencapaian yang tak pernah
terbayangkan dalam tiga dekade sebelumnya. Ada apa di balik fenomena
ini? Berikut ini adalah wawancara Agus Muhammad dari www.pondokpesantren.net dengan KH. Muhyidin Abdusshomad, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Jember.
Kepeloporan perempuan pesantren cukup menonjol dalam beberapa tahun terakhir ini. Ada apa di balik ini?
Saya
kira ini tidak lepas dari kerja orang-orang yang mempunyai kesadaran
kesetaraan gender. Para tokoh penggerak itu semisal Kyai Masdar, Lies
Marcoes, Bu Sinta Nuriyah, Farcha Ciciek, dan adanya LSM-LSM seperti
P3M, Rahima, Puan Amal Hayati. Mereka bekerja keras lebih dari sepuluh
tahun, hampir lima belas tahun. Dan mereka keluar masuk pesantren,
melakukan halaqah, pelatihan, tadarus, seminar di pesantren. Itu
mempunyai pengaruh yang besar dalam mengubah pola pikir perempuan
pesantren.
Ada faktor doktrin, nilai-nila atau tradisi pesantren?
Saya melihat justru doktrin itu paradoks dengan realitas. Misalnya kitab-kitab yang diajarkan di pesantren semacam Uqudul Lujain,
dan sejenisnya, hampir tidak memberi ruang gerak sama sekali kepada
perempuan. Munculnya kesadaran ini justru adalah akibat dari usaha para
pejuang kesetaraan itu, bukan dari basic nilai-nilainya.
Bukankah sejak awal Islam sudah memulai kesetaraan gender jauh sebelum Barat melakukannya?
Sejauh
yang saya tahu, itu baru muncul setelah digali oleh para pelopor
kesetaraan gender. Sebelum itu, doktrin agama yang dikembangkan masih
menganggap perempuan sebagai manusia kelas dua yang tidak lepas dari
sumur, dapur dan kasur. Padahal kalau digali lebih mendalam, doktrin
agama sangat mengangkat derajat perempuan. Dan ini harus diketahui
seiring dengan perkembangan zaman. Tidak bisa kita sepenuhnya
menghadirkan zaman dahulu untuk dilaksanakan pada saat ini. Karena
situasi dan kondisi sudah sangat berbeda. Misalnya apa yang menjadi
keputusan Lajnah Da’imah di Saudi Arabia di mana perempuan muslim
dilarang menjadi sopir karena khawatir nanti mobilnya rusak dan nanti
bercampur baur dengan laki-laki. Jadi seakan-akan manusia perempuan itu
harus ada dalam satu sekat. Nah doktrin seperti itu – meski tidak persis
sama – sebagian masih ada di pesantren.
Tapi sejarah awal Islam sangat jelas mengangkat derajat perempuan?
Ya,
itu setelah digali, dikaji oleh kalangan para pemikir, kemudian doktrin
itu dipahami sesuai dengan perubahan zaman. Kalau secara tekstual
ditelan begitu saja, tidak digali sisi-sisi kontekstualnya, akhirnya
seperti Arab Saudi itu di mana perempuan sama sekali tidak punya ruang
gerak. Di Saudi kan Bank untuk perempuan ada sendiri; di sekolah gurunya
harus perempuan. Kalau terpaksa harus laki-laki, itu harus pake CCTV.
Untuk konteks sekarang, apalagi di Indonesia, cara seperti itu akan
membuat orang Indonesia semakin takut saja pada Islam.
Doktrin
awal sangat mengangkat derajat perempuan, lalu tergilas oleh doktrin
yang membelenggu tapi ternyata kepeloporan perempuan pesantren nyaris
tak terbendung. Bagaimana membaca paradoks ini?
Saya
kira perkembangan pendidikan formal di pesantren memiliki pengaruh,
sehingga beberapa doktrin yang dikembangkan di pesantren yang terkesan
membelenggu itu tergilas oleh agenda sekolah-sekolah formal. Rasanya
memang kalau dilihat dari materi pelajaran yang dikaji dari kitab-kitab
di pesantren, itu tidak memungkinkan untuk melahirkan santri putri maju
seperti sekarang. Di situ hampir tidak ada ruang untuk bergerak, mirip
dengan Lajnah Dai’imah di Saudi itu. Paradoks itu memang sesuatu yang nyata.
Ada
paradoks, tapi ternyata itu bisa dipecahkan dengan lahirnya tokoh-tokoh
perempuan dari pesantren. Ini pasti ada sesuatu yang hebat di sana. Apa
kira-kira itu?
Karena di pesantren sejak awal diajari
mandiri. Kemandirian. Mereka sejak awal diajari dan dilatih untuk
mengurus dirinya sendiri, mulai dari alat makan, pakaian, alat
pembelajaran dan seterusnya. Kemudian di pesantren juga ada
pelatihan-pelatihan berkomunikasi dengan publik. Misalnya seperti Haflah Maulid, Haflah Imtihan, Isro’ Mi’roj, dan
lain sebagainya. Mereka sejak masuk pesantren sudah diajari terampil,
mulai dari hal yang remeh temeh sampai bagaimana memanage suatu acara.
Ketika ada acara, mereka yang ngurus semuanya, perlengkapan, kursi,
meja, sound system, dan lain sebagainya. Di samping harus
pinter berkomunikasi, mereka juga dilatih untuk menjadi panitia, MC, dan
sebagainya. Dan pada saat yang sama juga menimba ilmu. Pelatihan yang
secara berulang-ulang itu menjadikan alumni santri putri itu, ketika
masuk ke kampus misalnya, atau dalam kehidupan nyata, mereka menjadi
lebih menonjol dibanding yang lain. Sementara di sekolah umum, peluang
“pelatihan” terus menerus itu kan kecil sekali; lebih kepada sains,
berlama-lama di pelajaran, laboratorium dan sebagainya. Tapi untuk
latihan-latihan kemandirian hingga tampil di depan publik, kan hampir
setiap hari mereka lakukan. Santri dilatih untuk mendiri, cakap dan
terampil di tengah situasi penuh kesederhanaan dan keterbatasan. Dan
“pelatihan” ini berlangsung terus menerus, setiap hari. Ini yang membuat
kepeloporan perempuan pesantren cukup menonjol.
Anehnya, sebagian kyai masih alergi dengan isu perempuan dan kesetaraan gender?
Mayoritas
seperti itu. Kita sulit mencari kyai yang sadar kesetaraan. Apalagi
banyak sekali, ini mungkin kritik pada sebagian kyai yang poligami.
Kalau poligami yang bertanggungjawab, mungkin bisa ditolerir. Tapi
poligami yang tidak bertanggungjawab banyak dilakukan di kalangan kyai
di sekitar kita. Dan itu dianggap sesuatu yang lumrah dan tidak masalah.
Padahal ini mestinya sudah harus dihentikan karena ini perilaku yang
tidak menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Yang tragis itu di
beberapa daerah poligami justru didukung oleh masyarakat. Ketika ada
seorang perempuan dinikahi oleh kyai, masyarakat sekitar termasuk
keluarganya merasa bangga. Walaupun pernikahan itu tidak lama. Setelah
itu ditinggal. Kalau berangkat dari hadits, orang seperti itu tidak
baik.
Sebagian dengan alasan ingin mendapat keturunan dari kyai?
Ada
beberapa oknum kyai. Kalau ada kyai menikahi anaknya, orang tuanya
bangga. Ini satu budaya yang negatif karena keluar dari nilai-nilai
Islami. Sebab tidak bertanggung jawab. Allah kan melaknat kepada dawwaqiin dan dawwaqaat, orang yang hanya mencicipi.
Tapi
belakangan ini banyak kyai yang mulai peduli dan kritis terhadap
masalah ini. Artinya gerakan kesadaran gender tidak hanya didukung oleh
perempuan tetapi juga laki-laki, termasuk sebagian kalangan kyai.
Bagaimana Pak Kyai membaca fenomena ini?
Saya kira ini
tidak lepas dari bacaan, kajian, perenungan. Ternyata laki-laki dan
perempuan itu setara, memiliki hak-hak yang sama, walaupun dalam
beberapa hal yang bersifat spesifik tidak mungkin diperlakukan sama.
Dari segi psikologis, laki dan perempuan beda. Dari segi fisik-biologis
pasti nggak sama. Sikap kita kepada perempuan harus adil. Tuhan pun
mengajarkan seperti itu. Man ‘amila shalihan min dzakarin aw untsa falanuhyiannahum hayatan thayyiba. Barang siapa beramal shaleh baik laki-laki maupun perempuan maka akan kami beri kehidupan yang bahagia.
Dalam perkembangannya dewasa ini, kepeloporan perempuan, terutama perempuan pesantren, sudah sampe pada level mana?
Saya
kira sekarang ini sudah mengalami kemajuan pesat, tapi tetap harus
terus didorong. Saya bangga sekali di beberapa pesantren, seperti
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo (Situbondo, Jawa timur, red),
ibu Nyai sampai bisa menyelesaikan promosi S3 dan sudah profesor. Di
Jombang Ibu Nyai sudah banyak yang doktor. Dulu tidak ada. Pesantren
perempuan saja baru berkembang setelah tahun 50-an. Sebelum itu tidak
ada. Dan ini perlu terus didorong, terutama pihak PD Pontren (Direktorat
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI, red), bagaimana menguatkan relasi kesetaraan ini.
Kalau ditingkat yang lebih tinggi, misalnya kepemimpinan peremuan, bagaimana pandangan kalangan kyai terhadap masalah ini?
Selama
ini dari pengalaman kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini, kesadaran
kesetaraan ini akan punah ketika berhadapan dengan masalah politik.
Contoh yang paling riil, ketika Megawati dipromosikan menjadi presiden
yang kedua kalinya, itu justeru yang menolak adalah para penggerak
kesetaraan itu. Jadi kyai-kyai kumpul di Pasuruan, puritan sekali
padangan mereka. Dan para aktivis perempuan hampir semuanya menolak.
Kalau begitu, ada kendala-kendala dalam memperkuat gagasan kesetaraan
ini. Salah satu kendala utama, disamping budaya dan tradisi di
lingkungan pesantren sendiri, yang kedua masalah politik. Politik bisa
merusak sebuah pemahaman yang sudah berkembang baik.
Di
bidang pendidikan secara umum, apa saran Pak Kyai untuk mendorong
kepeloporan perempuan agar lebih terlatih untuk mendiri seperti di
pesantren?
Saya kira pengalaman di Jember, dari pihak
lembaga, Dinas atau Kementerian yang mengurus pendidikan itu, perlu
mengadakan semacam pesantren kilat. Itu sangat bermanfaat bagi
anak-anak, bukan hanya dalam meningkatkan karakter dan akhlaqnya tetapi
lebih kepada skill anak-anak agar terampil, lebih terlatih dalam kemandirian, kepemimpinan dan kemampuan berkomunikasi. [ ]
sumber: http://www.pondokpesantren.net/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar