Minggu, 15 Desember 2013

Ta'lim Al-Muta'allim Cermin Kualitas Pendidikan Islam

Ta'lim Al-Muta'allim Cermin Kualitas Pendidikan Islam



           
"Manusia adalah hewan yang sanggup berbicara dan berpikir", mungkin itulah istilah yang paling tepat untuk mengukur diri kita serta membandingkan dengan makhluk-makhluk Allah di muka bumi.
Kualitas kita selaku manusia tidak mungkin diukur dengan hanya bermodalkan rasio, karena selain dimensi akal memiliki jangkauan terbatas, manusia dalam keadaan sadarnya akan terus merasakan kekuatannya hanyalah nisbi.
Kenistaan Iblis menjadi tragedi abadi dan bukti rapuhnya rasionalitas ketika harus dipaksakan menjangkau semua alam dan jagat raya. Ilmu yang menjadi nilai dari sosok Adam, hanya dipandang sebelah mata, karena Iblis merasa dialah yang patut menyandang "makhluk terpandai" di alam raya.
Dua sosok dengan kelebihannya masing-masing, akhirnya harus berjalan dalam dua dimensi yang bertolak belakang, menjadi yang termulia dan yang ternistakan.
Itulah ilmu pengetahuan, meskipun berangkat prinsip yang sama, terkadang sebuah pengetahuan harus tertambat dalam perhentian yang jauh berbeda.
Nuansa inilah yang coba diangkat oleh Az-Zarnujî dalam memaparkan kajian dasar-dasar pendidikan agama dalam Islam.

Bab Pertama : Esensi Ilmu, Kepahaman Syariat, Dan Keutamaannya
Kata Nabi, "Menuntut ilmu adalah sangat wajib bagi laki-laki dan perempuan". Az-Zarnujî mengungkapkan, kewajiban ini berlaku dalam semua aspek kehidupan, mulai dari persoalan Ibadah hingga dalam masalah sosial kemasyarakatan. Dan batas kewajiban tersebut menurut beliau adalah mempelajari ilmu hâl, yakni pengetahuan tantang setiap perilaku manusia, sehingga ketika mereka hendak berperilaku, saat itu pula ia harus menuntut ilmu.
Ilmu pengetahuan dalam Islam menjadi perangkat mulia, karena hanya dengan ilmu itulah nilai seorang hamba (ketakwaan) akan dapat terangkat. Dan menurut pengarang, ilmu fiqhlah yang harus menjadi prioritas, karena dengan ilmu ini manusia akan tahu mana yang benar dan mana yang salah, juga dengan ilmu inilah kebahagiaan dunia akhirat akan dapat diraih.
Abu Hanifah memaparkan, fiqh di sini bermakna "mengetahuinya manusia akan kebaikan dan keburukan bagi dirinya". Lebih lanjut, beliau memberikan catatan penting tentang makna dan arti pengetahuan, yakni hakikat pengetahuan tidak lain hanyalah untuk diamalkan. Dan hakikat amal adalah menanggalkan kepentingan duniawi demi kesejahteraan nanti di akhirat.

Bab Kedua : Niat Ketika Belajar
Hal ini merupakan persoalan urgen dalam belajar, karena dengan sebuah keteguhan hati, nilai dari sebuah persoalan akan menjadi lebih bermakna. Seorang pelajar dianjurkan memulai belajarnya dengan sebuah orientasi jelas. Disebutkan disana, dia harus bertujuan mencari ridha Allah, menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain, serta berniat mengagungkan serta melestarikan agama Islam. Dengan orientasi ini, minimal dapat diharapkan sebuah nilai konsistensi yang akan berlanjut hingga sampai masa-masa perjuangan.

Bab Ketiga : Memilih Bidang Ilmu, Guru, Teman Dan Konsisten Dalam Menuntut Ilmu
Setiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam ilmu pengetahuan. Hanya saja prioritas utama seorang muslim adalah membenahi nilai keimanannya terlebih dahulu dengan ilmu tauhid, baru kemudian beralih pada bidang-bidang yang lain. Sedangkan untuk memilih seorang guru hendaknya seorang pelajar memperhatikan beberapa faktor, di antaranya, tingkat intelektualitas seorang guru (Al-A'lam), kualitas kepribadian (Al-Aura') dan senioritas (Al-Asan).
Dalam belajar, seseorang harus mampu mempertahankan ketekunan (Ats-Tsabât) dalam bidang pilihannya sebelum beralih mempelajari bidang yang lain. Selain itu, konsisten terhadap guru yang telah menjadi pilihannya juga menjadi kunci keberhasilan.
Kecenderungan untuk berpindah dari bidang satu ke bidang lain dan dari guru satu ke guru yang lain sebelum tuntas akan mengakibatkan hilangnya konsentrasi hingga akhirnya mempersempit akses pengetahuan dalam bidang-bidang lainnya. Kata ulama, "Barangsiapa mumpuni dalam satu bidang pengetahuan, maka ia juga akan mumpuni dalam bidang-bidang yang lain".

Bab Keempat : Memuliakan Ilmu Dan Ahlinya
"Barangsiapa mengajarkan satu huruf dari ilmu yang kamu butuhkan, maka ia akan menjadi bapak dalam agamamu". Dalam kaitan ini, seorang pelajar harus menghargai dan menghormati setiap hal yang berkaitan dengan ilmu. Mulai dari guru hingga kitab-kitab atau buku pelajaran yang dikaji.
Menghormati guru artinya berusaha melegakan hatinya, menghindari kemarahannya serta melaksanakan setiap perintah selain atas kemaksiatan. Selain itu semua keluarganya juga harus kita hormati, sebagai bagian dari penghormatan pada guru.
Menghargai kitab atau buku pelajaran dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya, mengambil dengan keadaan suci, menata kitab sesuai derajatnya, tidak menaruh barang lain di atasnya, tidak menjulurkan kaki ke arah kitab atau buku, memperbaiki tulisan dengan tulisan yang jelas, serta menghindari warna atau tanda merah di dalamnya (karena termasuk tradisi kaum filsafat).
Termasuk dari penghormatan yang dianjurkan adalah menyayangi dan menjaga solidaritas teman belajar, mendengarkan pelajaran dengan seksama dan penuh penghargaan, hingga pada saat pelajaran itu didengarkan untuk ke seribu kalinya, kualitas konsentrasi dan penghargaannya tetap sama dengan ketika ia mendengar pada kali pertama.

Bab Kelima, Keenam Dan Ketujuh : Ketekunan, Cita-cita Dan Waktu Belajar
"Dengan kadar usahamu, kamu akan meraih masa depanmu. Dan barangsiapa ingin meraih keutamaan, maka bangunlah pada malam-malammu".
Menurut sebagian ulama, dalam belajar sangat membutuhkan kesungguhan dari tiga unsur, pelajar, guru dan orang tua.
Kesungguhan seorang pelajar, digambarkan oleh Az-Zarnuji, adalah dengan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Di contohkan di sana, selain waktu siang, waktu di awal dan akhir malam sebagai waktu yang paling baik dimanfaatkan untuk belajar. Yang dianjurkan lagi adalah membatasi jam tidur dalam batas tertentu yang diperlukan, namun tidak diperbolehkan sampai mengabaikan kesehatan diri kita.
Persoalan urgen berikutnya adalah usaha memantapkan cita-cita (Himmah) yang tinggi sebagai orientasi yang jelas dan terfokus. Siapapun yang belajar dengan tekun tanpa cita-cita tinggi, atau bercita-cita tinggi namun tanpa ketekunan, maka niscaya hanya sedikit ilmu yang dihasilkannya.
Selain itu usaha lain juga banyak dianjurkan, seperti mengurangi makanan, memulai belajar di masa muda dan memilih hari Rabo sebagai permulaannya serta lain sebagainya.
Dan yang tidak kalah penting adalah melakukan diskusi-diskusi (munadharah wa al-mudzakarah) namun dengan satu tujuan, yakni menghasilkan sebuah kebenaran bukan sekedar mencari kemenangan.

Bab Kedelapan Dan Kesembilan : Tawakal, Tulus, Saling Memberi Nasehat.
Hendaknya seorang pelajar tidak terlalu memprihatinkan keadaan ekonominya serta tidak perlu susah kehilangan hal-hal duniawinya. Karena hal tersebut berdampak serius dalam keteguhan hati dan konsentrasi belajar.
Kasih sayang dan saling menasehati dalam proses belajar mengajar merupakan faktor penting untuk diperhatikan. Syekh Burhanudin menyampaikan, anak seorang pengajar menjadi alim sebab dia menginginkan murid-muridnya menjadi orang alim. Artinya, anaknya menjadi alim dengan sebab berkah keyakinan dan kasih sayangnya.

Bab Kesepuluh : Menggapai Ilmu Dan Menghindari Larangan (wira'i)
Cara yang diajarkan Az-Zarnuji untuk memperoleh tambahan ilmu sebanyak-banyaknya adalah dengan selalu menyediakan alat tulis dan mencatat segala tentang ilmu yang didengarnya. Dikatakan di sana, "Barang siapa menghapal, maka akan lupa dan barangsiapa mencatat maka akan tetap".
Wira'i maksudnya menghindari hal-hal yang kurang layak dilakukan. Termasuk di dalamnya adalah menghindari kekenyangan, banyak tidur, banyak bicara yang tidak perlu, menghindari makanan pasar karena selain kurang terjaga kebersihannya, juga dianggap kurang berkah dan lain sebagainya.

Bab Kesebelas : Hal-hal Yang Memperkuat Hapalan Dan Yang Menghilangkannya.
Hal-hal yang paling berpengaruh dalam usaha memperkuat daya hapal di antaranya adalah ketekunan, kontinuitas, mengurangi makanan, menggosok gigi, shalat malam, memperbanyak shalwat dan membaca Al-Qur'an serta lain sebagainya.
Namun yang paling harus dihindari sebagai faktor utama adalah meninggalkan segala bentuk kemaksiatan. Seperti As-Syafi'i pernah mengatakan, "Aku mengadukan jeleknya hapalanku kepada guru Waki'. Dan beliau memberi petunjuk padaku untuk meninggalkan kemaksiatan".
Kemudian hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi pelupa atau menghilangkan hapalan sebagaimana memakan apel masam, memandang orang yang disalib, membaca tulisan nisan di pemakaman, menjatuhkan kutu yang masih hidup ke tanah, dan lain sebagainya.

Bab Kedua belas : Hal-hal Yang Memudahkan Rejeki Dan Memanjangkan Umur
Segala bentuk dosa akan menghalangi manusia mendapatkan kemudahan dalam memperoleh rejeki, terlebih ketika sering melakukan kebohongan. Terlalu banyak tidur terlebih tidur ketika waktu shubuh, tidur atau kencing telanjang, menyapu rumah saat malam hari, berjalan di depan orang tua, memanggil orang tua dengan namanya, mencuci tangan dengan lumpur atau debu dan sebagainya tergolong dapat mempersulit rejeki dan bukan termasuk yang bisa menambah umur dan kesehatan.
Salah satu hal yang dapat menambah rejeki adalah pada setiap hari mulai ketika tersingkapnya fajar hingga waktu shalat, membaca "Subhanallahil Adzim Subhanallah wabi hamdihi Astaghfirullah wa Atubu ilaih" seratus kali. Dan juga membaca "La Ilaha Illa Allah Al Malikul Haqqul Mubiin" setiap hari pagi dan sore.

Kesimpulan dari pemaparan di atas, bahwa konsep ini merupakan hasil telaah matang dengan disertai bukti-bukti lapangan yang valid.
Dan dari beberapa kajian ini perlu kiranya kita tegaskan sekali lagi, dimensi ini merupakan konsep utuh dalam pendidikan Islam yang berorientasi bukan hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan secara efektif, akan tetapi konsep ini memiliki orientasi pembentukan nilai sempurna pada seorang pelajar. Karena ilmu pengetahuan dalam Islam bukan hanya berstandarkan kualitas intelektualitas, akan tetapi juga diukur dari tolak ukur pengejawantahan dalam berbagai bidang. Artinya, ilmu itu sendiri akan bernilai tanpa didukung nilai amaliah yang memadai.


Lirboyo, 09 Februari 2005

Pemakalah
Mas Azka


  
Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top