Banyak pesantren belakangan ini berlomba-lomba mendirikan
pendidikan umum di lingkungan pesantren. Pada tingkatan tertentu, pembelajaran keilmuan
agama yang selama ini menjadi cirikhas pesantren bahkan cenderung
dinomorduakan. Memang belum sampai pada tahap dihilangkan, tapi sudah banyak
santri dan juga pesantren yang mengedepankan sekolah yang berorientasi
pada’ijazah’.
Bagaimana menyikapi persoalan tersebut? Muhtadin AR dan Subhan
(MS) dari www.pondokpesantren.net mewawancarai KH. Solahuddin Wahid atau yang
akrab dipanggil Gus Solah (GS), Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
untuk memotret persoalan tersebut.MS : Bagaimana perkembangan pesantren dan pendidikan saat ini?
GS: Saya melihat di pesantren ini ada semacam kegamangan atau ketidakjelasan, yakni keinginan untuk memadukan pendidikan umum dan pesantren. Saya lihat dua-duanya tidak tercapai. Pendidikan diniyahnya tertinggal, dan pendidikan umumnya juga tidak mencapai suatu tingkatan yang tinggi. Oleh karena itu, mulai tahun ini (2009) di Tebuireng saya mencoba kembali mendirikan kegiatan mu’alimin enam tahun tamatan MI atau SD yang khusus belajar ilmu agama. Di sini tidak ada sama sekali pendidikan umum dan tidak ada ujian. Kalau mau ijazah, mereka akan melakukan ujian sendiri, melalui ujian persamaan. Apakah itu Tsanawiyah atau Aliyah. Apakah itu SMP atau SMA. Nanti kalau tanpa ijazah bisa juga mereka masuk ma'had ’aly. Dari ma'had ’aly selevel S1 bisa melanjutkan S2 dan seterusnya di luar negeri mungkin.
Saya tak tahu pasti hal-hal seperti ini dapat mengembalikan pendidikan keagamaan di Tebuireng. Tentunya perlu waktu, perlu kerja keras, dan perlu dukungan-dukungan yang lainnya untuk dapat terwujud. Sedang untuk pendidikan yang lain, SMP dan SMA, saya mencoba meningkatkan kemampuan mereka. Dari segi pengajaran dan dari segi kognitif, yakni dengan mencoba melakukan pelatihan guru-guru melalui IKIP Surabaya (sekarang UNESA), yang dimulai tahun ini dengan guru-guru mata pelajaran UAN. Dan hasil yang dicapai adalah meningkatnya angka rata-rata dan meningkatnya lulusan Tebuireng yang masuk perguruan tinggi terkemuka.
MS: Sekarang ini ada UU no. 20 tentang Sisdiknas yang didalamnya beberapa pasalnya secara implisit berbicara tentang pesantren. Seberapa efektif aturan semacam ini?
GS: Belum nampak. Perpes-nya kan masih baru. Kami juga masih menunggu Peraturan Menteri tentang itu yang sampai sekarang belum ada. Tentunya itu satu peluang yang baik. Supaya pendidikan pesantren mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Selama ini pendidikan pesantren terlupakan. Nah, tadi yang saya lakukan baru kognitif, padahal konsep pendidikan tidak hanya hal itu saja. Juga afektif dan psikomotorik, yang afektif ini yang perlu dibenahi. Perlu membentuk karakter para tamatan pesantren. Orang yang positif tentunya, orang yang percaya diri orang yang akhlaknya baik., orang yang mampu berkomunikasi dengan baik, dan seterusnya. Dan hal inilah yang cukup sulit dibandingkan yang kognitif tadi misalnya. Jadi hal ini adalah tantangan kita bersama. Bagaimana mewujudkan santri-santri yang berakhlak baik, orang yang amanah, orang-orang yang betul-betul menjadi orang Islam dalam artian yang sebenarnya.
Kalau mau jujur, Islam tertinggal jauh sekali. Indonesia sudah 60 tahun lebih merdeka, kita juga telah punya tokoh-tokoh pengetahuan dari kalangan Islam, tetapi tidak mengalami pengetahuan seperti yang seharusnya. Banyak umat Islam yang tertinggal dalam pendidikan maupun dalam kesejahteraan. Syukur bahwa, katakanlah dulu banyak orang-orang abangan yang kini menjalankan kegiatan keagamaan dengan baik. Hanya saja saya masih melihat ada jarak antar Islam sebagai pengetahuan dengan perilaku. Bagaimana menjembataninya? Karena kalau tidak demikian, orang-orang Islam tidak akan maju.
MS: Ada tiga aspek yang dikenal dalam pendidikan pesantren dewasa ini. Aspek pendidikan agama, aspek pengembangan masyarakat, dan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti yang Gus Sholah sebut tadi, dalam kaitannya dengan tingkat pemahaman keagamaan masyarakat dan peran pesantren, apakah pesantren belum maksimal dalam berkomunikasi dengan masyarakat?
GS: Saya tak begitu tahu. Tapi kalau di Tebuireng kami, khususnya saya pribadi, mencoba untuk terus menjalin kontak dengan masyarakat. Kalau misalnya saya diundang tetangga, jika saya ada di Tebuirenga, pasti saya akan datang. Demikian juga, saya mengundang mereka untuk halal bi halal di rumah dan ternyata hal itu mendapatkan sambutan. Tapi kan tidak cukup dengan itu.
Sebetulnya, pesantren juga diharapkan menjadi agen perubahan, agar masyarakat menjadi lebih maju. Tetapi hal itu kan harus dimulai dari pesantrennya sendiri. Kalau pesantrennya tidak maju bagaimana bisa memajukan masyarakat? Dan saya melihat pesantren Tebuireng itu maju sekali, tetapi belakangan kan tidak. Dan untuk kembali ke posisi yang dulu, itu bukan pekerjaan yang mudah. Membutuhkan kerja keras, membutuhkan ketekunan, dan macam-macam termasuk dana juga keberuntungan. Dan ini tantangan yang luar biasa. Saya pikir banyak pesantren seperti Tebuireng ini, yang dulunya hebat sekarang biasa-biasa saja.
Kalau untuk pendidikan yang ada standar nasionalnya, misalnya ujian UAN, kita punya cara untuk melihat posisi kita di mana. Tebuireng ini sebenarnya termasuk kelas menengah. Dalam segi pengajaran kami ingin meningkatkan menjadi kelas menengah atas, dan kelas atas dalam tempo enam tahun. Mudah-mudahan berhasil. Tapi untuk pendidikan agama, saya tidak tahu apa ada standarnya. Standar pendidikan pesantren. Mestinya harus ada untuk mengukur tingkat kemajuan suatu pesantren. Kalau tidak ada kita tidak akan punya ukuran standar yang sama untuk mengukur pendidikan pesantren. Dan saya pikir hal ini kalau dilakukan akan bagus sekali.
MS: Sekarang ini ada beberapa pesantren yang berinisiatif mengembangkan Mahad ’Aly sebagai suatu konsep pendidikan pesantren. Pemahaman santri tentang konsep agama, dinamika fiqh, mungkin dapat tercover dengan adanya model Mahad ’Aly ini.
GS: Justru itu. Saya tak tahu seberapa banyak sistem pendidikan Mahad ’Aly ini. Nah ini perlu ada standar. Kalau STAIN, terlihat sudah terlalu banyak. Dan saya tidak tahu apakah di sana sudah ada standar atau tidak. Kita harus memilih standar, dan standar itu jangan terlalu rendah. Kalau demikian kita tidak punya suatu perbandingan dengan dunia internasional.
MS: Standar seperti apa?
GS: Artinya kita harus ada upaya khusus menyusun standar itu. Dan jangan ragu-ragu menetapkan standar yang tinggi, dan jangan juga menurunkan standar itu. Kalau standarnya tidak tercapai, kalau menurut saya ya jangan dinaikkan tingkat. Tanpa itu nampak berat bagi kita, dan tidak akan mencapai kemajuan. Jadi betul-betul kita harus menjaga mutu dari perguruan tinggi ini.
MS: Seberapa besar alumnus pesantren memberikan kontribusi untuk perkembangan pesantren?
GS: Saya tidak tahu pasti, karena tidak ada data-data tentang itu. Paling tidak saya tidak pernah mendengar bahwa, katakanlah anggota DPR alumni Tebuireng atau pesantren yang lain bersuara memihak pesantren atau madrasah.
Saya mempunyai data bahwa guru yang ada di Indonesia itu ada 2,8 juta, swastanya itu hampir 1 juta sembilan ratusan. Dan saya yakin guru swasta itu 80 persennya adalah lulusan lembaga pendidikan Islam. Dan saya kira mereka dianaktirikan. Tidak ada upaya melatih mereka.
Perlu diketahui saja. Ada upaya dari Depdiknas, untuk mengetahui uji kompetensi guru, termasuk guru aliyah. Ada datanya tentang hal ini. Saya tidak tahu apakah hal ini diketahui para pengajar atau tidak. Ini datanya. Untuk MI dan SD dari 285 guru, yang memenuhi standar untuk menjadi guru IPA, itu sama sekali tidak ada. Kompetensi untuk pengajar IPA itu nol. Untuk Bahasa Indonesia hanya satu orang. Untuk Matematika 181 orang. Untuk IPS 85 orang. Bayangkan! Uji kompetensi guru di satu kabupaten. Saya kira untuk jenjang pendidikan berikutnya (Mts atau SMP, MA atau SMA) juga tidak jauh beda hasilnya. Artinya apa? Ini sudah termasuk guru negeri lo! Artinya memang mutu guru kita memang tidak layak. Dan itu tidak pernah disadari. Oleh Depdiknas maupun oleh Depag. Jadi kita harus berkiblat kepada luar negeri, standar guru harus kita buat. Kalau tidak mau jadi apa orang Indonesia itu. Kita harus berani mengoreksi diri kita dengan kejam.
Saya tidak tertarik untuk mempelajari dunia pendidikan sebelum di Tebuireng. Setelah saya di Tebuireng, saya melihat betapa parahnya. Kalau saya jadi pemerintah, untuk pesantren, carilah sepuluh atau limabelas pesantren yang punya sejarah baik, mau serius memperbaiki mutunya, itu kita beri darah, kita beri dukungan. Tidak hanya sekedar keluar dana begitu saja. Harus kita bantu untuk meningkatkan mutu, dengan bantuan dana. Kalau tidak begitu, tak mungkin kita dapat mengejar.
MS: Di satu sisi pesantren harus mengejar mutu atau kualitasnya. Di sisi yang lain pesantren dihadapkan pada kompetensi dengan sekolah-sekolah umum. Bagaimana pesantren mengahadapi masalah semacam ini?
GS: Seperti yang saya katakan tadi. Kalau mau belajar agama, ya agama. Belajar umum, ya umum silahkan. Jangan campur aduk. Tidak mungkin orang mengerti agama, juga mengerti umum.
MS: Jadi perlu ada spesifikasi pesantren?
GS: Ya. Kalau mau di pengetahuan umum, apa fungsi agama? Mendidik akhlak mereka. Ya mereka diajari agama di pondokan. Malah kalau mungkin, lulus dari Tebuireng misal, dengan waktu enam tahun mereka bisa hafal Juz Amma, hafal surat-surat yang terkenal. Nah, mereka dapat memahami agama sebagai sumber kehidupan. Jadi perilaku mereka dikontrol oleh agama. Jadi fungsi agama dalam rangka pembentukan karakter dan pembentukan akhlak. Mau kita beri ilmu agama, ya tidak mungkinlah. Nanti llmu agamanya jadi setengah matang saja. Yang umum juga begitu. Kalau mau belajar ilmu agama, monggo silahkan belajar ilmu agama. Dalam waktu enam tahun, ditambah belajar di Mahad ’Aly, tahap dasar dapat dikuasai. Nanti mereka memperdalam lagi.
MS: Konkritnya di tingkat pesantren itu terlihat database para siswa ke mana orientasi mereka ke depan.
GS: Tapi apa mungkin orang masuk pesantren enam tahun mendapat semua yang diajarkan di pesantren. Pasti tak banyak yang mereka dapat. Enam tahun itu waktu yang pendek. Jadi enam tahun mereka belajar yang salaf, ditambahkan empat tahun di Mahad ’Aly, ini sudah cukup lumayan. Dan tentu masih perlu pendalaman yang lebih jauh lagi. Bisa ambil S2 atau S3 dan seterusnya. Kalau ambil Mts, SMP, MA, dan SMA, ya tidak ada yang dihasilkan. Paling memberi dasar-dasar keilmuan mereka yang cukup.
Pembentukan sikap yang mau belajar. Sikap yang tidak mudah menyerah. Sikap percaya diri. Menjadi orang yang mudah berkomunikasi. Bisa memimpin. Itu menurut saya yang harus kita lakukan.
MS: Ada kecenderungan kecemburuan sosial di kalangan pesantren (yang notabene telah mapan dengan metode sorogan) sehingga ada upaya untuk memaksakan diri memasukkan metode classical.
GS: Hal itu ada plus dan minusnya. Sekarang yang enam tahun di Tebuireng juga classical. Tapi betul-betul mendalami ilmu agamanya. Jadi yang penting mereka itu mendalami satu ilmu. Sampai tahap yang cukup baik kemudian meninggalkan Tebuireng dan mengembangkan ilmu mereka. Jadi yang penting, pengertian tentang ilmu yaitu keinginan untuk belajar terus. Hal itu yang harus ditanamkan.
Pesantren sorogan juga bagus. Tidak ada yang salah dengan itu. Classical pun menurut saya juga bagus. Tergantung dari mana kita melihatnya. Dan sekali lagi saya tekankan, tidak mungkinlah satu orang belajar dua ilmu, kecuali sekolahnya dua puluh lima tahun. Tapi sudah tua kan kalau begitu kita kan.
MS: Sekarang ini ada semacam kekhawatiran bahwa mereka tidak akan diperhatikan Departeman Agama kalau tidak memiliki sekolah umum (MA misalnya).
GS: Justru di sini. Mestinya Departemen Agama membantu pesantren-pesantren seperti ini (non-classical). Mereka membuat sekolah yang tadi itu (campuran antara umum dan agama) untuk mendapatkan perhatian pemerintah atau Departemen Agama. Departemen Agama seharusnya juag harus aktif, memperjuangkan anggaran untuk pesantren. Menurut saya sampai saat ini memang pesantren dianaktirikan betul. Saya pun kalau tidak mengurusi Tebuireng tak akan ngerti soal ini. Dan saya akan bersuara terus untuk itu.
MS: Dengan jumlah yang sangat besar, seberapa besar pesantren memberikan kontribusinya pada bangsa ini?
GS: Saya pikir dari segi jumlah pesantren sudah oke. Tapi yang penting kan mutu. Dan sekali lagi kita lihat apakah standar mutunya ada apa tidak. Kemudian sejauh mana kita dapat mendata klasifikasi pesantren. Kalau perguruan tinggi negeri kan ada. Bahkan di luar negeri, terserah negeri atau tidak, sudah ada klasifikasi tertentu. Nah pesantren ini bisa tidak memiliki klasifikasi seperti ini? Berdasarkan mutunya, tidak hanya jumlah. Dan menurut saya itu harus dilakukan Departemen Agama. Kenapa? Karena pesantren ini adalah modal yang kita punyai ratusan tahun lamanya. Dan ini menuju ke arah yang merosot kalau menurut saya. Dan kalau tidak di-dandani, di-openi, dan dibantu, saya khawatir kondisinya akan semakin benar-benar merosot. Kecuali sejumlah pesantren tertentu saja. Mungkin jumlahnya dari 14.000 itu tak mencapai seratus. Kan sayang kalau itu tidak ditangani dengan baik.
MS: Kemudian, konsep Gus Sholah mengenai gagasan tentang bagaimana pesantren mampu menjembatani kebutuhan masyarakat, mungkin di sisi ekonomi, atau sisi budaya?
GS: Nah, itu saya baru mulai mau mengarahkan ke sana. Dan tentunya hal itu mudah diomongkan, tetapi susah untuk dikerjakan. Saya baru mencoba membuat BMT tahun depan dengan dibantu sebuah lembaga perbankan. Jadi kami ingin mencari warga yang punya kegiatan mikro, nanti kami bisa menjadi chaneling bagi pihak-pihak pemilik modal untuk membantu mereka dengan pendampingan. Dan ini kami mulai mendidik para pendampingnya dulu. Ini bagian dari upaya untuk memberikan manfaat pada masyarakat, membuat Tebuireng menjadi bagian dari masyarakat. Tapi itu membutuhkan waktu, juga tenaga. Kami juga baru memulai kegiatan ekonomi dengan mengolah tanah yang selama ini konvensional, menggantinya dengan cara-cara yang lain.
MS: Dengan kondisi pesantren seperti ini, apakah ada kepentingan politis sehingga pesantren terkesan mendapat tekanan untuk berkembang?
GS: Siapa yang mempunyai kepentingan politis? Kalau pemerintah itu kan kita-kita juga. Pemerintah adalah penyelenggara di negara ini. Ada DPR, ada eksekutif. Di DPR sudah banyak yang berasal dari kalangan santri, baik dari NU maupun dari Muhamadiyah. Di eksekutif, di Departemen Agama juga sudah banyak orang-orang dari kalangan pesantren. Jadi tidak ada kepentingan politis itu. Kita saja yang tidak mau memperjuangkan. Kalau kemarin kita memang tidak memiliki dasar. Tapi sekarang kita memiliki undang-undang Sisdiknas, yang memberi porsi dan posisi yang sama sederajat. Nah, porsinya saja yang sekarang ini belum sama.[]
Sumber: www.pondokpesantren.net
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar