I.
LINGKUNGAN HIDUP DALAM COVER
SYARIAT
a. Persoalan Lingkungan Di Sekitar Kita
1. Gangguan Sampah
Sampah merupakan problem lingkungan yang mungkin akan
terus berlangsung di tengah masyarakat dalam kesehariannya. Budaya tertib
sampah yang dicanangkan pemerintah ternyata belum mampu menanggulangi secara
tuntas. Apalagi jenis sampah semakin hari seolah semakin beragam, sehingga
proses penanganannyapun memerlukan metode yang beragam pula.
Di sekitar pedesaan sampah relatif mudah ditangani
lantaran lahan pembuangan masih mudah dihasilkan. Namun terkadang kecerobohan
masyarakat membuat masalah ini menjadi serius. Hingga selain menimbulkan
gangguan bau tidak sedap, beragam penyakit juga mungkin timbul akibat
penumpukan sampah yang akhirnya menjadi sarang nyamuk. Lain halnya masalah yang
dihadapi daerah perkotaan akibat sampah. Selain lokasi pembuangan yang sulit
didapatkan, minimnya daerah resapan air membuat sampah-sampah menggunung menyumbat
saluran saluran air hingga mengakibatkan genangan air atau bahkan banjir.
Dalam fenomena ini, syariat sebenarnya telah mengatur
secara lengkap tentang konsep penanganan sampah. Sampah merupakan sisa sisa
pemanfaatan yang menurut Islam harus dibuang sesuai dengan tempatnya. Membuang
sampah di sembarang tempat, apalagi di tempat tempat umum, tidak diperkenankan.
Bahkan jika hal tersebut berakibat negatif, syariat memberikan sangsi sangsi
sesuai tingkat gangguan yang ditimbulkan. Sedangkan mengenai penanganan sampah,
syariat berbicara secara garis besar, bahwa sampah dalam bentuk apapun
sebenarnya harus dicarikan tempat sebagai lokasi pembuangan. Hanya saja harus
berbentuk tempat yang layak atau lazim ('urfi) digunakan sebagai
pembuangan.[1]
Dikarenakan standar yang terpakai dalam syariat adalah kelaziman masyarakat ('urfi),
maka metode penanganan sampah dengan bentuk apapun, selama tidak menimbulkan
masalah baru, tentu baik untuk dilakukan. Jangan sampai sampah sampah plastik
yang ditangani melalui metode daur ulang pabrik, kemudian berubah mengakibatkan
gangguan polusi yang ditimbulkan oleh pabrik tersebut.
2. Air Kotor Adalah Sarang Penyakit
Genangan air bisa timbul dari berbagai macam sebab,
mungkin adakalanya disebabkan kecerobohan sebagian masyarakat yang minim tempat
pembuangan. Atau mungkin akibat dari sisa sisa air bah atau banjir yang kerap
melanda kawasan tertentu. Genangan air yang berada di pinggiran pemukiman,
empang empang kering, atau bahkan di jalan jalan umum, tidak hanya sekedar
merusak keindahan dan menimbulkan bau tak sedap. Namun tempat tempat itu sangat
berpotensi menjadi sarang utama nyamuk nyamuk pembawa penyakit. Mungkin hampir
tiap tahun kita direpotkan dengan penyakit demam berdarah, penyakit demam yang
kerap kali merenggut nyawa penderitanya. Nyamuk aydes ayghipti sebagai
penyebar penyakit ini mayoritas berkembang biak pada genangan genangan air.
Problema semacam ini termasuk budaya kotor yang jelas tidak selaras dengan
nilai nilai syariat. Islam selalu menganjurkan melakukan budaya bersih dan
selalu mencintai keindahan. Standarisasi air dalam konsep thaharah merupakan
contoh paling sederhana dari budaya bersih dan heigenis dalam Islam. Air kotor
(berubah sebab najis ataupun yang lain) maupun air yang diperkirakan tidak lagi
hiegenis (berubah secara prediksi) dalam thaharah, tidak diperbolehkan
digunakan sebagai sarana penyucian. Di sisi lain, syariat juga tegas melarang
setiap individu membuat genangan genangan air, ketika hal itu akhirnya akan
berdampak gangguan atas orang lain.[2] Bahkan
syariat menetapkan sangsi serius ketika genangan tersebut berada di tempat
tempat umum serta mengakibatkan kecelakaan atas orang lain.[3]
Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa
pemanfaatan air serta pembuangannya harus selalu mengutamakan prinsip-prinsip
kesehatan maupun keamanan bagi diri sendiri maupun orang lain. Sehingga ketika
prinsip itu kita aplikasikan, bagi semua lapisan masyarakat wajib bahu membahu
dalam mengatasi setiap permasalahan lingkungan. Karena secara tidak langsung
hal itu merupakan pengejawantahan nilai nilai agama.
- Fenomena Lingkungan Di Perkotaan
1. Polusi Udara
Secara prinsip, pemanfaatan udara dalam syariat telah
diatur dengan begitu longgar, selama tidak berhubungan dengan udara di sekitar
wilayah kepemilikan pribadi. Membuat fasilitas melewati wilayah udara di atas
rumah-rumah penduduk, harus melalui ijin mereka. Karena menurut syariat,
wilayah udara yang berada di atas sebuah kepemilikan secara hukum mengikuti
status kepemilikan tempat yang berada di bawahnya.[4]
Bahkan pemanfaatan wilayah udara dari tempat-tempat umum juga diperkenankan
selama tidak menimbulkan ekses negatif.[5]
Asap kendaraan, asap pabrik maupun pencemar udara lain
sebenarnya tidak secara langsung timbul dari pemanfaatan udara. Hanya saja,
ketika gangguan itu dihasilkan melewati udara, secara tidak langsung hal itu
merupakan penyalahgunaan wilayah udara yang seharusnya bersifat netral. Dalam
hal ini syariat menggaris bawahi, bahwa pemanfaatan udara yang diperkenankan
adalah penggunaan secara wajar dan tidak sampai mengganggu atau bahkan
menimbulkan ekses negatif bagi orang lain. Selain menetapkan sangsi, syariat
juga memperkenankan pemerintah menindak pelaku pencemaran ketika mengakibatkan
dampak negatif pada level tertentu, selama terbukti bahwa kesalahan itu memang
diakibatkan prosedur yang tidak benar.[6]
2. Taman
Hijau Perkotaan
Demi mengatasi polusi serta memperbaharui kemampuan
serapan air di daerah perkotaan, pemerintah akhirnya berinisiatif mencanangkan
program penghijauan serta penggalakan taman hijau perkotaan. Taman
hijau perkotaan lebih diprioritaskan untuk kawasan yang tingkat polusinya
relatif tinggi. Asap kendaraan masih menduduki ranking tertinggi penyebab
terjadinya polusi udara, selain asap-asap produksi yang berasal dari pabrik
serta yang berasal dari proses pembakaran sampah di daerah perkotaan.
Dalam wacana syariat, menanam tanaman yang bermanfaat
merupakan sebuah anjuran. Bahkan ketika pepohonan tersebut dapat dimanfaatkan
oleh makhluk hidup lainnya, Islam mengkategorikannya sebagai sedekah yang
selalu mengalir. Tentunya hal ini dapat kita kontekstualisasikan dalam model
penghijauan, dimana selain sebagai tempat berteduh, kemanfaatan dalam mengatasi
masalah polusi tentu akan berpahala lebih maksimal.[7]
Namun dalam hal ini syariat juga menghimbau pemerintah
agar bijaksana dalam membangun sarana semacam ini. Dalam arti, lokasi taman
perkotaan harus berada di tempat strategis serta tidak menimbulkan permasalahan
baru.[8] Di
samping itu, perawatan pepohonan juga harus dilakukan oleh semua pihak, pemerintah
sebagai penanggungjawab dibantu oleh masyarakat yang berada di sekitarnya.
Karena agama Islam menganggap pepohonan dengan segala kemanfaatannya adalah
merupakan aset yang tidak boleh ditelantarkan begitu saja.[9]
Secara umum dapat kita pahami bahwa pembuatan taman
perkotaan merupakan kebutuhan penting yang layak untuk diprioritaskan. Islam
memandang, pembuatan fasilitas semacam ini akan menjadi wajib karena
memperhitungkan kemanfaatannya serta kepentingan yang terlanjur mendesak. Islam
dalam hal ini sekaligus menyadarkan bahwa kestabilan lingkungan sebenarnya
bukan hanya tanggungjawab pemerintah, akan tetapi menjadi tanggungjawab yang
harus dipikul bersama oleh semua pihak.
3. Limbah Pabrik
Kawasan Industri terutama di daerah perkotaan
seringkali membawa masalah baru di tengah carutmarutnya kehidupan perkotaan.
Proses produksi yang sudah banyak menimbulkan masalah lingkungan, ternyata
harus menelan korban lingkungan untuk kedua kalinya pada saat pembuangan /
penampungan limbah limbah produksinya sudah di luar batas kewajaran. Dan tidak
jarang pabrik pabrik yang berlokasi tidak jauh dari tempat pemukiman terpaksa
harus berurusan dengan masyarakat sekitar, gara gara limbahnya merusak area
persawahan, sumber sumber air atau bahkan ada yang sampai menelan korban. Limbah
biasa mungkin relatif kecil pengaruhnya, akan tetapi limbah yang berasal dari
produksi bahan kimia ataupun limbah limbah beracun tentu dampaknya akan lebih
meluas, tidak hanya pada lingkungan namun juga pada nyawa manusia.
Sebenarnya pemerintah dalam hal ini telah menerapkan
aturan standar pengolahan limbah, namun masih banyak ditemukan
pelanggaran-pelanggaran dari beberapa oknum yang hanya memikirkan keuntungan
bisnis tanpa mempedulikan dampak dari perbuatannya. Islam sangat menjunjung
tinggi prinsip ketaatan pada setiap aturan pemerintah, terlebih lagi jika
aturan itu demi kemaslahatan umum, secara totalitas semua rakyat wajib mentaati
tanpa terkecuali. Pemerintah menerapkan aturan pengolahan limbah jelas demi
kepentingan rakyat (maslahat al-'ammah), karena selain demi
mengantisipasi keresahan rakyat hal itu secara umum merupakan kepedulian
pemerintah akan lingkungan hidup.[10]
Secara mikro syariat menggambarkan permasalahan
semacam ini dalam sebuah kasus perembasan air dari sebuah tempat penampungan, dimana
ketika penyebab dari kejadian itu adalah dari pemanfaatan secara prosedural (muwafiq
al-'adah) dan masih dalam batas kewajaran, maka syariat masih bisa
mentolerirnya. Namun jika sampai hal tersebut dilatarbelakangi oleh pemakaian
yang tidak prosedural (mukhalif al-'adah), apalagi sampai di luar batas
kewajaran, syariat secara tegas mewajibkan adanya tindakan maupun penetapan
sangsi sesuai akibat yang ditimbulkan.[11]
Hukum semacam ini terlaku ketika belum bersentuhan dengan aturan pemerintah
yang mengikat. Padahal dalam hal ini pemerintah jelas menetapkan larangan
membuang limbah tidak secara prosedural, berarti secara mutlak pemerintah
berwenang menindak maupun menetapkan ganti rugi atas setiap kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan. Prinsip ini selaras dengan kewajiban utama
pemerintah yakni, melakukan kebaikan demi dan untuk rakyat serta mengantisipasi
setiap ekses negatif yang mungkin timbul (fi'lu al-ashlah wa raf'u al-dlarar).[12]
4. Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai
Tanah pinggiran sungai merupakan fasilitas umum yang
selama ini menimbulkan banyak sengketa. Mereka yang sudah lama menempati
kawasan tersebut mengklaim daerah ini merupakan tanah warisan yang sah
kepemilikannya, sedangkan dari pihak pemerintah melalui program penertiban
berusaha merapikan kawasan kota serta bermaksud memperluas area aliran air guna
kepentingan mengantisipasi banjir. Di daerah perkotaan, banjir lebih banyak
disebabkan luapan air sungai di pinggiran kota akibat daerah aliran air yang
semakin menyempit termakan sampah maupun bangunan-bangunan yang semarak
menghiasi kawasan tersebut.
Menurut syariat, daerah aliran air sungai disebut
dengan harim al-nahar yang secara hukum merupakan daerah yang tidak
bertuan dan selamanya tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Karena daerah tersebut
merupakan milik umum sebagai sarana pemanfaatan sungai. Pemanfaatan yang
diperkenankan dalam kawasan ini hanya bersifat non permanen, artinya
optimalisasi dari kawasan ini bukan sebagai lahan bangunan pribadi maupun lahan
tanaman. Bangunan boleh didirikan asalkan demi pemanfaatan sungai, tidak
mengganggu, tidak mengurangi fungsi sungai, serta statusnya tidak boleh diatas
namakan sebagai kepemilikan. Bahkan syariat menetapkan sangsi ganti rugi
sebagai kompensasi pemanfaatan fasilitas umum bagi oknum yang berani menyalahi
ketentuan tersebut.[13]
Dari wacana ini dapat kita pahami bahwa setiap
kepemilikan yang diklaim atas daerah aliran air bukan merupakan kepemilikan
yang legal secara syariat. Hanya saja ketika
terjadi ketidakjelasan status atas wilayah tersebut, maka bagi
pemerintah tidak diperkenankan semena-mena menertibkannya, karena kepemilikan
itu menurut syariat dimungkinkan dari jalur yang legal. Sehingga pemerintah
perlu berhati-hati ketika menertibkan daerah ini, andai tidak disertai bukti
kuat tentang status kepemilikannya, karena terkadang masyarakat sudah
mendiaminya selama berpuluh-puluh tahun.
Sebenarnya secara mayoritas pemerintah dalam usaha
penertibannya telah melakukan hal yang selaras dengan prinsip-prinsip dalam
syariat. Meskipun di satu sisi masyarakat yang berada di kawasan tersebut
rata-rata merupakan rakyat kecil, namun karena status kepemilikannya tidak
diakui syariat, berarti mereka bersalah dalam permasalahan ini. Namun tentunya
pemerintah harus lebih bijak menyelesaikan problema ini, karena ketika
penertiban dilakukan rakyat di kawasan itu akan kehilangan tempat tinggal,
padahal di sisi lain kewajiban memelihara rakyat kecil merupakan tanggung jawab
pemerintah.
5. Banjir
Timbunan sampah, penyempitan daerah aliran air, serta
merosotnya kualitas serapan dari tanah merupakan alasan-alasan utama terjadinya
banjir. Timbunan sampah dan penyempitan daerah aliran air menyebabkan
penyumbatan aliran air hingga akhirnya meluap ke luar jalur. Merosotnya
kualitas resapan dari tanah karena penebangan hutan dan pepohonan menyebabkan
air yang mengalir di atas permukaan tanah sulit melakukan penetrasi ke arah
bawah, sehingga cenderung mengalir dan sulit untuk dihentikan.
Secara umum syariat telah mengupas tuntas semua
permasalahan ini seperti dalam beberapa sub di atas. Karena sebenarnya syariat
telah berbicara banyak mengenai prinsip pengaturan serta konsekuensi sangsi
yang akan diterima. Namun sekali lagi ulah indisipliner dari manusia
menyebabkan semua menjadi bencana, meskipun sebenarnya secara hakikat hal itu merupakan
bagian dari sunatullah. Al-Qur'an berbicara dalam QS. ar-Ruum : 41
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah memberikan rasa kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
[13] Al-Hawi
Li al-Fatawy juz. I hal. 135, Tuhfah al-Muhtaj juz. VI hal. 207-208, dan al-Mausu'ah
al-Fiqhiyyah juz. 17 hal. 221-222)
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar