Minggu, 15 Desember 2013

ISLAM DALAM FENOMENA LINGKUNGAN HIDUP 3

I.       LINGKUNGAN HIDUP DALAM COVER SYARIAT
a.      Persoalan Lingkungan Di Sekitar Kita
1.      Gangguan Sampah


Sampah merupakan problem lingkungan yang mungkin akan terus berlangsung di tengah masyarakat dalam kesehariannya. Budaya tertib sampah yang dicanangkan pemerintah ternyata belum mampu menanggulangi secara tuntas. Apalagi jenis sampah semakin hari seolah semakin beragam, sehingga proses penanganannyapun memerlukan metode yang beragam pula.
Di sekitar pedesaan sampah relatif mudah ditangani lantaran lahan pembuangan masih mudah dihasilkan. Namun terkadang kecerobohan masyarakat membuat masalah ini menjadi serius. Hingga selain menimbulkan gangguan bau tidak sedap, beragam penyakit juga mungkin timbul akibat penumpukan sampah yang akhirnya menjadi sarang nyamuk. Lain halnya masalah yang dihadapi daerah perkotaan akibat sampah. Selain lokasi pembuangan yang sulit didapatkan, minimnya daerah resapan air membuat sampah-sampah menggunung menyumbat saluran saluran air hingga mengakibatkan genangan air atau bahkan banjir.
Dalam fenomena ini, syariat sebenarnya telah mengatur secara lengkap tentang konsep penanganan sampah. Sampah merupakan sisa sisa pemanfaatan yang menurut Islam harus dibuang sesuai dengan tempatnya. Membuang sampah di sembarang tempat, apalagi di tempat tempat umum, tidak diperkenankan. Bahkan jika hal tersebut berakibat negatif, syariat memberikan sangsi sangsi sesuai tingkat gangguan yang ditimbulkan. Sedangkan mengenai penanganan sampah, syariat berbicara secara garis besar, bahwa sampah dalam bentuk apapun sebenarnya harus dicarikan tempat sebagai lokasi pembuangan. Hanya saja harus berbentuk tempat yang layak atau lazim ('urfi) digunakan sebagai pembuangan.[1] Dikarenakan standar yang terpakai dalam syariat adalah kelaziman masyarakat ('urfi), maka metode penanganan sampah dengan bentuk apapun, selama tidak menimbulkan masalah baru, tentu baik untuk dilakukan. Jangan sampai sampah sampah plastik yang ditangani melalui metode daur ulang pabrik, kemudian berubah mengakibatkan gangguan polusi yang ditimbulkan oleh pabrik tersebut.
2.      Air Kotor Adalah Sarang Penyakit
Genangan air bisa timbul dari berbagai macam sebab, mungkin adakalanya disebabkan kecerobohan sebagian masyarakat yang minim tempat pembuangan. Atau mungkin akibat dari sisa sisa air bah atau banjir yang kerap melanda kawasan tertentu. Genangan air yang berada di pinggiran pemukiman, empang empang kering, atau bahkan di jalan jalan umum, tidak hanya sekedar merusak keindahan dan menimbulkan bau tak sedap. Namun tempat tempat itu sangat berpotensi menjadi sarang utama nyamuk nyamuk pembawa penyakit. Mungkin hampir tiap tahun kita direpotkan dengan penyakit demam berdarah, penyakit demam yang kerap kali merenggut nyawa penderitanya. Nyamuk aydes ayghipti sebagai penyebar penyakit ini mayoritas berkembang biak pada genangan genangan air. Problema semacam ini termasuk budaya kotor yang jelas tidak selaras dengan nilai nilai syariat. Islam selalu menganjurkan melakukan budaya bersih dan selalu mencintai keindahan. Standarisasi air dalam konsep thaharah merupakan contoh paling sederhana dari budaya bersih dan heigenis dalam Islam. Air kotor (berubah sebab najis ataupun yang lain) maupun air yang diperkirakan tidak lagi hiegenis (berubah secara prediksi) dalam thaharah, tidak diperbolehkan digunakan sebagai sarana penyucian. Di sisi lain, syariat juga tegas melarang setiap individu membuat genangan genangan air, ketika hal itu akhirnya akan berdampak gangguan atas orang lain.[2] Bahkan syariat menetapkan sangsi serius ketika genangan tersebut berada di tempat tempat umum serta mengakibatkan kecelakaan atas orang lain.[3]
Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa pemanfaatan air serta pembuangannya harus selalu mengutamakan prinsip-prinsip kesehatan maupun keamanan bagi diri sendiri maupun orang lain. Sehingga ketika prinsip itu kita aplikasikan, bagi semua lapisan masyarakat wajib bahu membahu dalam mengatasi setiap permasalahan lingkungan. Karena secara tidak langsung hal itu merupakan pengejawantahan nilai nilai agama.

  1. Fenomena Lingkungan Di Perkotaan
1.      Polusi Udara
Secara prinsip, pemanfaatan udara dalam syariat telah diatur dengan begitu longgar, selama tidak berhubungan dengan udara di sekitar wilayah kepemilikan pribadi. Membuat fasilitas melewati wilayah udara di atas rumah-rumah penduduk, harus melalui ijin mereka. Karena menurut syariat, wilayah udara yang berada di atas sebuah kepemilikan secara hukum mengikuti status kepemilikan tempat yang berada di bawahnya.[4] Bahkan pemanfaatan wilayah udara dari tempat-tempat umum juga diperkenankan selama tidak menimbulkan ekses negatif.[5]
Asap kendaraan, asap pabrik maupun pencemar udara lain sebenarnya tidak secara langsung timbul dari pemanfaatan udara. Hanya saja, ketika gangguan itu dihasilkan melewati udara, secara tidak langsung hal itu merupakan penyalahgunaan wilayah udara yang seharusnya bersifat netral. Dalam hal ini syariat menggaris bawahi, bahwa pemanfaatan udara yang diperkenankan adalah penggunaan secara wajar dan tidak sampai mengganggu atau bahkan menimbulkan ekses negatif bagi orang lain. Selain menetapkan sangsi, syariat juga memperkenankan pemerintah menindak pelaku pencemaran ketika mengakibatkan dampak negatif pada level tertentu, selama terbukti bahwa kesalahan itu memang diakibatkan prosedur yang tidak benar.[6]
2.      Taman Hijau Perkotaan
Demi mengatasi polusi serta memperbaharui kemampuan serapan air di daerah perkotaan, pemerintah akhirnya berinisiatif mencanangkan program penghijauan serta penggalakan taman hijau perkotaan. Taman hijau perkotaan lebih diprioritaskan untuk kawasan yang tingkat polusinya relatif tinggi. Asap kendaraan masih menduduki ranking tertinggi penyebab terjadinya polusi udara, selain asap-asap produksi yang berasal dari pabrik serta yang berasal dari proses pembakaran sampah di daerah perkotaan.
Dalam wacana syariat, menanam tanaman yang bermanfaat merupakan sebuah anjuran. Bahkan ketika pepohonan tersebut dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup lainnya, Islam mengkategorikannya sebagai sedekah yang selalu mengalir. Tentunya hal ini dapat kita kontekstualisasikan dalam model penghijauan, dimana selain sebagai tempat berteduh, kemanfaatan dalam mengatasi masalah polusi tentu akan berpahala lebih maksimal.[7]
Namun dalam hal ini syariat juga menghimbau pemerintah agar bijaksana dalam membangun sarana semacam ini. Dalam arti, lokasi taman perkotaan harus berada di tempat strategis serta tidak menimbulkan permasalahan baru.[8] Di samping itu, perawatan pepohonan juga harus dilakukan oleh semua pihak, pemerintah sebagai penanggungjawab dibantu oleh masyarakat yang berada di sekitarnya. Karena agama Islam menganggap pepohonan dengan segala kemanfaatannya adalah merupakan aset yang tidak boleh ditelantarkan begitu saja.[9]
Secara umum dapat kita pahami bahwa pembuatan taman perkotaan merupakan kebutuhan penting yang layak untuk diprioritaskan. Islam memandang, pembuatan fasilitas semacam ini akan menjadi wajib karena memperhitungkan kemanfaatannya serta kepentingan yang terlanjur mendesak. Islam dalam hal ini sekaligus menyadarkan bahwa kestabilan lingkungan sebenarnya bukan hanya tanggungjawab pemerintah, akan tetapi menjadi tanggungjawab yang harus dipikul bersama oleh semua pihak.
3.      Limbah Pabrik
Kawasan Industri terutama di daerah perkotaan seringkali membawa masalah baru di tengah carutmarutnya kehidupan perkotaan. Proses produksi yang sudah banyak menimbulkan masalah lingkungan, ternyata harus menelan korban lingkungan untuk kedua kalinya pada saat pembuangan / penampungan limbah limbah produksinya sudah di luar batas kewajaran. Dan tidak jarang pabrik pabrik yang berlokasi tidak jauh dari tempat pemukiman terpaksa harus berurusan dengan masyarakat sekitar, gara gara limbahnya merusak area persawahan, sumber sumber air atau bahkan ada yang sampai menelan korban. Limbah biasa mungkin relatif kecil pengaruhnya, akan tetapi limbah yang berasal dari produksi bahan kimia ataupun limbah limbah beracun tentu dampaknya akan lebih meluas, tidak hanya pada lingkungan namun juga pada nyawa manusia.
Sebenarnya pemerintah dalam hal ini telah menerapkan aturan standar pengolahan limbah, namun masih banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran dari beberapa oknum yang hanya memikirkan keuntungan bisnis tanpa mempedulikan dampak dari perbuatannya. Islam sangat menjunjung tinggi prinsip ketaatan pada setiap aturan pemerintah, terlebih lagi jika aturan itu demi kemaslahatan umum, secara totalitas semua rakyat wajib mentaati tanpa terkecuali. Pemerintah menerapkan aturan pengolahan limbah jelas demi kepentingan rakyat (maslahat al-'ammah), karena selain demi mengantisipasi keresahan rakyat hal itu secara umum merupakan kepedulian pemerintah akan lingkungan hidup.[10]
Secara mikro syariat menggambarkan permasalahan semacam ini dalam sebuah kasus perembasan air dari sebuah tempat penampungan, dimana ketika penyebab dari kejadian itu adalah dari pemanfaatan secara prosedural (muwafiq al-'adah) dan masih dalam batas kewajaran, maka syariat masih bisa mentolerirnya. Namun jika sampai hal tersebut dilatarbelakangi oleh pemakaian yang tidak prosedural (mukhalif al-'adah), apalagi sampai di luar batas kewajaran, syariat secara tegas mewajibkan adanya tindakan maupun penetapan sangsi sesuai akibat yang ditimbulkan.[11] Hukum semacam ini terlaku ketika belum bersentuhan dengan aturan pemerintah yang mengikat. Padahal dalam hal ini pemerintah jelas menetapkan larangan membuang limbah tidak secara prosedural, berarti secara mutlak pemerintah berwenang menindak maupun menetapkan ganti rugi atas setiap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Prinsip ini selaras dengan kewajiban utama pemerintah yakni, melakukan kebaikan demi dan untuk rakyat serta mengantisipasi setiap ekses negatif yang mungkin timbul (fi'lu al-ashlah wa raf'u al-dlarar).[12]
4.      Pemanfaatan Daerah Aliran Sungai
Tanah pinggiran sungai merupakan fasilitas umum yang selama ini menimbulkan banyak sengketa. Mereka yang sudah lama menempati kawasan tersebut mengklaim daerah ini merupakan tanah warisan yang sah kepemilikannya, sedangkan dari pihak pemerintah melalui program penertiban berusaha merapikan kawasan kota serta bermaksud memperluas area aliran air guna kepentingan mengantisipasi banjir. Di daerah perkotaan, banjir lebih banyak disebabkan luapan air sungai di pinggiran kota akibat daerah aliran air yang semakin menyempit termakan sampah maupun bangunan-bangunan yang semarak menghiasi kawasan tersebut.
Menurut syariat, daerah aliran air sungai disebut dengan harim al-nahar yang secara hukum merupakan daerah yang tidak bertuan dan selamanya tidak bisa dimiliki oleh siapapun. Karena daerah tersebut merupakan milik umum sebagai sarana pemanfaatan sungai. Pemanfaatan yang diperkenankan dalam kawasan ini hanya bersifat non permanen, artinya optimalisasi dari kawasan ini bukan sebagai lahan bangunan pribadi maupun lahan tanaman. Bangunan boleh didirikan asalkan demi pemanfaatan sungai, tidak mengganggu, tidak mengurangi fungsi sungai, serta statusnya tidak boleh diatas namakan sebagai kepemilikan. Bahkan syariat menetapkan sangsi ganti rugi sebagai kompensasi pemanfaatan fasilitas umum bagi oknum yang berani menyalahi ketentuan tersebut.[13]
Dari wacana ini dapat kita pahami bahwa setiap kepemilikan yang diklaim atas daerah aliran air bukan merupakan kepemilikan yang legal secara syariat. Hanya saja ketika  terjadi ketidakjelasan status atas wilayah tersebut, maka bagi pemerintah tidak diperkenankan semena-mena menertibkannya, karena kepemilikan itu menurut syariat dimungkinkan dari jalur yang legal. Sehingga pemerintah perlu berhati-hati ketika menertibkan daerah ini, andai tidak disertai bukti kuat tentang status kepemilikannya, karena terkadang masyarakat sudah mendiaminya selama berpuluh-puluh tahun.
Sebenarnya secara mayoritas pemerintah dalam usaha penertibannya telah melakukan hal yang selaras dengan prinsip-prinsip dalam syariat. Meskipun di satu sisi masyarakat yang berada di kawasan tersebut rata-rata merupakan rakyat kecil, namun karena status kepemilikannya tidak diakui syariat, berarti mereka bersalah dalam permasalahan ini. Namun tentunya pemerintah harus lebih bijak menyelesaikan problema ini, karena ketika penertiban dilakukan rakyat di kawasan itu akan kehilangan tempat tinggal, padahal di sisi lain kewajiban memelihara rakyat kecil merupakan tanggung jawab pemerintah.
5.      Banjir
Timbunan sampah, penyempitan daerah aliran air, serta merosotnya kualitas serapan dari tanah merupakan alasan-alasan utama terjadinya banjir. Timbunan sampah dan penyempitan daerah aliran air menyebabkan penyumbatan aliran air hingga akhirnya meluap ke luar jalur. Merosotnya kualitas resapan dari tanah karena penebangan hutan dan pepohonan menyebabkan air yang mengalir di atas permukaan tanah sulit melakukan penetrasi ke arah bawah, sehingga cenderung mengalir dan sulit untuk dihentikan.
Secara umum syariat telah mengupas tuntas semua permasalahan ini seperti dalam beberapa sub di atas. Karena sebenarnya syariat telah berbicara banyak mengenai prinsip pengaturan serta konsekuensi sangsi yang akan diterima. Namun sekali lagi ulah indisipliner dari manusia menyebabkan semua menjadi bencana, meskipun sebenarnya secara hakikat hal itu merupakan bagian dari sunatullah. Al-Qur'an berbicara dalam QS. ar-Ruum : 41

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah memberikan rasa  kepada mereka sebahagian dari (akibat)
 perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).


[1]    Asna al-Mathalib juz. IV hal. 74-75
[2]    Bughyah al-Murtasyidin hal. 142
[3]    Asna al-Mathalib juz. IV hal. 74
[4]    Al-Furuuq juz. IV hal.15-16
[5]    Bujairimy 'ala al-Khatib juz. III hal. 100
[6]    Fatawi al-Ramli juz. III hal 13
[7]    Al-Minah al-Jalil juz. VII hal.418
[8]    Al-Hawi li al-Fatawy. Juz I hal.127
[9]    Bujairimy 'ala al-Manhaj juz.IV hal. 129
[10]   Bughyah Mustarsidin hal. 91
[11]   Ibid, hal. 142
[12]   Madzahib Arba'ah V hal. 407
[13]   Al-Hawi Li al-Fatawy juz. I hal. 135, Tuhfah al-Muhtaj juz. VI hal. 207-208, dan al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah juz. 17 hal. 221-222)
Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top