Sabtu, 15 Maret 2014

KAJIAN: Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyah

Inti ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah dzikir. Amalan Dzikir dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah meliputi dzikir lisan dan dzikir qalbu. Dzikir lisan atau disebut juga dzikir nafi itsbat yaitu ucapan lâ ilâha illa Allah. Pada kalimat ini terdapat hal yang menafikan yang lain dari pada Allah dan mengitsbatkan Allah. Sedangkan dzikir qalbu yaitu dzikir yang tersembunyi di dalam hati, tanpa suara dan kata-kata. Dzikir ini hanya memenuhi qalbu dengan kesadaran yang sangat dekat dengan Allah, seirama dengan detak jantung serta mengikuti keluar masuknya nafas. Dzikir qalbu atau dzikir ismu dzat adalah dzikir kepada Allah dengan menyebut Allah, Allah, Allah secara sirr atau khafi (dalam hati) dzikir ini juga disebut dengan dzikir lathâif yang merupakan ciri khas tarekat Naqsyabandiyah (Abdullah, 2004: 83).
Dengan melaksanakan dzikir secara konsisten diyakini akan menimbulkan pengalaman beragama tersendiri bagi pengamalnya, yang pada gilirannya melahirkan perasaan selalu dekat kepada Allah dan Allah senantiasa hadir dalam jiwanya. Kondisi seperti tersebut di atas yang menjadi obyek kajian psikologi agama. Selanjutnya, pengalaman beragama pengamal tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah inilah yang menjadi fokus utama penelitian ini.

Pengalaman beragama menurut William James adalah segala perasaan, tindakan dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apa yang mereka anggap sebagai yang Ilahiah. Berangkat dari pengertian agama tersebut, maka pengalaman beragama mencakup pemikiran, penghayatan, keyakinan, dambaan dan prilaku yang berkaitan dengan hal-hal yang religius. James berpendapat bahwa pengalaman beragama berakar dan berpusat pada kesadaran mistis, pengalaman dan kesadaran ini bersifat unik dan personal (James, 1982, kuliah ke 19 dan 20).

Pembahasan mengenai pengalaman beragama pada ujungnya akan masuk pada pengalaman mistik. Wolter Housten Clark (1969: 263) menyatakan bahwa pengalaman mistik adalah sebuah pengalaman subyektif tentang pemahaman kekuatan kosmik atau kekuatan yang lebih besar dari dirinya, pengalaman tersebut lebih bersifat intuitif dari pada dapat diindra atau rasional. Sedangkan menurut Leuba, pengalaman mistik adalah pengalaman apa saja yang dianggap oleh orang yang mengalaminya merupakan kontak (tidak melalui panca indra, tetapi tiba-tiba, intuitif) atau kesatuan diri dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya yang disebut dunia Ruh, Tuhan, Yang Absolut atau lainnya.

Pengalaman beragama dalam perspektif Islam dibicarakan khusus dalam psikologi sufi, yang membahas kondisi ruhani atau pengalaman ruhani dan transformasi spiritual seseorang. Inti dari pengalaman ruhani dalam tradisi sufi adalah memperoleh pengalaman personal dengan Allah. Mereka mencari Wujud tertinggi dan menemukan kepuasan spiritual mereka dalam pengalaman personal berkomunikasi secara intens dengan Allah SWT (lihat Bagan 1).

Bagan 1

STRUKTUR PENGALAMAN BERAGAMA

William James (1982) membagi pengalaman beragama menjadi dua: pengalaman beragama yang sifanya sporadis dan pengalaman beragama yang terlatih. Pembagian serupa dilakukan oleh Deikman. James juga membagi bentuk pengalaman beragama menjadi dua, agama dalam pikiran yang sehat dan dalam jiwa yang sakit. Beragama dengan jiwa yang dalam pikiran yang sehat, dalam beragama akan berpikir secara sistematis, optimis, dapat dijadikan sebagai relaksasi, sugesti, meditasi, rekoleksi dan adaptasi. Buah dari kondisi religius demikian akan menghasilkan jiwa yang lemah lembut dan kasih, ketenangan hati, kepasrahan, ketabahan, kesabaran, dan sebagainya. Sebaliknya, beragama dengan jiwa yang dalam pikiran yang tidak sehat maka akan memunculkan pemikiran yang abnormal, ketidakstabilan, kegagalan, keputusasaan, ketidakbahagiaan, anhedonia, melankolia, perasaan yang porak poranda dan sebagainya.

Buah dari kondisi religius di atas juga banyak dirasakan oleh para pengamal tarekat yang selalu dekat dengan Allah, yang senantiasa hadir dalam hatinya. Buah pengalaman beragama tersebut dirasakan oleh setiap orang tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin (bias gender). Dalam Islam perlakuan antara laki-laki dan perempuan, senantiasa mendapatkan tempat dan kesempatan yang sama untuk mendekatkan diri pada Allah. Secara spiritual, perbedaan jenis kelamin—laki-laki dan perempuan—tidak menjadi soal. Sebagaimana tersebut alam al-Qur’an surat al-Ahzab (33) ayat 35.

Meskipun dalam ayat Al-qur’an tersebut menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki, serta status yang sama di hadapan Allah, akan tetapi dalam kenyataannya, tidak banyak perempuan yang menjadi guru sufi.

Dan dalam dunia tarekat lebih dari separuh anggotanya adalah perempuan. Menurut Martin Van Bruinessen (1998), dalam perkiraan kasar sekitar 30-40% murid tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah seantero Nusantara adalah kaum perempuan. Sedangkan melalui pengamatan langsung dalam berbagai kegiatan TQN, hampir dua pertiga anggota tarekat yang hadir adalah perempuan. Walaupun jumlah perempuan lebih banyak dari pada anggota laki-laki. Dalam tradisi TQN tidak dijumpai mursyid dari kalangan perempuan. Hal ini dikuatkan dengan hasil kesepakatan muktamar ke-2 Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah, di Pekalongan pada tanggal 9 November 1959 yang memutuskan bahwa perempuan tidak sah menjadi khalifah untuk tarekat mu’tabarah. Keputusan tersebut terus berlaku hingga saat ini.

Selanjutnya, penelitian ini lebih difokuskan pada pengalaman beragama perempuan anggota tarekat. Permasalahan utama yang dijawab dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah pengalaman beragama yang dialami oleh perempuan anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah?” Untuk menjawab permasalahan utama tersebut, dibatasi dan dirinci dalam sub-sub masalah sebagai berikut:

1. Bagimanakah pengalaman awal mula perempuan mengikuti tarekat?
2. Apakah motivasi perempuan dalam mengamalkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah?
3. Bagaimanakah perasaan beragama para penganut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah?
4. Bagaimanakah pengalaman beragama perempuan anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah?
5. Adakah pengalaman mistik atau pengalaman spiritual yang luar biasa?

Penelitian dibatasi pada tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dengan pusat kemursyidan di pondok pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang dengan mursyid K.H.A. Dimyati Romli (disingkat TQN Rejoso); TQN di Bojonegoro yang mengambil baiat pada Mursyid K.H. Zamroji Saerozi yang berpusat di Pare Kediri (TQN Bojonegoro), TQN dengan kemursyidan K.H. Zuhri di Gubug Grobokan Jawa Tengah (TQN Gubug), TQN dengan mursyid K.H. Ahmad Asrori Usman di Surabaya (TQN Surabaya) dan TQN di Jakarta yang mengambil talqin pada mursyid K. H. Shahibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) di Suryalaya Tasikmalaya (TQN Suryalaya).

Sejauh pengamatan yang ada, belum ada penelitian fenomenologis tentang perempuan yang melihat apa yang sebenarnya terjadi pada diri perempuan dalam kaitannya dengan pengamalan ajaran agamanya. Penelitian mengenai perempuan dalam kaitannya dengan sufi lebih banyak menampilkan tokoh-tokoh perempuan, Untuk penelitian mengenai tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah telah banyak dilakukan beberapa penelitian mengenai tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tersebut, akan tetapi belum ada penelitian yang membahas pengalaman beragama, khususnya yang pengalaman beragama perempuan pengamal tarekat dalam perspektif Psikologi Agama.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan pendekatan dalam penelitian berikut ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dalam kerangka kajian Psikologi Agama.

Hasil Penelitian

1. Faktor Yang Mempengaruhi Perempuan Mengikuti TQN

Beragam pengalaman perempuan memasuki dunia tarekat. Oleh sebab itu beragam pula faktor yang mempengaruhi perempuan untuk mengikuti TQN, antara lain hubungan antar pribadi, keluarga; kebiasaan rutin, seperti menghadiri pengajian atau pertemuan-pertemuan rutin; anjuran atau ajakan dari orang-orang terdekat; dan pengaruh pemimpin agama. Di samping faktor yang bersifat ekstern tersebut, terdapat pula perempuan yang mengikuti TQN karena didorong oleh kemauan sendiri dan isyarah melalui mimpi. Untuk responden di perkotaan, faktor ajakan dari teman dan hubungan antar pribadi lebih banyak dari pada anggota dari pedesaan. Sedangkan pengaruh pemimpin agama dan menghadiri pertemuan rutin serta keluarga banyak dialami oleh anggota TQN dari daerah/pedesaan.

Dari data yang ada (lihat Tabel 1), menunjukkan bahwa responden sebelum mengikuti tarekat telah mengamalkan agama dengan baik. Artinya, tidak ditemukan responden yang mengalami perubahan secara drastis. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat dua macam konversi/perubahan keyakinan.

Temuan yang ada menunjukkan bahwa di samping faktor di atas, faktor usia juga berperan dalam kehidupan perempuan memasuki dunia tarekat, oleh karena mayoritas pengamal tarekat usianya sudah menginjak pada masa dewasa dan sebagian besar telah usia lanjut (60 tahun).

Perempuan anggota TQN—khususnya di daerah—mayoritas telah berusia lanjut dan sebagian besar telah berstatus janda. Status demikian menguatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Gofer—sebagaimana diterangkan kembali oleh Robert H. Thouless (1979: 108)—menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan orang yang masih belum berumah tangga sedikit lebih banyak daripada kegiatan orang-orang yang sudah berumah tangga, sedangkan kegiatan orang-orang yang sudah bercerai atau pasangannya meninggal jauh lebih besar dari kedua-duanya.

Yang menjadi catatan, dari perjalanan perempuan masuk tarekat tersebut, tidak ditemukan murid mencari guru (mursyid) sebagai mana layaknya seorang pengamal tarekat pada masa lalu.

Demikian pula persyaratan untuk mengamalkan ajaran tarekat tidaklah sulit sebagaimana masa lalu. Kondisi demikian membuat peran mursyid dalam pembinaan murid tidak seintensif guru-guru sufi pada masa awal perkembangan tarekat. Semestinya mengikuti tarekat harus mantap dulu syariatnya, akan tetapi yang terjadi di sebagian besar pengikut tarekat adalah mereka yang masih awam. ‘Daripada mereka tidak tahu kedua-duanya, lebih bagus mengikuti tarekat dengan pendidikan apa adanya, setelah masuk baru dibina kedua-duanya seiring sejalan’, demikian komentar Zamrozi (51 tahun), salah seorang khalifah TQN Rejoso.

2 . Motivasi Beragama Perempuan Anggota TQN

Motivasi perempuan dalam mengikuti tarekat antara lain: untuk melebur dosa yang pernah dilakukannya, mohon ampun pada Allah, mendekatkan diri pada Allah, beribadah pada Allah, dan mengharapkan akhir hayatnya dengan husnul khatimah. Motivasi beragama perempuan dalam mengamalkan tarekat didorong oleh rasa rindu dan cinta pada Allah. Dengan demikian, sumber motivasi yang ada lebih bersifat intrinsik, tanpa dipaksakan dan penuh dengan kesadaran yang tinggi. Untuk sampai pada motivasi tersebut mereka dibimbing dan diarahkan dengan pembinaan yang intens oleh mursyid, yang diawali dengan baiat/talqin dan dilanjutkan dengan pengajian-pengajian dalam pertemuan rutin (khususiyah, istighatsah, manakiban, selapanan, dan sebagainya). Dengan demikian, kesimpulan ini menolak teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud bahwa motivasi beragama seseorang hanya fungsional belaka, meskipun dari beberapa amalan yang dilakukan, juga terdapat maksud-maksud dan tujuan tertentu (doa/permohonan tertentu).

3. Perasaan Beragama Perempuan Anggota TQN

Perasaan beragama yang biasa dan pada umumnya dialami oleh perempuan anggota TQN adalah merasakan khusyu’ di hati, merasa dekat Allah, doa dan harapan banyak yang tercapai, pasrah, tawakkal pada Allah, rasa rindu lebih dalam pada Allah, merasakan kepuasan batin, bahagia, damai, lebih lapang, tentram, merasakan kenikmatan dalam hati. Kondisi demikan menguatkan teori William James (1982) tentang buah dari kondisi religius yang sehat jiwanya.

4. Pengalaman Mistik Perempuan Anggota TQN

Dalam ajaran TQN, dikenal dengan dzikir lathâif-lathâif, atau tingkatan-tingkatan dzikir. Akan tetapi dari jawaban responden yang ada, tidak dikemukakan tingkatan dzikir tersebut. Beberapa kali peneliti menanyakan masalah itu kepada responden, akan tetapi tidak ada jawabannya. Yang menjadi pertanyaan, apakah mereka tidak memahami tingkatan-tingkatan dzikir tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Asep Usman Ismail, yang mengatakan bahwa bisa jadi mereka memang tidak memahami ajaran tarekat, apalagi dengan tingkatan dzikir dengan makna filosofisnya, mereka hanya mengamalkan apa yang diajarkan oleh mursyid atau wakil talqin; ataukah mereka sebenarnya mengalami tingkatan dzikir tersebut, akan tetapi tidak mau mengungkapkannya, karena itu adalah hak mursyid untuk mengetahuinya.

Yang jelas, dengan dzikir seperti itu akan membawa kedamaian, karena hidup itu tujuannya untuk kedamaian. Kalau orang sudah damai, aliran darah kita akan lancar, badan akan sehat dan tidak mudah sakit, karena sumber penyakit yang berat dari pikiran susah. Dengan dzikir jiwa menjadi pasrah, tawakkal pada Allah. Kepasrahan ini akan membawa kenikmatan dan keajaiban. Dalam bahasa lain, orang yang menjalani demikian akan mendapat ma‘unah dari Allah SWT.

Pengalaman lain yang banyak dikemukakan antara lain adanya isyarah, atau feelling, semacam intuisi yang tajam, yaitu daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Bisa pula intuisi diartikan dengan bisikan hati bahwa akan terjadi sesuatu, atau merasakan sesuatu yang kemudian benar-benar terjadi. Dzikir yang dilakukan pengamal tarekat, khususnya dzikir sirri, dalam kegiatan khususiyah penuh konsentrasi dan penghayatan mendalam, sehingga seperti ada kekuatan batin atau energi dalam.

Dalam tradisi tarekat dikenal adalanya tawasul“. Tradisi demikian memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan mursyid secara tidak langsung. Yang juga termasuk dalam pengalaman mitik yang ditemukan dalam penelitian ini adanya kondisi fana’ fil mursyid”. Sementara responden lainnya mengungkapkan bahwa pengalaman mistik yang dirasakan adalah merasakan sesuatu yang sulit untuk dilukiskan. Kesimpulan ini menguatkan dan menjadi bukti dari beberapa teori yang berkaitan dengan tanda-tanda pengalaman mistik sebagaimana dikemukakan oleh James H. Leuba, Wolter Housten Clark, dan beberapa tokoh Psikologi Agama lainnya.

Implikasi Pengalaman Beragama dalam Kehidupan Perempuan Anggota TQN

Dari pengalaman tersebut membawa implikasi dalam kehidupan perempuan, baik secara emosi, sosial maupun secara fisik. Secara fisik/jasmani, terlihat kecerahan yang terpancar dari raut wajah perempuan-perempuan anggota TQN. Bukan wajah yang layu dan menderita. Meskipun mayoritas mereka telah berusia lanjut, akan tetapi masih mampu menjalankan rutinitas yang memerlukan energi.

Secara emosi dapat dikatakan bahwa perempuan anggota TQN sebagian besar cerdas emosi. Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.( Daniel Goleman, 1995) Yang dapat dikategorisasikan cerdas emosi yang dimiliki oleh perempuan anggota TQN antara lain: tidak suka marah, tidak mau bohong, sabar, tenang, berkah, bahagia, dan merasakan kepuasan.

Karakteristik orang yang cerdas emosi adalah yang mampu mengendalikan marah, dan mampu mengatur kapan dan bagaimana marah yang sesuai dengan kondisi, dengan demikian mampu mengendalikan emosi. Begitu pula dengan tanda yang kedua, tidak suka bohong, oleh karena menyadari bahwa setiap saat Allah hadir dalam jiwanya. Karakteristik berikutnya adalah sabar, yang sebenarnya memuat karakteristik pertama dan kedua, tidak suka marah dan tidak mau bohong. Perempuan anggota TQN merupakan insan yang sabar, hal ini ditunjukkan dengan kemampuannya mengendalikan emosi negative dan upayanya untuk selalu memunculkan emosi positif. Perempuan yang sabar adalah orang yang memiliki kompetensi dan kecerdasan emosional yang tinggi. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ia berhasil mengatasi pelbagai gangguan dan tidak memperturutkan emosinya, akan tetapi dapat mengendalikan emosinya. Kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri inilah yang disebut sabar.

Berdasar pengalaman perempuan anggota TQN di atas, terdapat pula beberapa karakteristik yang dapat diklasifikasikan dalam cerdas sosial, antara lain: empati, suka menolong orang, banyak bersedekah, hati bisa gampang tersentuh, cari yang baik-baik dan sering silaturahim, banyak saudara.

Sementara, dengan mengamalkan ritual yang terdapat dalam ajaran TQN para anggota tarekat semakin memahami eksistensi dirinya, dan menyadari tugas maupun tanggung jawabnya sebagai hamba Allah, sehingga ia nampak semakin cerdas secara spiritual dan tegar dalam menyikapi maupun menghadapi pelbagai deraan kehidupan yang mengungkungnya. Sikap mental demikian jarang ditemukan di kalangan perempuan yang tidak memiliki komitmen/yang tidak bergabung dalam jamaah tarekat, karena biasanya seseorang yang belum mengikuti tarekat dalam meniti kehidupannya tanpa dilandasi kesadaran orientasi yang jelas di masa mendatang. Akan tetapi setelah mengikuti tarekat dalam praktek kehidupannya mencitrakan suasana damai, tenteram, berpikir positif dan optimis. Mereka merasakan nikmatnya hidup beragama secara sungguh-sungguh, serta memiliki keinginan yang sangat kuat untuk memahami, menghayati dan mengamalkan tarekat dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka meyakini dan merasakan bahwa ajaran tarekat yang mereka amalkan lebih merupakan jiwa pengamalan agama, sehingga mereka meyakini bahwa jalan inilah yang bisa mewujudkan kebahagiaan dan keselamatan selama hidup di dunia hingga menuju akhirat.

Indikator kecerdasan spiritual ini dapat dilihat melalui aktivitas dzikrullah, sebab mereka memiliki keyakinan bahwa ia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Oleh karena itu selama mengisi usia yang tersisa ia ingin selalu dekat dengan Allah, karena hanya dengan dzikrullah ia benar-benar siap untuk kembali menghadap Allah, tanpa menafikan amalan lainnya. Amaliah dzikrullah yang dilaksanakan secara konsisten oleh anggota tarekat ini yang akan mengasah dan meningkatkan potensi ruhaniyahnya. Mereka meyakini bahwa dzikrullah merupakan ibadah yang paling utama, dan inti semua ibadah adalah dzikrullah. Melanggengkan dzikrullah merupakan amal yang paling besar pahalanya dan menghapuskan segala dosa. Di samping itu dengan dzikir dan istighfâr secara terus menerus iblis tidak dapat memperdayakan manusia yang senantiasa ikhlas dan istiqamah dalam beribadah. Selanjutnya, tujuan setiap bentuk ibadah adalah memperbaiki kondisi jiwa/akhlaq, agar berubah menjadi insan yang berakhlaqul karimah. Apabila hati sudah bersih dari pelbagai macam penyakit, ia benar-benar menjadi manusia yang ikhlas dan tawakal, serta mampu mengaplikasikan ketaqwaan dalam hidup sehari-hari.

Kecerdasan spiritual akan menghasilkan kedamaian dalam hubungannya dengan Allah. Sedang kecerdasan emosional membuahkan kesuksesan hidup baik individual maupun sosial. Kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki oleh perempuan anggota TQN—yang sebagian besar telah berusia lanjut—terwujud salah satu diantaranya karena karakteristik perempuan itu sendiri yang berbeda dengan laki-laki yang terbentuk oleh budaya. Karakteristik tersebut antara lain: Pertama, perempuan tidak tergantung dan siap menghadapi masa tuanya. Kebiasaan untuk mengerjakan kebutuhan rumah tangga inilah yang menjadikan perempuan lebih siap untuk mengisi hari-hari tuanya dengan aktifitas yang selama ini dilakukan. Kedua, perempuan terbiasa mengurus dirinya sendiri. Kabiasaan tersebut tentunya juga berawal dari kebiasaannya mengurus rumah. Meskipun dihari tuanya ia menjadi janda, misalnya, bagi perempuan tersebut bukan memberatkan jika harus mengerjakan dan menjalani kehidupan ini seorang diri. Ketiga, perempuan mempunyai kemampuan berkomunitas dengan baik, dan keempat, ketika perempuan sudah terbiasa hidup melakukan aktifitas dan mandiri serta suka bersosialisasi, maka kecenderungan perempuan jika telah berusia lanjut untuk tinggal di rumah. Secara psikologis dan sosiologis kondisi demikian berbeda dengan laki-laki.

Sejauh pengamatan peneliti pada responden penelitian, dalam kehidupan berkeluarga perempuan anggota TQN tercipta kondisi keluarga yang harmonis, sakinah mawadah wa rahmah. Meskipun sebagian dari perempuan tersebut menjadi single parent yang memunculkan kekhawatiran anak yang kurang kasih sayang, atau anak tidak hormat terhadap ibunya—yang sekarang banyak dialami oleh ibu-ibu—terkikis. Putra-putri mereka sangat hormat dan respek pada orang tuanya, khususnya kepada ibunya.

Kesimpulan

Dari uraian pengalaman beragama perempuan anggota TQN tersebut, diharapkan mampu menjadi salah satu solusi bagi masalah moral yang sekarang menjadi masalah bangsa. Kemudahan yang disyaratkan untuk memasuki dunia tarekat membuka jalan bagi siapa pun untuk mengikuti tarekat, termasuk diantaranya mereka yang berusia remaja. Dengan menjalankan tarekat membuat orang semakin baik moral dan akhlaknya. Dengan demikian perlu diperkenalkan sejak awal ajaran-ajaran tarekat—yang intinya dzikir—khususnya dalam pembinaan jiwa, agar ke depan mampu memperbaiki moral anak bangsa.

Ketegaran perempuan anggota TQN—yang sebagian besar telah berusia lanjut—dalam menghadapi hidup dan menjadikan hidupnya lebih bermakna dapat dijadikan sebagai model pengembangan dan pembinaan mental bagi usia lanjut.

Perlu dilakukan penelitan lebih lanjut tentang pengalaman beragama tidak hanya pada perempuan, akan tetapi juga dari kaum laki-laki anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Di samping itu, juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengintegrasikan antara psikologi dengan dunia tasawuf yang menjadi inti dari psikologi agama dalam perspektif Islam. 
sumber: http://hik4m.blogspot.com/2011/06/inti-ajaran-tarekat-qadiriyah-wa.html
Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top