I. Sejarah Perkembangannya
Sebelum
membahas lebih lanjut tentang sejarah perkembangan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah, kiranya perlu diketengahkan sekilas tentang
perkembangan kedua tarekat induknya tersebut. Yaitu Tarekat Qadiriyah
dan Tarekat Naqsyabandiyah.
Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang merupakan
univikasi dari dua tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah.[1]
Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi sedemikian
rupa,
sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri dan berbeda dengan
kedua tarekat induknya. Perbedaan itu terutama terdapat dalam
bentuk-bentuk riyadhah dan ritualnya. Penggabungan dan modifikasi yang sedemikian ini memang suatu hal yang sering terjadi di dalam Tarekat Qadiriyah.[2]
|
1. Tarekat Qadiriyah
Nama
tarekat ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang sangat
legendaris, dengan sekian banyak sebutan kehormatan, antara lain : Qutb al-auliya’, shahib al-karamat, dan Sulthan al-auliya’. Ia diyakini sebagai pemilik dan pendiri tarekat ini. Sufi besar itu adalah Syekh Muhyiddin Abd Qadir al-jailani. [3]
Syekh Abd. Qadir al-Jailani dilahirkan pada tahun 470 H. (1077 M) di Jilan (Wilayah Iraq sekarang), dan meninggal di Baghdad pada tahun 561 H. (1166 M.) [4] Beliau adalah seorang sufi besar yang kealiman dan kepribadiannya banyak mendapat pujian dari para sufi dan ulama’ sesudahnya.[5]
Syekh Abd. Qadir al-Jailani adalah juga seorang ulama’ besar sunni yang
bermazhab Hambali yang cukup produktif. Ia telah menulis beberapa
karya, satu di antaranya berjudul “Al-Ghun yah li Thabili Thariq al-Haq”.
Kitab ini merupakan kitabnya yang sering menjadi rujukan dalam karyanya
yang lain. Ini memuat beberapa dimensi keislaman, seperti fikih,
tauhid, ilmu kalam, dan akhlaq tasawuf.[6]
Dilihat dari beberapa buah karyanya, tidak diragukan lagi bahwa beliau
adalah seorang teolog (ahli ilmu kalam), seorang mujtahid dalam fiqih
dan juga seorang orator yang piawai.
Syekh Abd. Qadir al-Jailani memimpin madrasah dan ribathnya di Baghdad,
Sepeninggalnya, kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya yang bernama
Abd. Wahab (552-593 H./1151-1196 M.) Dan setelah Abd. Wahab wafat, maka
kepemimpinannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abd. Salam (w.
611 H./1241 M.) Madrasah dan ribath (pemondokan para sufi),
secara turun menurun tetap berada di bawah pengasuhan keturunan Syekh
Abd. Qadir al-Jailani. Hal ini berlangsung sampai hancurnya kota Baghdad
oleh ganasnya serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan
(1258 M./656 H.). Serangan Hulagu Khan inilah yang menghancurkan
sebagian besar keluarga Syekh Abd. Qadir al-Jailani, serta mengakhiri
eksistensi madrasah dan ribath-nya di kota Baghdad[7].
Perkembangan tarekat ini ke berbagai daerah kekuasaan Islam di luar Baghdad
adalah suatu hal yang wajar. Karena sejak zaman Syekh Abd. Qadir
al-Jailani, sudah ada beberapa muridnya yang mengajarkan metode dan
ajaran tasawufnya ke berbagai negeri Islam. Di antaranya ialah : Ali
Muhammad al-Haddad di daerah Yaman, Muhammad al-Batha’ihi di daerah
Balbek dan di Syiria, dan Muhammad ibn Abd. Shamad menyebarkan ajarannya
di Mesir. Demikian juga karena kerja keras dan ketulusan putera-puteri
Syekh Abd. Qadir al-Jailani sendiri untuk melanjutkan tarekat
ayahandanya, sehingga pada abad 12-13 M, tarekat ini telah tersebar ke
berbagai daerah Islam, baik di Barat maupun di Timur.
Menurut
Trimingham, Tarekat Qadiriyah sampai dengan sekarang ini (abad XX),
masih merupakan tarekat yang terbesar di dunia Islam, dengan
berjuta-juta pengikutnya. Mereka tersebar di berbagai penjuru dunia,
seperti Yaman, Mesir, India,
Turki, Syiria, dan Afrika. Trimingham juga mencatat, ada 29 jenis
tarekat baru yang merupakan modifikasi baru dari Tarekat Qadiriyah
(Qadiri Group’s).[8]
ini terjadi karena dalam Tarekat Qadiriyah ada kebebasan bagi para
murid yang telah mencapai tingkat mursyid, untuk tidak terikat dengan
metode yang diberikan oleh mursyidnya, dan bisa membuat metode riyadlah tersendiri.[9]
Keduapuluh sembilan jenis tarekat tesebut menyebar ke berbagai belahan
dunia Islam, di samping Tarekat Qadiriyah itu sendiri, dan
tarekat-tarekat lain yang belum terjangkau dalam penelitian Trimingham,
seperti Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia. Tarekat ini
masuk Indonesia sekitar tahun 1870-an.
2. Tarekat Naqsyabandiyah
Nama tarekat besar ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang hidup antara tahun 717 H./1317 M.-791 H./1389 M. di kota Bukhara,
wilayah Yugolavia sekarang. Ia adalah Muhammad ibn Muhammad Baha’uddin
al-Uwaisi al Bukhari al-Naqsyabandi. Al-Naqsyabandi di lahirkan di desa
Hinduan yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, di sini pula ia wafat dan dimakamkan.[10]
Tarekat
ini selain dikenal dengan nama Tarekat Naqsyabandiyah, juga disebut
dengan Tarekat Khawajakiyah. Nama ini dinisbatkan kepada Abd. Khaliq
Ghujdawani (w. 1220 M.). Ia adalah seorang sufi dan mursyid tarekat itu,
dan merupakan kakek spiritual al-Naqsyabandi yang keenam. Ghujdawani
adalah peletak dasar ajaran tarekat ini, yang kemudian ditambah oleh
al-Naqsyabandi. Karena Ghujdawani hanya merumuskan delapan ajaran pokok,
maka setelah ditambah oleh al-Naqsyabandi dengan tiga ajaran pokok,
maka ajaran Tarekat Naqsyabandiyah menjadi sebelas.[11]
Pusat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah ini berada di daerah Asia Tengah.[12]
Dan diduga keras bahwa tarekat ini telah menyebar sejak abad 12 M., dan
sudah ada pemimpin lasykar yang menjadi murid Ghujdawani. Sehingga
tarekat ini berperan penting dalam kerajaan Timurid. Apalagi setalah
tarekat ini berada di bawah kepemimpinan Nashiruddin Ubaidillah al-Ahrar
(1404-1490 M.), maka hampir seluruh wilayah Asia Tengah “dikuasai” oleh
Tarekat Naqsyabandiyah.[13]
Tarekat Naqsyabandiyah mulai masuk ke India, diperkirakan mulai
pada masa pemerintahan Babur pendiri kerajaan Mughal, (w. 1530 M.) di
India. Karena masa kepemimpinan Ubaidillah al-Ahrar (Asia Tengah) Yunus
Khan Mughal paman Barbur yang tingal di pemukiman Mongol sudah menjadi
pengikut tarekat ini. Akan tetapi perkembangan di India baru mulai pesat setelah kepemimpinan Muhammad Baqi’Billah (w. 1603 M.).[14]
Annameri
Schimel, banyak menulis tentang peranan para tokoh Naqsyabandiyah di
India, di antaranya adalah Ahmad Faruqi Shirhindi (w. 1642 M.) dan Syah
Waliyullah al-Dahlawi (w. 1762 M.), seorang tokoh pembaharu yang cukup
terkenal.[15]
Masuknya Tarekat Naqsyabandiyah ke Makkah justru melalui India. Tarekat ini dibawa oleh Tajuddin ibn Zakaria (w. 1050 H./ 1640 M.) ke Makkah.[16] Pada abad XIX M. Tarekat Naqsyabandiyah telah memiliki pusat penyebaran di kota
suci ini, sebagaimana tarekat-tarekat besar yang lain. Snouck Hurgronje
memberitakan, bahwa pada masa itu terdapat markas besar Tarekat
Naqsyabandiyah di kaki gunung Jabal Qubais di bawah kepemimpinan
Sulaiman Effendi. Ia memperoleh banyak pengikut dari berbagai negara,
dengan melalui jamaah haji, termasuk jamaah haji dari Indonesia.[17] Menurut Trimingham, seorang syekh Naqsyabandiyah di Minagkabau dibai’at di Makkah pada tahun 1845 M.[18]
Sehingga di Arab sekarang ini setidaknya terdapat tiga cabang besar
Tarekat Naqsyabandiyah, yaitu Khalidiyah di Makkah, Mazhariyah di
Madinah, dan Mujaddidiyah (murni) di Makkah. Dari kedua kota suci ini kemudian Tarekat Naqsyabandiyah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi dari ketiga jalur (cabang) tersebut, jalur ketiga tidak banyak diketahui keberadaannya di Indonesia.
3. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Suryalaya
Tarekat
ini didirikan oleh sufi dan syekh besar masjid al-Haram di Makkah
al-Makarrammah. Ia bernama Ahmad Khathib ibn Abd. Ghaffar al-Sambasi
al-Jawi. Ia wafat di Makkah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang
ulama besar dari Indonesia, yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. [19]
Syekh Ahmad Khatib adalah seorang mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping
juga ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah juga mursyid dalam
Tarekat Naqsyabandiyah. [20] Akan tetapi beliau hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah. [21] Dan sampai sekarang belum diketemukan, dari sanad mana beliau menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah.
Sebagai seorang mursyid yang sangat ‘alim dan ‘arif billah,
Syekh A.Khathib memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri
bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam Tarekat Qadiriyah memang ada
kebebasan untuk itu, bagi yang telah mencapai derajat mursyid.[22] Tetapi yang jelas pada masanya telah ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah.[23]
Sehingga sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at Tarekat Naqsabandiyah
dari kemursyidan tarekat tersebut. Kemudian ia menggabungkan inti ajaran
kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat
Naqsyabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya khususnya yang
berasal dari Indonesia.
Penggabungan
inti ajaran kedua tarekat itu, dimungkinkan atas dasar pertimbangan
logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersifat saling
melengkapi, terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya. Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr (bersuara), sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model dzikir sirr (diam), atau dzikir lathaif. [24]
Dengan penggabungan itu diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat
kesufian yan lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
Akan tetapi dinyatakan dalam kitabnya “Fath al-Arifin”,
bahwa sebenarnya tarekat ini tidak hanya merupakan univikasi dari dua
tarekat tersebut. Tetapi, merupakan penggabungan dan modivikasi dari lima ajaran tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anfasiah, Junaidiyah, dan Muwafaqah.[25]
Hanya karena yang diutamakan ajaran Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, maka
diberi namalah tarekat ini “ Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah”. Konon
tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain ( selain wilayah Asia
Tenggara ).[26]
Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap rendah diri (tawadlu’) dan mengagungkan guru (ta’zhim) Syekh
Ahmad Khathib yang sangat alim itu, kepada pendiri kedua tarekat
tersebut. Sehingga beliau tidak menitsbatkan nama tarekatnya itu pada
dirinya. Padahal melihat modifikasi ajaran, dan tata cara ritual
tarekatnya, sebenarnya lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat
Khatibiyah atau Sambasiah. Karena memang tarekat ini merupakan hasil
‘ijtihad’-nya. Syekh Ahmad Khatib telah memadukan keunikan-keunikan
beberapa tarekat ( Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anfasiah,
Junaidiyah, dan Mufaqah ) dalam suatu tarekat yang mandiri.
Syekh
Ahmad Khatib memiliki banyak murid dari beberapa daerah di kawasan
Nusantara, dan beberapa orang khalifah. Di antara khalifah-khalifahnya
yang terkenal dan kemudian menurunkan murid-murid yang banyak sampai
sekarang ini adalah : Syekh Abd. Karim al-Bantani, Syekh Ahmad Thalhah
al- Cireboni, dan Syekh Ahmad Hasbu al-Maduri. Sedangkan
khalifah-Khalifah yang lain, seperti : Muhammad Isma’il ibn Abd. Rachim
dari Bali, Syekh Yasin dari Kedah Malaysia, Syekh Haji Ahmad Lampung
dari Lampung (Sum-Sel), dan M. Ma’ruf ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang, kurang begitu berarti dalam sejarah perkembangan tarekat ini. [27]
Syekh Muhammad Isma’il (Bali)
menetap dan mengajar di Makkah. Sedangkan Syekh Yasin setelah menetap
di Makkah, belakangan menyebarkan tarekat ini di Mempawah Kalimantan
Barat. Adapun Haji Lampung dan M. Ma’ruf al-Palimbangi masing-masing
turut membawa ajaran tarekat ini ke daerahnya masing-masing.[28] Penyebaran
ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di daerah Sambas (asal
daerah Syekh Ahmad Khatib), dilakukan oleh kedua khalifahnya, yaitu
Syekh Nuruddin dari Philipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putera asli
Sambas.[29]
Mungkin karena sistem penyebarannya yang tidak didukung oleh
sebuah lembaga yang permanen (sebagaimana pesantren-pesantren di Pulau
Jawa), maka penyebaran yang dilakukan oleh para khalifah Syekh Ahmad
Khatib di luar pulau Jawa kurang begitu berhasil. Sehingga sampai
sekarang ini, keberadaannnya tidak begitu dominan. Setelah wafatnya
Syekh Ahmad Khatib, maka kepemimpinan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah di Makkah (pusat), dipegang oleh Syekh Abd. Karim
al-Bantani. Dan semua khalifah Syekh Ahmad Khatib menerima kepemimpinan
ini. Tetapi setelah Syekh Abd. Karim al-Bantani meninggal, maka para
khalifah tersebut kemudian melepaskan diri, dan masing-masing bertindak
sebagai mursyid yang tidak terikat kepada mursyid yang lain. Dengan
demikian berdirilah kemursyidan-kemursyidan baru yang independen.[30]
Khalifah Syekh Ahmad Khatib yang berada di Cirebon, yaitu Syekh Thalhah, ia
mengembangkan tarekat ini secara mandiri. Kemursyidan yang dirintis
oleh Syekh Thalhah ini kemudian dilanjutkan oleh khalifahnya yang
terpenting. Ia adalah Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad.. Dia kemudian
mendirikan pusat penyebaran tarekat ini di wilayah Tasikmalaya
(Suryalaya). Sebagai basisnya didirikanlah pondok pesantren Suryalaya.
Dan belakangan nama beliau sangat terkenal dengan panggilan Abah Sepuh. [31]
Kepemimpinan
tarekat yang berada di Suryalaya ini, setelah meninggalnya Abah Sepuh
digantikan oleh Abah Anom. Ia adalah putra Abah Sepuh (Abdullah
Mubarak), yang bernama A. Shahibul Wafa Tajul Arifin. Beliau memimpim
pesantren dan tarekat ini sampai sekarang. Di bawah kepemimpinan Abah
Anom ini Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di kemursyidan Suryalaya
berkembang sangat pesat. Dengan menggunakan metode riyadlah dalam
tarekat ini, Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif, terutama
bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan
obat-obatan terlarang (narkoba), seperti; ganja,potau, morfin, heroin
dan sebagainya. Mursyid ini mempunyai wakil talqin, yang cukup banyak,
dan tersebar di tiga puluh lima daerah. Termasuk dua diantaranya di Singapura dan Malaysia. [32]
Kemursyidan
Tarekat Qadiriyah Naqsybandiyah di Tasikmalaya berpusat di pondok
pesantren Suryalaya yang berarti matahari terbit. Sebuah pesantren di
kampung Godebag, Tanjung Kerta Pagerageng, Tasikmalaya Jawa Barat, 30 km
dari ibukota kabupaten dan 80 km dari kota Bandung. Pondok Pesantren
Suryalaya ini sejak awal didirikannya (oleh Syekh Haji Abdullah Mubarok
bin Nur Muhammad, 7 Rojab 1323 H (5 September 1905)[33]
adalah merupakan pusat tarekat (kemursidan) Tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah, karena pendiri pesantren ini adalah mursyid tarekat
tersebut.
Dari
kemursyidan Tasikmalaya ini, Tarekat Qadiriyah–Naqsyabandiyah menyebar
ke seluruh penjuru Nusantara, bahkan sampai di negeri-negeri tetangga,
yaitu Singapura dan Malaysia.
Di bawah kepemimpinan mursyid yang sekarang ini (Syekh KH. Ahmad
Shohibul wafa Tajul Arifin atau Abah Anom), tarekat ini berkembang
dengan sangat pesatnya sehingga beliau mempunyai wakil pentalqin (badal)
di tiga puluh lima daerah, termasuk di antaranya di dua negara tetangga tersebut.[34]
Di
antara keunikan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah kemursyidan
Tasikmalaya ini, adalah Filosofi penyebaran ajarannya. Pada umumnya kaum
muslimin pengikut faham Ahli al-sunnah wal jama’ah (sunni) dan pengikut
Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah khususnya, berkeyakinan bahwa seorang
yang memasuki dunia tasawuf atau tarekat “dipersyaratkan”
telah memiliki ilmu dan amaliyah syari’at yang mantap. Karena tarekat
dianggap sebagai jenjang dan tingkat kehidupan keagamaan di atas jenjang
syari’at. Karena alasan ini, maka kebanyakan pengikut tarekat (di luar
kemursyidan Suryalaya) adalah mereka yang telah mengenal ilmu syari’at
dengan baik, atau setidaknya telah menjalankan perintah agama secara
disiplin.
Lain
halnya dengan filosofi yang dipegangi oleh kemursyidan-kemursyidan
tersebut, dalam kemursyidan Suryalaya, filosofi da’wah (penyebaran
ajaran) yang dipegangi adalah, bahwa agar seorang dapat memeluk agama
Islam secara baik dan benar yang pertama kali harus diperkuatkan adalah
ajaran tauhid atau iman, bukan ajaran syari’at atau Islam. Seorang harus
kenal dan cinta terlebih dahulu dengan Tuhan, baru kemudian dia akan
mudah melaksanakan syari'at (ketentuan-ketentuan Tuhan).[35]
Karena logika ini, maka kemursyidan ini dapat menerima anggota baru
yang sama sekali awam dalam bidang ilmu dan amal-amal keislaman. Bahkan
para remaja yang sudah sangat rusak moralnya, akibat penyalahgunaan
obat-obat terlarang diajarkan untuk mengamalkan ajaran tarekat ini juga.
Dengan
mengamalkan ajaran tarekat dengan baik (khususnya dzikir), maka
seseorang akan terbuka kesadarannya untuk dapat mengamalkan syari’at
dengan baik, walaupun secara kognetif tidak banyak memiliki ilmu
keislaman. Karena ia akan mendapat pengetahuan dari Tuhan (ma’rifah) dan cinta Tuhan (mahabbah), karena buah (tsamrah) nya dzikir. Dan juga karena buahnya dzikir, maka dalam diri seseorang terjadi penyucian jiwa (tazkiyat al-nafsi). Dan dengan jiwa yang suci seseorang akan dengan ringan dapat melaksanakan syari’at Allah.
Kenal
dan cinta kepada Allah adalah kunci kebahagiaan hidup, kenyakinan para
sufi memang “Mengenal Allah adalah permulaan orang beragama”. Dan karena
secara empiris kebenaran logika ini telah terbukti,
bahwa orang-orang yang telah diperkenalkan dengan Tuhan dan diajari
(ditalqin) menyebut Asma Allah berubah menjadi manusia yang
berkepribadian baik, maka akhirnya sejak tahun 1971 Abah Anom sering
mendapat titipan anak (remaja) yang sedang mengalami kelainan jiwa untuk
dibina dengan metode tarekat, maka akhirnya didirikanlah pondok remaja
inabah, sebagai laboratorium psikoterapi Tarekat
Qadiriyah-Naqsyabandiyah.
Para
pasien dan sekaligus murid tarekat ini dibina dan disadarkan dengan
pendekatan sufistik. Di mana mereka diajak berpraktek membersihkan jiwa (tazkiyat al-nafsi), agar muncul kesadaran diri (self conciousness).
Sehingga berubah sikap mental dan perilakunya yang semula distruktif
menjadi perilaku yang konstruktif. Karena tanggapan dan sambutan
masyarakat terhadap berdirinya pondok remaja cukup baik, maka pondok ini
terus berkembang sampai sekarang. Kemursyidan Tasikmalaya ini sekarang
mempunyai 23 pondok inabah. Dari apa yang dipraktekkan di pondok
tersebut, dilakukan kajian dan analisis tentang tazkiyatun nafsi sebagai metode psikoterapi dalam disertasi ini. Di sini juga diuraikan tentang ajaran-ajaran dasar dalam terakat ini.
[1]KH. Zamroji Saerozi, Mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Pusat Pare Kediri. Wawancara di Pare Kediri tanggal, 27 Juli 1996. Baca juga Muslikh Abd. Rahman, Al-Futuhat al Rabbaniyat fi al-Thariqat al-Qadiriyat wa al-Naqsyabandiyah, Semarang : Toha Putra, 1994, h. 41.
[2]Amir al-Najjar, Al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr, Kairo : Maktabah Anjlu al-Misriyyah, t.th. h. 115.
[3]J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam,London : Oxford University Press, 1973, h. 40. Kebesaran dan kekeramatan Syekh ini dapat dibaca pada manaqib-manaqibnya, misalnya ditulis oleh Muslikh Abd. Rahman, Nur al-Burhani fi manaqib Syekh Abd. Qadir al Jailani, Semarang : Toha Putera, t.th.
[4]Ibid., h. 41 Baca juga HAR. Gibb and J.H. karamers, Shorter Encyclopedia of Islam,Leiden : E.J. Eril, 1961, h. 115.
[5]Misalnya Ibn ‘Arabi, seorang sufi besar pengarang kitab al-Futuhat al-Makkiyah. Ia menyatakan bahwa Syekh Abd. Qadir al-Jailani adalah seorang yang pantas mendapat predikat Qutub al-auliya’. Pada masanya. Demikian juga Ibn Taimiyah (w. 728 M.), ia juga telah memberikan pujian kepadanya. Baca H.A.R. Gibb, ibid., h. 6. Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman,Bandung : Pustaka, 1974, h. 236
[6]Di antara karya Syekh Abd. Qadir Jailani adalah : Fath al-Rabani dan Fath al-Ghaib,
keduanya berisi khutbahnya yang dikumpulkan oleh anak dan muridnya.
Sedangkan yang benar-benar tulisan beliau sendiri adalah karyanya yang
berjudul al-Ghunyah. Baca Abd. Qadir Jailani al-Hasani, al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq fi Akhlaq wa Tashawuf wa al-Adab al-Islamiyah, t.t.: Maktabah al-Sya’biyah, t.th.
[7]Zurkani Yahya, “Asal usul Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan Perkembangannya” dalam Harun Nasution (ed.), Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah: Sejarah Asal Usul dan Perkembangannya,Tasikmalaya: IAILM, 1990, h. 1963.
[8]Trimingham, op. cit., h. 271-273.
[9] Amir al-Najjar, loc. cit.,
[10]Baca tentang biografi dan kekeramatan wali besar ini pada Abu Bakar Aceh, Pengantar ilmu Tarekat, Solo : Ramadhani, 1995, h.319.
[11] J. Spencer Trimingham, op.cit., h.
62-63. Sedangkan rincian selengkapnya tentang sebelas ajaran Pokok yang
dirumuskan oleh Abd. Kahliq al-Ghujdawani dan Baha’uddin al-Naqsyabandi
dapat dobaca pada, Najm al Din, Amin al-Kurdi, Tanwir al Qulub fi Mu’allamati ‘Allam al-Ghuyub,Beirut: Dar al-Fikr, t.th., h. 506-508.
[12] Trimingham, op. cit., h. 92.
[13] Anne Marie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, Chapellhills: Corolina Press, 1981, h. 365.
[16] Zurkani Yahya, op. cit. h. 79.
[17]Zamakhsari Dhafir, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, t.th., h. 141.
[18]Trimingham, op.cit. h.
122. Menurut Martin Van Bruinessen, Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
masuk ke Arab Saudi berasal dari India, melalui murid-muridnya Abdullah
al-Dahlawi (w. 1240 H./1824-5M di Delhi). Yaitu Maulana Khalid (di
Damaskus) dan kemudian di bawa ke Mekkah oleh Abdullah al-Zinjani. Abu
Sa’id al Ahmadi yang kemudian dibawa oleh anaknya Ahmad Sa’id, yaitu M.
Jan al-Makki membawa tarekat ini ke Mekkah dan M. Mazhar al-Ahmadi ke
Madinah. Lihat Martin Van Bruinessa, Tarekat, op. cit., h. 72 – 73.
[19]Hawas Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya ; al-ikhlas, 1980, h. 177. Baca juga Martin Van Bruinessen, Tarekat, op. cit., h. 91.
[20]Zurkani Yahya, op. cit. , h. 83
[21]Dari
berbagai silsilah yang penulis dapatkan di semua cabang, silsilah
tarekat ini bersumber pada suatu “sanad” dari syekh Abd. Qadir Jailani.
Lihat misalnya, Muhammad Usman Ibnu Nadi al-Ishaqi, al-Khulashah al-Wafiyah fi al-Adab wa Kaifiyat al-Dzikir ‘Inda Saadat al-Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Surabaya : al-Fitrah, 1994, h. 16-18.
[22]Amir al-Najjar, loc. cit.,
[23]Trimingham, loc. cit. ,
[24]Amin al-Kurdi, op. cit. ,h. 508. Baca Martin Van Bruinessen, Tarekat, op. cit. , h. 89.
[25]Hawas Abdullah, op. cit. , h. 182-183.
[26]Pernyataan
ini didukung dengan tidak adanya berita tentang nama khalifah Syekh
Ahmad Khatib yang berasal dari luar Asia Tenggara (Melayu). Akan tetapi
bagaimana kelanjutan kemursyidan di Makkah setelah wafatnya Syekh Abd.
Karim al-Bantani, ini merupakan sesuatu yang harus diselidiki lebih
lanjut.
[27]Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung : Mizan, 1992, h. 1992.
[28]Ibid.
[29]Hawas Abdullah. op. cit , h. 181.
[30]Martin Van Bruinessen, op. cit. , h. 94.
[31]Zurkani Yahya, op.cit. , h. 88. Martin Van Bruinessen, op. cit. , h. 95.
[32]Shahibul wafa Tajul Arifin , Uqudul juman Tanbih. Jakarta; Yayasan Serba Bhakti, 1995, h. 76-79.
[33] Emo Kastama , Inabah, Tasikmalaya : Yayasan Serba Bhakti, 1994, h. 20.
[34]Shohibul wafa Tajul Arifin, loc. cit.
[35]Ali Hanafiah, (Ketua Korwil. TQN. Tasikmalaya di Jatim), wawancara, Surabaya; 3 Agustus 1996.
sunber: METAFISIKA
Assalamu'alaikum wr. wb. min...
BalasHapusartikel tentang Tarekat ini yang nulis siapa nggih? mohon informasinya guna keperluan penelitian. nuwun...
Khoir
BalasHapus