Lirboyo
adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri
Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang
dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo. Berdiripada tahun 1910
M.. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan
dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul Karim, seorang
yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.
Sejarah
berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula
KH. Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran
putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai
Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.
Perpindahan
KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya
sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap
dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar
dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada
Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan salahsatu menantunya (Kyai Abdul
Karim) di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula
angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.
Betul
juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai
Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga
semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus
yang lari tunggang langgang
Tiga
puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau
mungil nan sederhana.
Santri
Perdana dan Pondok Lama
Adalah
seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba
ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut
baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi
, menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan
telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.
Demikian
jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga
santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul
Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian
datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari
Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud
untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja
mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar
pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman, di
Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka
berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung
halamannya.
Tahun
demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan
semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya
untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan
keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.
Berdirinya
Masjid Pondok Pesantren Lirboyo
Masjid
merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap
sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan,
sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu,
bukan merupakan hal yang aneh jika dimana ada pesantren disitu pula ada
masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.
Asal
mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah
berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan
KH. Abdul Karim belum dianggap sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua
setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun
1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid
di sekitar Pondok.
Semula
masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang
terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat
laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur
porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang
tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk
membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih
permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul
Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya
KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk
sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya
yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.
Dari
pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan
persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para
dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan
pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara
itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua ,
Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.
Dalam
tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan
megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta
lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik ,
yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur
Tengah.
Untuk
mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa
KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip
kejayaan daulat Fatimiyyah.
Selang
beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah
banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa
sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian
besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan
ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M.
Tidak
sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid.
Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri,
akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak
sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai
kini bila berjama'ah sholat Jum'at banyak santri dan penduduk yang harus
beralaskan aspal jalan umum.
Untuk
menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan
melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak
mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun
dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.
SEJARAH
BERDIRINYA MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN
PONDOK
PESANTREN LIRBOYO KOTA KEDIRI
Sistem
pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo, yang dikenal selama ini
adalah sistem Klasikal dan sistem Klasik (bandongan, sorogan dan wethon).
Sistem klasik diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo sebelum berdirinya
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tepatnya sejak berdirinya Pondok Pesantren
Lirboyo, yaitu 1910 Masehi. Sementara sistem klasikal dimulai sejak berdirinya
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tahun 1925 Masehi hingga sekarang.
Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ien berdiri bermula dari gagasan Jamhari seorang
santri senior asal Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Gagasan tersebut dilaksanakan
setelah mendapat restu dari Romo KH. Abdul Karim, kemuadian diikuti oleh
Mas Syamsi asal Gurah Kediri dan Mas Syamsi orang yang pertama memasang
papan tulis disetiap kelas sebagai sarana untuk menulis dan menerangkan
pelajaran. Dan saat itu secara resmi, Madrasah yang baru lahir itu diberi
nama “Hidayatul Mubtadi-ien”
Berdirinya
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ini sangat direstuhi oleh Pendiri Pondok
Pesantren Lirboyo, Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim, sehingga beliau
dawuh kepada semua santri “ SANTRI-SANTRI KANG DURUNG BISO MOCO LAN NULIS
KUDU SEKOLAH “ (para snatri yang belum bisa membaca dan menulis harus
mengikuti sekolah).
Tujuan
berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien
1. Dengan adanya
sistem yang sederhana (klasikal) dapat meningkatkan mutu pendidikan.
2. Menyesuaikan pada
tingkat kebutuhan dan kemampuan para santri.
3. Lebih intensif
dalam mendidik dan membentuk kepribadian santri.
Kendala-kendala
dalam tahun-tahun pertama
Dalam
tahun pertama berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ternyata mengalamai banyak
kendala yang menyebabkan keadaan makin lama makin memburuk Karena pada waktu
itu kurang berminatnya santri untuk memasuki pendidikan Madarasah karena
madrasah merupakan sistem pendidikan yang masih asing, akhirnya setelah
berjalan kurang lebih enam tahun Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami
kevakuman ditengah jalan.
Meskipun
demikian, jangka waktu selama 6 tahun terhitung sejak tahun 1925 sampai tahun
1931 itu menghasilkan beberapa pengalaman yang cukup berharga yaitu :
1. Madrasah sudah terbagi menjadi bebrapa lokal
2.
Beberapa guru dan pembimbing diantara Ustadz Sanusi (dari bangil) Ustadz
Syairozi (dari Perak) Kyai Bahri (dari kediri) dan lain-lain
Setalah
mandek selama dua tahun tepatnya tahun 1931 M. sampai tahun
1933M. KH. Jauhari menantu Hadrotus
Syaikh Romo KH. Abdul Karim bersama kepala Pondok pesantren Lirboyo yang kala itu dijabat Oleh K.
Kholil asal Melikan Kediri serta KH. Faqih Asy’ari asal Sumber Pare Kediri
menghidupkan kembali Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Dan madrasah
dibuka kembali pada malam Rabu bulan Muharrom 1353 H. yang bertepatan dengan
tahun 1933 M. Dan saat itu setiap siswa ditarik sumbangan 5 Sen setiap
bulan.
Perlu
diketahui, bahwa Madrasah pada masa itu masuk malam hari yaitu ba’dal Maghrib
dan dibagi dalam 8 (delapan) kelas, 3 kelas untuk Sifir (persiapan), yang
terdiri dari Sifir Awal, Sifir Tsany dan Sifir Tsalis. Sedangkan 5 kelas
dipergunakan untuk tingkat Ibtidaiyyah yang terdiri dari kelas I,
kelasII, kelas III, kelas IV, dan kelas V kelas.
Sedangkan
kurikulum yang diajarkan pada tingkat sifir adalah mata pelajaran dasar semacam
pelajaran menulis huruf Arab ( Khoth) pelajaran membaca Al-qur’an, tajwid dan
pelajaran Fiqh ibadah tahap permulaan. Sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi,
pelajarannya pun ditingkatkan sesuai dengan tingkatan kelasnya, dan untuk
tingkatan yang paling tinggi pelajaran ketika itu adalah Al Jauharul Maknun.
Pada
dasarnya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien semenjak berdirinya
memberikan porsi lebih banyak untuk mata pelajaran Ilmu Nahwu dan shorof ,
sehingga menjadi ciri khas tersendiri bagi Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Ketika
masa Penjajahan Jepun
Jabatan
kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semula dijabat
oleh HK. Faqih Asy’ari, kemudian pada tahun 1942 diserahterimakan kepada KH.
Zamroji, sebagai kepala Madrasah yang baru. Dan ditahun itu pula Jepang dengan
semboyannya “GOSPEL ANDA GLORI“ mulai menjajah bangsa Indonesia tercinta
serta menguras seluruh kekayaan bangsa Indonesia, sehingga pada saat itu sulit
untuk mencari sandang dan pangan. Sejak saat itu pula Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien yang semual masuk malam hari ba’da (setelah) Maghrib
dirubah menjadi siang hari, karena untuk mendapatkan bahan bakar minyak
sewbagai penerangan saat itu sangat sulit, hal ini berlangsung hingga tahun
1945. Dan ketika itu berkembangan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menurun
secara drastis. Jumlah siswa yang sebelumya mencapai 350 siswa lebih, dimasa
pendudukan Jepang turun menjadi 150 siswa. Dari jumlah itupun yang bisa
menyelesaikan studinya hanya sedikit sekali, bahkan pernah terjadi hanya 5
siswa yang bisa menyelesaikan pendidikan terakhir.
Setelah
Merdeka
Setelah
Jepang bertekuk lutut kepada sekutu bersamaan dengan dikumandangkan detik-detik
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, barulah
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kemajuan yang cukup
mengembirakan dengan semakin banyak siswa yang berdatangan untuk menuntut ilmu
agama di Pondok Pesantren Lirboyo.
Dua
tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1947 Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien mengalami pembaharuan dengan disusunnya tingkat
jenjang pendidikan. Yang semula merupakan sifir dan Ibtidaiyyah menjadi
Ibtidaiyyah dan tsanawiyah adapun kulikulumnya masih mengunakan kurikulum lama.
Dan pada tahun 1947 ini pula didirikan lembaga baru yang berupa Madrasah
Mualimin atas gagasan KH. Zamroji yang waktu itu menjadi pengajar/Mustahiq
Tingkat Tsanawiyyah, sebagai penyempurnaan, sedangkan waktu sekolah adalah
malam hari dengan kurikulum, untuk Fiqh adalah fathul Wahab, Uqudul Juman (Fan
Balaghoh), Jami’ul Jawami’ ( Fan Ushul Fiqh).
Masa
pembenahan kurikulum
Pada
tahun ajaran 1977-1978 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien menyediakan
tingkat Aliyah. Keputusan ini disepakati dalam sidang Panitia kecil Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ien, yang pada masa itu dipimpin oleh Bapak Ilham
Nadzir.
Dengan
terbentuknya pendidikan tingkat aliyah ini, merupakan masa peralihan dari
sistem pendidikan model lama menuju sistem modern yang diselaraskan dengan
tradisi pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan pada tahun ini pula jenjang
pendidikan disempurnakan untuk Ibtidaiyah 6 Tahun, Tsanawiyah 3 Tahun dan
Aliyah 3 tahun.
Pada tahun ajaran 1983-1984 sidang Panitia kecil yang dipimpin
KH. Anwar Manshur. Menetapkan penyempurnaan kurikulum dengan menambah kitab Al-Mahalli ( Fan Fiqh )
Jami’ush Shohir (Fan Hadits) dan Jam’ul Jawami’ (Fan Ushul Fiqh) kitab-kitab
inilah yang menjadi kitab pelajaran Aliyah, dan kitab yang paling besar yang
ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Perkembangan
terakhir
Perkembangan
terakhir kurikulum Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien setelah
tahun 1984 sampai tahun 1997 tidak banyak mengalami perubahan, sampai tahun
terakhir 2003 yang dipimpin oleh KH. Habibulloh Zaini.
http://infoduniaaku.blogspot.com/2013/03/sejarah-berdirinya-pondok-pesantren.html
======
From:
tamatan 2013 'Kusnul Khotimah' Sistem pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo
diawal berdirinya menggunakan metode salafi, sebuah metode dengan format
pengajian weton, sorogan (santri membaca dan mengulas pelajaran langsung
dihadapan kiai) dan bandongan (santri menyimak dan memaknai kitab sesuai dengan
makna yang dibacakan oleh kiai). Seiring dengan perkembangan PP. Lirboyo dan
grafik statistik santri yang terus meningkat setiap tahunnya, sementara metode
belajar pada saat itu masih kurang maksimal dalam mengakomodir santri dan
kompleksitas materi yang harus dipelajari, adalah sebuah keharusan bagi Lirboyo
untuk menerapkan sistem klasikal. Atas inspirasi Jamhari (santri senior yang
sepulangnya dari Makkah berganti nama KH. Abdul Wahab), bersama Syamsi dari
Gurah Kediri, pada tahun 1925 merintis sistem pendidikan klasikal. Dan atas
restu KH. Abdul Karim dengan dawuh, “Santri kang durung biso moco lan nulis
kudu sekolah” (Santri yang belum bisa membaca dan menulis harus sekolah), maka
berdirilah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM). Metode ini hingga sekarang
masih dipertahankan dan terus mengadopsi metode baru yang lebih efektif dan
inovatif sesuai perkembangan zaman. MHM Masa Awal Berdirinya sebuah madrasah
disebagian besar pesantren pada masa itu merupakan hal yang benar- benar baru,
begitu juga PP. Lirboyo. Perjalanan MHM yang dimulai pada tahun 1925 sampai
masa sebelum kemerdekaan terus mengalami pasang surut, seperti ketika harus
vakum selama dua tahun (1931-1932). Berkat usaha KH. Abdulloh Jauhari (ayahanda
Gus Makshum) bersama Kiai Kholil (Ketua PP. Lirboyo saat itu) dari Melikan,
Kediri, yang mengajak Kiai Faqih Asy’ari (alumni PP. Tebuireng yang tahu banyak
tentang sistem pendidikan klasikal) dari Sumbersari, Pare, Kediri, maka MHM
berdiri kembali pada bulan Muharram 1353 H./ 1933 M. Waktu itu, untuk menunjang
kegiatan belajar mengajar, 44 orang siswa yang tedaftar di MHM setiap bulannya
dikenai sumbangan sebesar 5 Sen. Sumbangan ini dikoordinir langsung oleh Agus
Abdul Qodir dari Banyakan, Kediri. Semenjak itu, MHM menggunakan sistem
klasikal (sekolah) dengan dua tingkatan, tingkatan Sifir (kelas persiapan)
selama 3 tahun dan tingkatan Ibtda’iyah selama 5 tahun. Waktu belajarnya malam
hari, mulai puku 19.00-23.00 Wis
dengan materi pelajaran berupa ilmu nahwu sharaf, balaghah, dan materi
pendukung lainnya seperti tulis menulis, ilmu tajwid, dan al- Quran.
Perkembangan MHM sejak kembali aktif sangat signifikan. Grafik siswa terus
meningkat meski tidak terlalu pesat, dari 44 siswa menjadi 60 dan meningkat
lagi menjadi 70 siswa. Di tahun 1936 M. mulai ada siswa yang berhasil
menyelesaikan pelajarannya walaupun hanya 18 siswa. Keadaan ini sangat dimaklumi
karena pada masa penjajahan Belanda semua pendidikan diawasi oleh penjajah
secara ketat, apalagi pendidikan di pondok pesantren. Terlebih setelah penjajah
Belanda digantikan oleh Jepang, keadaan ekonomi Indonesia semakin tak menentu. Hal
ini berdampak terhadap perkembangan MHM. Waktu sekolah yang tadinya malam
diganti siang, karena waktu itu bahan bakar untuk penerangan sangat sulit
didapatkan, dan kalaupun ada harganya teramat mahal. Jumlah siswa yang pada
masa penjajah Belanda mencapai 350 siswa, menjadi hanya 150 saja pada masa
penjajah Jepang. Setelah Jepang hengkang, kondisi itu tetap berlangsung, bahkan
pernah hanya 5 siswa yang bisa tamat belajar di MHM. MHM Masa Perkembangan Pada
tahun 1947 M. MHM merombak sistem pendidikannya. Untuk tingkat Sifir diganti
dengan tingkat Ibtidaiyah (4 tahun) dan tingkat Ibtidaiyah menjadi tingkat
Tsanawiyah (4 tahun). Di tahun ini pula timbul gagasan dari KH. Zamroji (yang
pada waktu itu menjadi guru kelas terakhir tingkat Tsanawiyah) untuk mendirikan
tingkatan Mu’allimin (setingkat Aliyah), KH. Abdul Karim menyetujui gagasan
tersebut. Sedangkan materi yang diajarkan pada tingkatan Mu’allimin tersebut
adalah Fathul Wahab, Uqudul Juman, Jam’ul Jawami’, dan lain-lain. Dirasa belum
sempurna, tahun 1949 M., KH. Abdul Lathif asal Kolak, Ngadiluwih, Kediri, yang pada saat itu menjadi Pimpinan MHM
mengusulkan agar meteri yang diajarkan di kelas ditetapkan sebagai kurikulum
yang baku dalam
pembelajaran di MHM. Tahun 1950 M., saat MHM dinahkodai oleh Ali bin Abu Bakar
asal Bandar Kidul, Kediri, dan dibantu Yasin asal Ngronggot, Nganjuk,
mengusulkan untuk tingkat Ibtidaiyah menjadi 5 tahun dan tingkat Tsanawiyah
menjadi 3 tahun serta materi pelajaran Tsanawiyah ditambah fan ilmu Tafsir,
Hadis, Falak, ‘Arudl. Semua usulan itu disepakati dan diberlakukan di MHM.
Sebagai respon pendidikan luar pondok pesantren, pada tahun 1977-1978 M. Sidang
Panitia Kecil yang dipimpin oleh KH. Ilham Nadzir yang dihadiri oleh PP.
Lirboyo menetapkan; jenjang tingkat Ibtidaiyah menjadi 6 tahun dan untuk
tingkat Mu’allimin dirubah menjadi tingkat Aliyah. Maka sejak itu, jenjang
pendidikan Madrasah yang ada dibawah naungan Ponpes Lirboyo adalah tingkat
Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), dan Aliyah (3 tahun). Sedangkan
untuk materi pelajaran tingkat Aliyah, Sidang Panitia Kecil MHM yang dipimpin
oleh KH. Ilham Nadzir pada tahun 1983 M., menetapkan kurikulum untuk tingkat
Aliyah adalah Jam’ul Jawami’, al-Jami’us Shoghir, al- Mahalli, ‘Uqudul Juman,
dan lain- lain. Karena agenda pendidikan di MHM menggunakan kalender Hijriyah,
maka waktu penerimaan siswa baru tidak sama dengan pendidikan nasional yang
menggunakan tahun Masehi. Untuk mengantisipasi siswa yang daftar terlambat
karena perbedaan kalender tersebut, maka tanggal 25 Juli 1989 MHM membuka tingkatan
I’dadiyah/ Sekolah Persiapan (SP). Tingkatan SP ini terdiri dari dua kelas, SP
I dan II. SP I (dengan materi pelajaran ‘Awamil Jurjani, Tanwirul Hija dan
lainnya) dilaksanakan pagi hari dan diproyeksikan untuk siswa yang akan masuk
di kelas II atau III Ibtidaiyah. Sedangkan SP II (dengan materi pelajaran al-
Ajurumiyah, Qa’idah Sharfiyah, al- Amtsilatut Tashrifiyah dan lainnya)
dilaksanakan pagi hari atau malam hari dengan mempertimbangkan kelas dan gedung
yang tersedia. SP II ini diproyeksikan untuk siswa yang akan masuk di kelas IV
Ibtidaiyah. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, di kelas ini banyak
siswa yang karena pernah belajar di pesantren lain dan ingin meneruskan
pendidikannya di MHM, akhirnya masuk ke kelas I Tsanawiyah atau Aliyah melalui
tes. Sedangkan materi ujian yang harus dijalani siswa yang ingin masuk kelas I
Tsanawiyah diantaranya adalah: Fikih (membaca kitab Fathul Qorib), ujian bab
shalat dan mufassholat mulai surat an-Nas sampai
surat
as-Syamsi, serta hafalan nadzom Alfiyah ibnu Malik 350 bait. Untuk yang ingin
masuk tingkat I Aliyah harus menjalani tes dengan materi antara lain: Fikih
(membaca kitab Fathul Mu’in), ujian bab shalat dan mufassholat mulai surat an-Nas sampai surat
al-‘Ala,
serta hafalan nadzom ‘Uqudul Juman sebanyak 350 bait. Untuk menunjang pelajaran
di kelas, MHM mengadakan kegiatan ekstrakurikuler berupa Muhafazhoh mingguan,
tamrin (ulangan) tiap malam Senin, musyawarah kitab Fathul Mu’in, Fathul Qorib,
al- Mahalli, koreksian kitab, muhafazhoh Akhirussanah dan kegiatan- kegiatan
lainnya yang kesemuanya itu demi kelancaran proses belajar mengajar dan
meningkatkan kwalitas siswa. Tampuk kepemimpinan MHM yang di tahun 2011 ini
dipegang oleh KH. A. Habibulloh Zaini, memiliki jumlah siswa sebanyak 5.749.
Dan sebagai lembaga pendidikan yang besar, sudah selayaknya MHM memiliki
gedung-gedung yang sangat diperlukan sebagai fasilitas penunjang kegiatan
belajar mengajar. Gedung al-Ikhwan Gedung tertua ini dibangun tahun 1956 M.
dibawah pengawasan langsung KH. Marzuqi Dahlan dan memiliki dua lantai. Lantai
dasar digunakan sebagai asrama santri (Blok ’N’) dan lantai dua digunakan
sebagai ruang belajar mengajar. Tahun 2001, lantai dua ini beralih fungsi
menjadi kantor pusat Lajnah Bahtsul Masa-il (LBM) Pondok Pesantren Lirboyo.
Gedung al-Ihsan Dibangun secara bertahap mulai tahun 1972-1977 M. Memiliki tiga
lantai; lantai dasar dan lantai dua memiliki enam ruang kelas, sedangkan lantai
tiga merupakan auditorium (lantai dua dan tiga gedung ini menggunakan kayu
jati). Namun seiring perkembangan jumlah santri yang kian bertambah, lantai
tiga ini digunakan sebagai ruang kelas. Gedung yang merupakan salah satu “cagar
budaya” Lirboyo ini merupakan saksi bisu bagi setiap tamatan MHM. Gedung
al-Barokah Dibangun tahun 1986 M. Kala itu, gedung ini digunakan sebagai tempat
kegiatan belajar mengajar santri putra. Termasuk angkatan purna 2011. Kami
menempati gedung ini saat duduk dibangku kelas V Ibtidaiyah. Namun terhitung
sejak tahun 2005 M., gedung dengan tiga lantai ini menjadi bagian dari PP.
Putri Hidayatul Mubtadi-aat. Gedung al-Ittihad I & II Kedua Gedung ini
memiliki tiga lantai. Gedung al-Ittihad I dibangun tahun 1987 M. dengan
kapasitas 28 ruangan; lantai satu dan dua digunakan untuk 4 kantor, 1 lab
komputer, dan 17 ruangan untuk asrama santri. Untuk lantai tiga yang terdiri 6
ruang, digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar. Sedangkan al-Itihad
II dibangun tahun 1992 M. dengan kapasitas 12 ruang kelas dan diresmikan oleh
Menteri Agama RI, Prof. DR. Quraisy Shihab tanggal 08 Mei 1998. Gedung
al-Ikhlas Menghadap ke timur, gedung tiga lantai ini dibangun tahun 1993 M.
dengan kapasitas 18 ruangan kelas. Selain untuk tempat belajar mengajar, gedung
ini juga digunakan untuk kegiatan jam’iyyah Himpunan Pelajar dari berbagai daerah.
Gedung al-Muhafazahoh Gedung yang memanjang dari utara ke selatan dengan enam
buah pintu ini dibangun tahun 1994 M. tanpa sekat. Awalnya gedung ini khusus
digunakan sebagai tempat kegiatan lalaran (menghafal nazhom). Gedung ini pula
yang saat itu menjadi pusat kegiatan santri, seperti Jam’iyyah atau acara-acara
seminar, Rapat Besar M3HM. Tahun 2002 M. gedung ini disekat menjadi 6 ruang.
Selain digunakan sebagai tempat lalaran, gedung yang berada di tengah-tengah
asrama santri ini juga digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar
(kelas SP II). Gedung an-Nahdloh Gedung ini dibangun tahun 1998 M. dengan
jumlah 29 lokal. Lantai bawah paling utara digunakan untuk kantor M3HM, 7 lokal
digunakan untuk aula, lantai II sebelah utara sebagai kantor pusat kelas II dan
III Aliyah, sedangkan kegiatan belajar mengajar MHM menempati 21 lokal. Majelis
Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Majelis Musyawarah Madrasah hidayatul
Mubtadi-ien (M3HM) adalah sebuah lembaga dibawah naungan MHM, yang diberi
amanat khususnya untuk menangani musyawarah (diskusi) siswa MHM. Hal ini sangat
diperlukan untuk menunjang pemahaman, pendalaman dan pengembangan materi
pelajaran di MHM, sehingga keberadaan M3HM sangat diperlukan. Dalam
perkembangannya M3HM kemudian juga menangani beberapa pelajaran ekstrakurikuler
dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, untuk ikut serta mengembangkan daya
kreatifitas siswa. Namun, mengingat arti pentingnya musyawarah dalam
meningkatkan kwalitas sumber daya manusia, sebagian aktifitas M3HM dihilangkan
agar lebih memfokuskan tugas untuk menangani musyawarah. Keberadaan M3HM
sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1947 M. oleh KH. Zamroji dari Kencong,
Pare, Kediri. Pada awalnya, peserta yang mengikuti musyawarah tak kurang dari
90 orang. Kemudian MHM mewajibkan siswanya yang berdomisili di pondok untuk
mengikutinya, dan ternyata bisa berjalan lancar sampai sekarang. Tahun 1955 M.
M3HM berdiri dengan nama PPHM (Persatuan Pelajar Hidayatul Mubtadi-ien) sebagai
respon dari perkembangan IPNU di tanah air. Tepatnya pada tahun 1955, Tholhah
Mansur (mahasiswa UGM) dan Bahtiar Sutiono (pelajar ST Nganjuk) utusan dari
pengurus IPNU pusat, sowan kepada KH. Mahrus Aly agar di Lirboyo didirikan
IPNU. Namun, karena keberadaan IPNU sendiri belum diketahui oleh pesantren dan
yang sowan KH. Mahrus Aly adalah delegasi non pesantren, maka MHM mendirikan
organisasi pelajar sendiri. Akhirnya, berdirilah PPHM yang hampir sama dengan
OSIS dan tidak berafiliasi kepada IPNU. Sementara yang ditunjuk sebagai ketua
pada waktu itu adalah Agus Ali bin Abu Bakar, putra dari KH. Abu Bakar dari
Bandar Kidul, Kediri. Pada awal berdirinya, PPHM belum mempunyai arah dan tugas
yang pasti. Sementara itu musyawarah yang telah berjalan saat itu belum ada
wadah yang menanganinya. Akhirnya, pengelolaanya diberikan kepada PPHM. Pada
tahun 1958 M. organisasi ini mengubah namanya menjadi Majelis Musyawarah
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (M3HM) yang kala itu diketuai oleh Abdul Ghoni
Ali dari Pasuruan. Mulai tahun ini pula kepengurusan sudah tidak lagi merangkap
mengajar di MHM, namun dipegang oleh siswa anggota musyawarah dengan bimbingan
pengajar yang terkumpul dalam dalam Dewan Pengurus M3HM. Dalam perkembangan
selanjutnya, M3HM membawahi Pengurus Pusat Kelas (PPK) dan Pengurus Lokal Kelas
(PLK) . Tahun 1975 M. M3HM menyusun AD/ART dan hingga sekarang susunan
kepengurusan yang dibentuk pada awal berdirinya tetap dipertahankan, hanya saja
ditambahkan seksi-seksi yang diperlukan sesuai kebutuhan. Kegiatan M3HM selain
mengkoordinir musyawarah dan muhafazhah, juga bertugas memfasilitasi santri
membuat Kartu Tanda Keluarga (KTK) PP. Lirboyo. Selain itu, M3HM juga
mengkoordinir kegiatan ekstrakurikuler yang berupa jamiyah nahdliyyah dan
penataran keroisan. Dalam seminar jam’iyah nahdliyyah M3HM mendatangkan
tutor-tutor handal dan berpengalaman. Tema yang diangkat pun bukan hanya khusus
tema-tema keagamaan, namun juga masalah sosial kemasyarakatan, diantaranya
manajemen organisasi, leadership, politik, ke-NU-an, dan lain-lain. Fungsi
pokok kegiatan ini adalah sebagai media pembekalan bagi santri agar kelak lebih
siap ketika bermasyarakat. Kegiatan ini sempat ditiadakan tahun 2005 karena
berbagai pertimbangan, kemudian atas intruksi dari KH. Ahmad Idris Marzuqi
kegiatan ini diagendakan kembali satu kali dalam setahun. Sedangkan kegiatan
penataran keroisan difungsikan untuk memberikan bekal dan lebih memantapkan
siswa/ santri dalam bermusyawarah. Kegiatan ekstra ini diikuti oleh delegasi
dari tiap- tiap lokal. Penataran Keroisan ini di bagi menjadi dua tahap. Tahap
pertama merupakan pembekalan bagi siswa kelas II – V Ibtidaiyyah, dengan materi
dititik beratkan pada pengenalan musyawarah ala Lirboyo. Tahap kedua adalah
pembekalan musyawarah menuju Bahtsul Masa- il. Pada tahap ini yang menjadi
peserta penataran adalah perwakilan siswa kelas VI – III Tsanawiyyah. Selain
kegiatan- kegiatan ini, M3HM juga memberi Sekilas Majalah Dinding Lirboyo
Memasuki era 80an, makin banyak saja santri yang menimba ilmu di Lirboyo. Demi
menjaga karakteristiknya sebagai pesantren salaf, Lirboyo terbilang menutup
diri dari dunia luar. Itu dibuktikan pada tahun 1985, pihak pesantren gencar
melarang santrinya membaca koran dan majalah. Dengan program itu, diharapkan
para santri fokus melakukan kegiatan belajar. Namun begitu, Lirboyo tetap memandang
perlu menjaga hubungan baik dengan pihak luar. Supaya setelah para santri
merampungkan studinya, mereka sudah mengenal dunia luar. Setidaknya mereka
mengerti dengan medannya ketika telah kembali ke kampung halaman. Berlandaskan
hal itu, pada 17 Agustus 1985 pesantren Lirboyo ikut serta dalam Pameran
Pembangunan Kodya Kediri. Dalam pameran yang bertempat di alun-alun Kediri,
Lirboyo menampilkan berbagai macam karya. Termasuk membuat majalah dinding,
meskipun waktu itu di dalam pondok sendiri belum ada. Baru seusai pameran,
gagasan membuat majalah dinding muncul di benak para santri. Adalah sosok
Fadloli el Munir, santri asal Jakarta (Pengasuh Pondok Pesantren Ziyadatul
Mubtadi-en, Cakung, Jakarta Timur, Sekaligus ketua Forum Betawi Rempug, wafat pada
selasa, 29 Maret 2009), waktu itu menjabat Ketua Umum Majelis Musyawarah
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (M3HM), yang menggebu untuk merealisasikan
gagasan pembentukan majalah dinding di Lirboyo. Gagasan itu menimbulkan
kontraversi dikalangan pimpinan Lirboyo, sulit sekali mencetuskan kata sepakat.
Pendapat yang kontra menganggap naïf atas usulan itu. Namun Kang Fadloli tidak
pernah menyerah. Ia tetap gigih memperjuangkan gagasannya. Dengan kecerdasan
dan sifat kerasnya (begitulah informasi yang kami dapat), ia menjelaskan bahwa
dengan majalah dinding santri Lirboyo justru diajak meningkatkan gairah
belajar, disamping mengembangkan bakat tulis menulisnya. Akhirnya perjuangan
Kang Fadloli membuahkan hasil. Dengan dukungan Bapak Marwan Masyhudi, Mudier
(kepala) Madrasah Lirboyo saat itu, gagasannya mendapat lampu hijau, walau
secara resmi belum mendapat surat izin penerbitan. Dan tepat pada 9 September
1985, Sidang Redaksi pertama majalah dinding digelar. Fadloli ditampuk sebagai
Pimpinan Redaksi, dibantu Nur Badri, Ma’ruf Asrori (pemilik penerbitan
Khalista, Surabaya), Bastari Alwi, Sahlan Aidi, Badrudin Ilham dan beberapa
santri lainnya. Di awal berdirinya HIDAYAH sederhana dan apa adanya. Naskah-
naskah HIDAYAH hanya direkatkan dengan lem pada papan tanpa kaca. Sehingga,
waktu itu pembaca dengan mudahnya mencorat coret naskah. Bahkan tidak jarang
redaksi kehilangan foto yang dipampang. Walaupun masih tampil apa adanya,
periode 1987-1988 HIDAYAH masuk finalis ke 30 dalam Lomba Koran Dinding
Nasional di Jakarta. Dan pada akhir periode ini, dengan pimpinan redaksi Imam
Ghozali Aro (pernah menjadi wartawan harian Surya) untuk pertama kalinya
HIDAYAH menerbitkan bundel. HIDAYAH mengalami kemajuan dari segi tampilan pada
periode 1988-1989. Naskah aman dari corat coret, karena periode ini papan
HIDAYAH ditutupi kaca. HIDAYAH juga mencatat prestasi menjadi juara IV dan
juara favorit dalam Lomba Koran Dinding se Jawa Timur di Surabaya yang
diselenggarakan harian Jawa Pos, Majalah Nona dan Majalah Kartini. HIDAYAH kembali
berprestasi dalam Lomba Koran Dinding antar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA) se Jawa Timur yang digelar di Surabaya. Dalam lomba yang diselenggarakan
harian Jawa Pos dan Universitas Airlangga (Unair) ini, HIDAYAH menjadi juara
III. Memasuki era 90an, tidak ada lagi lomba-lomba Koran dinding Nasional
maupun Propinsi. Paling tidak sampai tahun 1997 M. HIDAYAH terakhir kali
menunjukkan kebolehannya pada Lomba Koran Dinding Nasional yang diselenggarakan
majalah Kartini, Tempo dan PGRI (tanpa kepanjangan, hanya tertulis PGRI;
sebagaimana tertera pada medali) tahun 1991 M. Waktu itu, HIDAYAH menjadi
satu-satunya Koran dinding Jawa Timur yang meraih prestasi, HIDAYAH berhasil
memboyong juara II. Diusianya yang ke dua puluh lima, HIDAYAH memang minim
dalam hal prestasi. Namun bukan berarti sepi dari perkembangan. Prestasi kurang
karena memang beberapa tahun belakangan, jarang diadakan lomba koran dinding
yang searah dengan HIDAYAH. Yang lebih mementingkan isi dengan tampilan
seadanya. Tahun 2000-an, media- media yang dulu sering menjadi penyelenggara
lomba koran dinding dengan penekanan kreatifitas tulisan, beralih menekankan
pada tampilan. Misalnya Jawa Pos. Jika dulu, HIDAYAH bisa unjuk kebolehan
didepan jurnalis- jurnalis senior, sekarang tidak lagi. Karena lombanya pada
keunikan tampilan, bukan pada tulisan. Yang tentunya memakan biaya lebih. Namun
demikian, di Lirboyo sendiri HIDAYAH tidak sepi dari perkembangan. Kini, saat
Lirboyo telah melewati seabad kelahirannya, HIDAYAH tampil dengan aneka ragam
kreatifitas para santri. Di papan yang terbungkus karpet dengan penutup kaca,
tiap dua minggu sekali, dua puluh dua naskah kreasi santri terpampang dengan
corak yang beragam. Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo (LBM P2L)
Lembaga yang pada Rabu, 9 Muharram 1432 H. / 15 Desember 2010, menggelar
peletakan batu pertama gedung baru yang rencananya berlantai tiga ini, pada
awal kelahirannya bernama Majelis Musyawarah Pondok Pesantren Lirboyo (MM P2L).
Setelah namanya berganti menjadi LBM P2L, bertepatan dengan penutupan bahtsul
masa-il yang bertempat di serambi masjid Lirboyo diakhir tahun 2001, KH. Ahmad
Idris Marzuqi atas nama Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo
(BPK P2L) mengeluarkan maklumat tentang status LBM P2L menjadi badan otonom yang
mempunyai otoritas khusus dalam menentukan dan mengatur segala kebijakannya.
Tujuan pembentukan lembaga ini adalah karena...
sumber:
http://ilhammusthofa.blogspot.com/2013/02/mhm-from-tmtn-2013-khotimah-sistem_18.html?view=flipcard
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar