Minggu, 16 Maret 2014

SEJARAH BERDIRINYA PONDOK PESANTREN LIRBOYO



Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo.  Berdiripada tahun 1910 M.. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul  Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.



Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH. Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.

Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan salahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim)  di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.

Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang

Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana.

Pondok Pesantren Lirboyo

Santri Perdana dan Pondok Lama

Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.

Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman,  di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.

 Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo

Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana  ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.

Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap  sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.

Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.

Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M.     Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.

Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah.

Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.

Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M.

Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap.  Bahkan sampai kini bila berjama'ah sholat Jum'at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum.

Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.


SEJARAH BERDIRINYA MADRASAH HIDAYATUL MUBTADI-IEN
PONDOK PESANTREN LIRBOYO KOTA KEDIRI

Sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Lirboyo, yang dikenal selama ini adalah sistem Klasikal dan sistem Klasik (bandongan, sorogan dan wethon). Sistem klasik diajarkan di Pondok Pesantren Lirboyo sebelum berdirinya  Madrasah Hidayatul  Mubtadi-ien tepatnya sejak berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, yaitu 1910 Masehi. Sementara sistem klasikal dimulai sejak berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien tahun 1925 Masehi hingga sekarang.

Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien berdiri bermula dari gagasan Jamhari seorang santri senior asal Kaliwungu Kendal Jawa Tengah. Gagasan tersebut dilaksanakan setelah mendapat restu dari Romo KH. Abdul Karim, kemuadian diikuti oleh Mas Syamsi asal Gurah Kediri dan Mas Syamsi orang yang pertama memasang papan tulis disetiap kelas sebagai sarana untuk menulis dan menerangkan pelajaran. Dan saat itu secara resmi, Madrasah  yang baru lahir itu diberi nama “Hidayatul Mubtadi-ien”

Berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ini sangat direstuhi oleh Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim, sehingga beliau dawuh kepada semua santri “ SANTRI-SANTRI KANG DURUNG BISO MOCO LAN NULIS KUDU SEKOLAH “ (para snatri yang belum bisa membaca dan menulis harus mengikuti sekolah).

Tujuan berdirinya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien

1.      Dengan adanya sistem yang sederhana (klasikal) dapat meningkatkan mutu pendidikan.
2.      Menyesuaikan pada tingkat kebutuhan dan kemampuan para santri.
3.      Lebih intensif dalam mendidik dan membentuk kepribadian santri.

Kendala-kendala dalam tahun-tahun pertama

Dalam tahun pertama berdiri Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien ternyata mengalamai banyak kendala yang menyebabkan keadaan makin lama makin memburuk Karena pada waktu itu kurang berminatnya santri  untuk memasuki pendidikan Madarasah karena madrasah merupakan sistem pendidikan yang masih asing, akhirnya setelah berjalan kurang lebih enam tahun Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kevakuman ditengah jalan.

Meskipun demikian, jangka waktu selama 6 tahun terhitung sejak tahun 1925 sampai tahun 1931 itu menghasilkan beberapa pengalaman yang cukup berharga yaitu :

1. Madrasah sudah terbagi menjadi bebrapa lokal

2. Beberapa guru dan pembimbing diantara Ustadz Sanusi (dari bangil) Ustadz Syairozi (dari Perak) Kyai Bahri (dari kediri) dan lain-lain

Setalah mandek selama dua tahun tepatnya  tahun 1931 M. sampai tahun 1933M.        KH. Jauhari menantu Hadrotus Syaikh Romo KH. Abdul Karim bersama kepala Pondok pesantren Lirboyo yang kala itu dijabat Oleh K. Kholil asal Melikan Kediri serta KH. Faqih Asy’ari asal Sumber Pare Kediri menghidupkan kembali Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien. Dan madrasah dibuka kembali pada malam Rabu bulan Muharrom 1353 H. yang bertepatan dengan tahun 1933 M. Dan saat itu setiap siswa ditarik sumbangan 5 Sen setiap bulan.

Perlu diketahui, bahwa Madrasah pada masa itu masuk malam hari yaitu ba’dal Maghrib dan dibagi dalam 8 (delapan) kelas, 3 kelas untuk Sifir (persiapan), yang terdiri dari Sifir Awal, Sifir Tsany dan Sifir Tsalis. Sedangkan 5 kelas dipergunakan untuk tingkat Ibtidaiyyah yang terdiri dari kelas I, kelasII, kelas III, kelas IV, dan kelas V kelas.

Sedangkan kurikulum yang diajarkan pada tingkat sifir adalah mata pelajaran dasar semacam pelajaran menulis huruf Arab ( Khoth) pelajaran membaca Al-qur’an, tajwid dan pelajaran Fiqh ibadah tahap permulaan. Sedangkan untuk kelas yang lebih tinggi, pelajarannya pun ditingkatkan sesuai dengan tingkatan kelasnya, dan untuk tingkatan yang paling tinggi pelajaran ketika itu adalah Al Jauharul Maknun.

Pada dasarnya Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien semenjak berdirinya memberikan porsi lebih banyak untuk mata pelajaran Ilmu Nahwu dan shorof , sehingga menjadi ciri khas  tersendiri bagi Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.

Ketika masa Penjajahan Jepun

Jabatan kepala Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien  yang semula dijabat oleh HK. Faqih Asy’ari, kemudian pada tahun 1942 diserahterimakan kepada KH. Zamroji, sebagai kepala Madrasah yang baru. Dan ditahun itu pula Jepang dengan semboyannya “GOSPEL ANDA GLORImulai menjajah bangsa Indonesia tercinta serta menguras seluruh kekayaan bangsa Indonesia, sehingga pada saat itu sulit untuk mencari sandang dan pangan. Sejak saat itu pula Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien yang semual masuk malam hari ba’da (setelah) Maghrib dirubah menjadi siang hari, karena untuk mendapatkan bahan bakar minyak sewbagai penerangan saat itu sangat sulit, hal ini berlangsung hingga tahun 1945. Dan ketika itu berkembangan Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien  menurun secara drastis. Jumlah siswa yang sebelumya mencapai 350 siswa lebih, dimasa pendudukan Jepang turun menjadi 150 siswa. Dari jumlah itupun yang bisa menyelesaikan studinya hanya sedikit sekali, bahkan pernah terjadi hanya 5 siswa yang bisa menyelesaikan pendidikan terakhir.

Setelah Merdeka

Setelah Jepang bertekuk lutut kepada sekutu bersamaan dengan dikumandangkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945, barulah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami kemajuan yang cukup mengembirakan dengan semakin banyak siswa yang berdatangan untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren Lirboyo.

Dua tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1947 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien mengalami pembaharuan dengan disusunnya tingkat jenjang pendidikan. Yang semula merupakan sifir dan Ibtidaiyyah menjadi Ibtidaiyyah dan tsanawiyah adapun kulikulumnya masih mengunakan kurikulum lama. Dan pada tahun 1947 ini pula didirikan lembaga baru yang berupa Madrasah Mualimin atas gagasan KH. Zamroji yang waktu itu menjadi pengajar/Mustahiq Tingkat Tsanawiyyah, sebagai penyempurnaan, sedangkan waktu sekolah adalah malam hari dengan kurikulum, untuk Fiqh adalah fathul Wahab, Uqudul Juman (Fan Balaghoh), Jami’ul Jawami’ ( Fan Ushul Fiqh).

Masa pembenahan kurikulum

Pada tahun ajaran 1977-1978 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien  menyediakan tingkat Aliyah. Keputusan ini disepakati dalam sidang Panitia kecil Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, yang pada masa itu dipimpin  oleh Bapak Ilham Nadzir.

Dengan terbentuknya pendidikan tingkat aliyah ini, merupakan masa peralihan dari sistem pendidikan model lama menuju sistem modern yang diselaraskan dengan tradisi pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo. Dan pada tahun ini pula jenjang pendidikan disempurnakan untuk Ibtidaiyah 6 Tahun, Tsanawiyah 3 Tahun dan Aliyah 3 tahun.

Pada tahun ajaran 1983-1984 sidang Panitia kecil yang dipimpin KH. Anwar Manshur. Menetapkan penyempurnaan kurikulum dengan menambah kitab Al-Mahalli ( Fan Fiqh ) Jami’ush Shohir (Fan Hadits) dan Jam’ul Jawami’ (Fan Ushul Fiqh) kitab-kitab inilah yang menjadi kitab pelajaran Aliyah, dan kitab yang paling besar yang ada di Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.

Perkembangan terakhir

Perkembangan terakhir kurikulum Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien  setelah tahun 1984 sampai tahun 1997 tidak banyak mengalami perubahan, sampai tahun terakhir 2003 yang dipimpin oleh KH. Habibulloh Zaini.
http://infoduniaaku.blogspot.com/2013/03/sejarah-berdirinya-pondok-pesantren.html 

======

From: tamatan 2013 'Kusnul Khotimah' Sistem pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo diawal berdirinya menggunakan metode salafi, sebuah metode dengan format pengajian weton, sorogan (santri membaca dan mengulas pelajaran langsung dihadapan kiai) dan bandongan (santri menyimak dan memaknai kitab sesuai dengan makna yang dibacakan oleh kiai). Seiring dengan perkembangan PP. Lirboyo dan grafik statistik santri yang terus meningkat setiap tahunnya, sementara metode belajar pada saat itu masih kurang maksimal dalam mengakomodir santri dan kompleksitas materi yang harus dipelajari, adalah sebuah keharusan bagi Lirboyo untuk menerapkan sistem klasikal. Atas inspirasi Jamhari (santri senior yang sepulangnya dari Makkah berganti nama KH. Abdul Wahab), bersama Syamsi dari Gurah Kediri, pada tahun 1925 merintis sistem pendidikan klasikal. Dan atas restu KH. Abdul Karim dengan dawuh, “Santri kang durung biso moco lan nulis kudu sekolah” (Santri yang belum bisa membaca dan menulis harus sekolah), maka berdirilah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM). Metode ini hingga sekarang masih dipertahankan dan terus mengadopsi metode baru yang lebih efektif dan inovatif sesuai perkembangan zaman. MHM Masa Awal Berdirinya sebuah madrasah disebagian besar pesantren pada masa itu merupakan hal yang benar- benar baru, begitu juga PP. Lirboyo. Perjalanan MHM yang dimulai pada tahun 1925 sampai masa sebelum kemerdekaan terus mengalami pasang surut, seperti ketika harus vakum selama dua tahun (1931-1932). Berkat usaha KH. Abdulloh Jauhari (ayahanda Gus Makshum) bersama Kiai Kholil (Ketua PP. Lirboyo saat itu) dari Melikan, Kediri, yang mengajak Kiai Faqih Asy’ari (alumni PP. Tebuireng yang tahu banyak tentang sistem pendidikan klasikal) dari Sumbersari, Pare, Kediri, maka MHM berdiri kembali pada bulan Muharram 1353 H./ 1933 M. Waktu itu, untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, 44 orang siswa yang tedaftar di MHM setiap bulannya dikenai sumbangan sebesar 5 Sen. Sumbangan ini dikoordinir langsung oleh Agus Abdul Qodir dari Banyakan, Kediri. Semenjak itu, MHM menggunakan sistem klasikal (sekolah) dengan dua tingkatan, tingkatan Sifir (kelas persiapan) selama 3 tahun dan tingkatan Ibtda’iyah selama 5 tahun. Waktu belajarnya malam hari, mulai puku 19.00-23.00 Wis dengan materi pelajaran berupa ilmu nahwu sharaf, balaghah, dan materi pendukung lainnya seperti tulis menulis, ilmu tajwid, dan al- Quran. Perkembangan MHM sejak kembali aktif sangat signifikan. Grafik siswa terus meningkat meski tidak terlalu pesat, dari 44 siswa menjadi 60 dan meningkat lagi menjadi 70 siswa. Di tahun 1936 M. mulai ada siswa yang berhasil menyelesaikan pelajarannya walaupun hanya 18 siswa. Keadaan ini sangat dimaklumi karena pada masa penjajahan Belanda semua pendidikan diawasi oleh penjajah secara ketat, apalagi pendidikan di pondok pesantren. Terlebih setelah penjajah Belanda digantikan oleh Jepang, keadaan ekonomi Indonesia semakin tak menentu. Hal ini berdampak terhadap perkembangan MHM. Waktu sekolah yang tadinya malam diganti siang, karena waktu itu bahan bakar untuk penerangan sangat sulit didapatkan, dan kalaupun ada harganya teramat mahal. Jumlah siswa yang pada masa penjajah Belanda mencapai 350 siswa, menjadi hanya 150 saja pada masa penjajah Jepang. Setelah Jepang hengkang, kondisi itu tetap berlangsung, bahkan pernah hanya 5 siswa yang bisa tamat belajar di MHM. MHM Masa Perkembangan Pada tahun 1947 M. MHM merombak sistem pendidikannya. Untuk tingkat Sifir diganti dengan tingkat Ibtidaiyah (4 tahun) dan tingkat Ibtidaiyah menjadi tingkat Tsanawiyah (4 tahun). Di tahun ini pula timbul gagasan dari KH. Zamroji (yang pada waktu itu menjadi guru kelas terakhir tingkat Tsanawiyah) untuk mendirikan tingkatan Mu’allimin (setingkat Aliyah), KH. Abdul Karim menyetujui gagasan tersebut. Sedangkan materi yang diajarkan pada tingkatan Mu’allimin tersebut adalah Fathul Wahab, Uqudul Juman, Jam’ul Jawami’, dan lain-lain. Dirasa belum sempurna, tahun 1949 M., KH. Abdul Lathif asal Kolak, Ngadiluwih, Kediri, yang pada saat itu menjadi Pimpinan MHM mengusulkan agar meteri yang diajarkan di kelas ditetapkan sebagai kurikulum yang baku dalam pembelajaran di MHM. Tahun 1950 M., saat MHM dinahkodai oleh Ali bin Abu Bakar asal Bandar Kidul, Kediri, dan dibantu Yasin asal Ngronggot, Nganjuk, mengusulkan untuk tingkat Ibtidaiyah menjadi 5 tahun dan tingkat Tsanawiyah menjadi 3 tahun serta materi pelajaran Tsanawiyah ditambah fan ilmu Tafsir, Hadis, Falak, ‘Arudl. Semua usulan itu disepakati dan diberlakukan di MHM. Sebagai respon pendidikan luar pondok pesantren, pada tahun 1977-1978 M. Sidang Panitia Kecil yang dipimpin oleh KH. Ilham Nadzir yang dihadiri oleh PP. Lirboyo menetapkan; jenjang tingkat Ibtidaiyah menjadi 6 tahun dan untuk tingkat Mu’allimin dirubah menjadi tingkat Aliyah. Maka sejak itu, jenjang pendidikan Madrasah yang ada dibawah naungan Ponpes Lirboyo adalah tingkat Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), dan Aliyah (3 tahun). Sedangkan untuk materi pelajaran tingkat Aliyah, Sidang Panitia Kecil MHM yang dipimpin oleh KH. Ilham Nadzir pada tahun 1983 M., menetapkan kurikulum untuk tingkat Aliyah adalah Jam’ul Jawami’, al-Jami’us Shoghir, al- Mahalli, ‘Uqudul Juman, dan lain- lain. Karena agenda pendidikan di MHM menggunakan kalender Hijriyah, maka waktu penerimaan siswa baru tidak sama dengan pendidikan nasional yang menggunakan tahun Masehi. Untuk mengantisipasi siswa yang daftar terlambat karena perbedaan kalender tersebut, maka tanggal 25 Juli 1989 MHM membuka tingkatan I’dadiyah/ Sekolah Persiapan (SP). Tingkatan SP ini terdiri dari dua kelas, SP I dan II. SP I (dengan materi pelajaran ‘Awamil Jurjani, Tanwirul Hija dan lainnya) dilaksanakan pagi hari dan diproyeksikan untuk siswa yang akan masuk di kelas II atau III Ibtidaiyah. Sedangkan SP II (dengan materi pelajaran al- Ajurumiyah, Qa’idah Sharfiyah, al- Amtsilatut Tashrifiyah dan lainnya) dilaksanakan pagi hari atau malam hari dengan mempertimbangkan kelas dan gedung yang tersedia. SP II ini diproyeksikan untuk siswa yang akan masuk di kelas IV Ibtidaiyah. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, di kelas ini banyak siswa yang karena pernah belajar di pesantren lain dan ingin meneruskan pendidikannya di MHM, akhirnya masuk ke kelas I Tsanawiyah atau Aliyah melalui tes. Sedangkan materi ujian yang harus dijalani siswa yang ingin masuk kelas I Tsanawiyah diantaranya adalah: Fikih (membaca kitab Fathul Qorib), ujian bab shalat dan mufassholat mulai surat an-Nas sampai surat as-Syamsi, serta hafalan nadzom Alfiyah ibnu Malik 350 bait. Untuk yang ingin masuk tingkat I Aliyah harus menjalani tes dengan materi antara lain: Fikih (membaca kitab Fathul Mu’in), ujian bab shalat dan mufassholat mulai surat an-Nas sampai surat al-‘Ala, serta hafalan nadzom ‘Uqudul Juman sebanyak 350 bait. Untuk menunjang pelajaran di kelas, MHM mengadakan kegiatan ekstrakurikuler berupa Muhafazhoh mingguan, tamrin (ulangan) tiap malam Senin, musyawarah kitab Fathul Mu’in, Fathul Qorib, al- Mahalli, koreksian kitab, muhafazhoh Akhirussanah dan kegiatan- kegiatan lainnya yang kesemuanya itu demi kelancaran proses belajar mengajar dan meningkatkan kwalitas siswa. Tampuk kepemimpinan MHM yang di tahun 2011 ini dipegang oleh KH. A. Habibulloh Zaini, memiliki jumlah siswa sebanyak 5.749. Dan sebagai lembaga pendidikan yang besar, sudah selayaknya MHM memiliki gedung-gedung yang sangat diperlukan sebagai fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar. Gedung al-Ikhwan Gedung tertua ini dibangun tahun 1956 M. dibawah pengawasan langsung KH. Marzuqi Dahlan dan memiliki dua lantai. Lantai dasar digunakan sebagai asrama santri (Blok ’N’) dan lantai dua digunakan sebagai ruang belajar mengajar. Tahun 2001, lantai dua ini beralih fungsi menjadi kantor pusat Lajnah Bahtsul Masa-il (LBM) Pondok Pesantren Lirboyo. Gedung al-Ihsan Dibangun secara bertahap mulai tahun 1972-1977 M. Memiliki tiga lantai; lantai dasar dan lantai dua memiliki enam ruang kelas, sedangkan lantai tiga merupakan auditorium (lantai dua dan tiga gedung ini menggunakan kayu jati). Namun seiring perkembangan jumlah santri yang kian bertambah, lantai tiga ini digunakan sebagai ruang kelas. Gedung yang merupakan salah satu “cagar budaya” Lirboyo ini merupakan saksi bisu bagi setiap tamatan MHM. Gedung al-Barokah Dibangun tahun 1986 M. Kala itu, gedung ini digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar santri putra. Termasuk angkatan purna 2011. Kami menempati gedung ini saat duduk dibangku kelas V Ibtidaiyah. Namun terhitung sejak tahun 2005 M., gedung dengan tiga lantai ini menjadi bagian dari PP. Putri Hidayatul Mubtadi-aat. Gedung al-Ittihad I & II Kedua Gedung ini memiliki tiga lantai. Gedung al-Ittihad I dibangun tahun 1987 M. dengan kapasitas 28 ruangan; lantai satu dan dua digunakan untuk 4 kantor, 1 lab komputer, dan 17 ruangan untuk asrama santri. Untuk lantai tiga yang terdiri 6 ruang, digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar. Sedangkan al-Itihad II dibangun tahun 1992 M. dengan kapasitas 12 ruang kelas dan diresmikan oleh Menteri Agama RI, Prof. DR. Quraisy Shihab tanggal 08 Mei 1998. Gedung al-Ikhlas Menghadap ke timur, gedung tiga lantai ini dibangun tahun 1993 M. dengan kapasitas 18 ruangan kelas. Selain untuk tempat belajar mengajar, gedung ini juga digunakan untuk kegiatan jam’iyyah Himpunan Pelajar dari berbagai daerah. Gedung al-Muhafazahoh Gedung yang memanjang dari utara ke selatan dengan enam buah pintu ini dibangun tahun 1994 M. tanpa sekat. Awalnya gedung ini khusus digunakan sebagai tempat kegiatan lalaran (menghafal nazhom). Gedung ini pula yang saat itu menjadi pusat kegiatan santri, seperti Jam’iyyah atau acara-acara seminar, Rapat Besar M3HM. Tahun 2002 M. gedung ini disekat menjadi 6 ruang. Selain digunakan sebagai tempat lalaran, gedung yang berada di tengah-tengah asrama santri ini juga digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar (kelas SP II). Gedung an-Nahdloh Gedung ini dibangun tahun 1998 M. dengan jumlah 29 lokal. Lantai bawah paling utara digunakan untuk kantor M3HM, 7 lokal digunakan untuk aula, lantai II sebelah utara sebagai kantor pusat kelas II dan III Aliyah, sedangkan kegiatan belajar mengajar MHM menempati 21 lokal. Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Majelis Musyawarah Madrasah hidayatul Mubtadi-ien (M3HM) adalah sebuah lembaga dibawah naungan MHM, yang diberi amanat khususnya untuk menangani musyawarah (diskusi) siswa MHM. Hal ini sangat diperlukan untuk menunjang pemahaman, pendalaman dan pengembangan materi pelajaran di MHM, sehingga keberadaan M3HM sangat diperlukan. Dalam perkembangannya M3HM kemudian juga menangani beberapa pelajaran ekstrakurikuler dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, untuk ikut serta mengembangkan daya kreatifitas siswa. Namun, mengingat arti pentingnya musyawarah dalam meningkatkan kwalitas sumber daya manusia, sebagian aktifitas M3HM dihilangkan agar lebih memfokuskan tugas untuk menangani musyawarah. Keberadaan M3HM sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1947 M. oleh KH. Zamroji dari Kencong, Pare, Kediri. Pada awalnya, peserta yang mengikuti musyawarah tak kurang dari 90 orang. Kemudian MHM mewajibkan siswanya yang berdomisili di pondok untuk mengikutinya, dan ternyata bisa berjalan lancar sampai sekarang. Tahun 1955 M. M3HM berdiri dengan nama PPHM (Persatuan Pelajar Hidayatul Mubtadi-ien) sebagai respon dari perkembangan IPNU di tanah air. Tepatnya pada tahun 1955, Tholhah Mansur (mahasiswa UGM) dan Bahtiar Sutiono (pelajar ST Nganjuk) utusan dari pengurus IPNU pusat, sowan kepada KH. Mahrus Aly agar di Lirboyo didirikan IPNU. Namun, karena keberadaan IPNU sendiri belum diketahui oleh pesantren dan yang sowan KH. Mahrus Aly adalah delegasi non pesantren, maka MHM mendirikan organisasi pelajar sendiri. Akhirnya, berdirilah PPHM yang hampir sama dengan OSIS dan tidak berafiliasi kepada IPNU. Sementara yang ditunjuk sebagai ketua pada waktu itu adalah Agus Ali bin Abu Bakar, putra dari KH. Abu Bakar dari Bandar Kidul, Kediri. Pada awal berdirinya, PPHM belum mempunyai arah dan tugas yang pasti. Sementara itu musyawarah yang telah berjalan saat itu belum ada wadah yang menanganinya. Akhirnya, pengelolaanya diberikan kepada PPHM. Pada tahun 1958 M. organisasi ini mengubah namanya menjadi Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (M3HM) yang kala itu diketuai oleh Abdul Ghoni Ali dari Pasuruan. Mulai tahun ini pula kepengurusan sudah tidak lagi merangkap mengajar di MHM, namun dipegang oleh siswa anggota musyawarah dengan bimbingan pengajar yang terkumpul dalam dalam Dewan Pengurus M3HM. Dalam perkembangan selanjutnya, M3HM membawahi Pengurus Pusat Kelas (PPK) dan Pengurus Lokal Kelas (PLK) . Tahun 1975 M. M3HM menyusun AD/ART dan hingga sekarang susunan kepengurusan yang dibentuk pada awal berdirinya tetap dipertahankan, hanya saja ditambahkan seksi-seksi yang diperlukan sesuai kebutuhan. Kegiatan M3HM selain mengkoordinir musyawarah dan muhafazhah, juga bertugas memfasilitasi santri membuat Kartu Tanda Keluarga (KTK) PP. Lirboyo. Selain itu, M3HM juga mengkoordinir kegiatan ekstrakurikuler yang berupa jamiyah nahdliyyah dan penataran keroisan. Dalam seminar jam’iyah nahdliyyah M3HM mendatangkan tutor-tutor handal dan berpengalaman. Tema yang diangkat pun bukan hanya khusus tema-tema keagamaan, namun juga masalah sosial kemasyarakatan, diantaranya manajemen organisasi, leadership, politik, ke-NU-an, dan lain-lain. Fungsi pokok kegiatan ini adalah sebagai media pembekalan bagi santri agar kelak lebih siap ketika bermasyarakat. Kegiatan ini sempat ditiadakan tahun 2005 karena berbagai pertimbangan, kemudian atas intruksi dari KH. Ahmad Idris Marzuqi kegiatan ini diagendakan kembali satu kali dalam setahun. Sedangkan kegiatan penataran keroisan difungsikan untuk memberikan bekal dan lebih memantapkan siswa/ santri dalam bermusyawarah. Kegiatan ekstra ini diikuti oleh delegasi dari tiap- tiap lokal. Penataran Keroisan ini di bagi menjadi dua tahap. Tahap pertama merupakan pembekalan bagi siswa kelas II – V Ibtidaiyyah, dengan materi dititik beratkan pada pengenalan musyawarah ala Lirboyo. Tahap kedua adalah pembekalan musyawarah menuju Bahtsul Masa- il. Pada tahap ini yang menjadi peserta penataran adalah perwakilan siswa kelas VI – III Tsanawiyyah. Selain kegiatan- kegiatan ini, M3HM juga memberi Sekilas Majalah Dinding Lirboyo Memasuki era 80an, makin banyak saja santri yang menimba ilmu di Lirboyo. Demi menjaga karakteristiknya sebagai pesantren salaf, Lirboyo terbilang menutup diri dari dunia luar. Itu dibuktikan pada tahun 1985, pihak pesantren gencar melarang santrinya membaca koran dan majalah. Dengan program itu, diharapkan para santri fokus melakukan kegiatan belajar. Namun begitu, Lirboyo tetap memandang perlu menjaga hubungan baik dengan pihak luar. Supaya setelah para santri merampungkan studinya, mereka sudah mengenal dunia luar. Setidaknya mereka mengerti dengan medannya ketika telah kembali ke kampung halaman. Berlandaskan hal itu, pada 17 Agustus 1985 pesantren Lirboyo ikut serta dalam Pameran Pembangunan Kodya Kediri. Dalam pameran yang bertempat di alun-alun Kediri, Lirboyo menampilkan berbagai macam karya. Termasuk membuat majalah dinding, meskipun waktu itu di dalam pondok sendiri belum ada. Baru seusai pameran, gagasan membuat majalah dinding muncul di benak para santri. Adalah sosok Fadloli el Munir, santri asal Jakarta (Pengasuh Pondok Pesantren Ziyadatul Mubtadi-en, Cakung, Jakarta Timur, Sekaligus ketua Forum Betawi Rempug, wafat pada selasa, 29 Maret 2009), waktu itu menjabat Ketua Umum Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (M3HM), yang menggebu untuk merealisasikan gagasan pembentukan majalah dinding di Lirboyo. Gagasan itu menimbulkan kontraversi dikalangan pimpinan Lirboyo, sulit sekali mencetuskan kata sepakat. Pendapat yang kontra menganggap naïf atas usulan itu. Namun Kang Fadloli tidak pernah menyerah. Ia tetap gigih memperjuangkan gagasannya. Dengan kecerdasan dan sifat kerasnya (begitulah informasi yang kami dapat), ia menjelaskan bahwa dengan majalah dinding santri Lirboyo justru diajak meningkatkan gairah belajar, disamping mengembangkan bakat tulis menulisnya. Akhirnya perjuangan Kang Fadloli membuahkan hasil. Dengan dukungan Bapak Marwan Masyhudi, Mudier (kepala) Madrasah Lirboyo saat itu, gagasannya mendapat lampu hijau, walau secara resmi belum mendapat surat izin penerbitan. Dan tepat pada 9 September 1985, Sidang Redaksi pertama majalah dinding digelar. Fadloli ditampuk sebagai Pimpinan Redaksi, dibantu Nur Badri, Ma’ruf Asrori (pemilik penerbitan Khalista, Surabaya), Bastari Alwi, Sahlan Aidi, Badrudin Ilham dan beberapa santri lainnya. Di awal berdirinya HIDAYAH sederhana dan apa adanya. Naskah- naskah HIDAYAH hanya direkatkan dengan lem pada papan tanpa kaca. Sehingga, waktu itu pembaca dengan mudahnya mencorat coret naskah. Bahkan tidak jarang redaksi kehilangan foto yang dipampang. Walaupun masih tampil apa adanya, periode 1987-1988 HIDAYAH masuk finalis ke 30 dalam Lomba Koran Dinding Nasional di Jakarta. Dan pada akhir periode ini, dengan pimpinan redaksi Imam Ghozali Aro (pernah menjadi wartawan harian Surya) untuk pertama kalinya HIDAYAH menerbitkan bundel. HIDAYAH mengalami kemajuan dari segi tampilan pada periode 1988-1989. Naskah aman dari corat coret, karena periode ini papan HIDAYAH ditutupi kaca. HIDAYAH juga mencatat prestasi menjadi juara IV dan juara favorit dalam Lomba Koran Dinding se Jawa Timur di Surabaya yang diselenggarakan harian Jawa Pos, Majalah Nona dan Majalah Kartini. HIDAYAH kembali berprestasi dalam Lomba Koran Dinding antar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) se Jawa Timur yang digelar di Surabaya. Dalam lomba yang diselenggarakan harian Jawa Pos dan Universitas Airlangga (Unair) ini, HIDAYAH menjadi juara III. Memasuki era 90an, tidak ada lagi lomba-lomba Koran dinding Nasional maupun Propinsi. Paling tidak sampai tahun 1997 M. HIDAYAH terakhir kali menunjukkan kebolehannya pada Lomba Koran Dinding Nasional yang diselenggarakan majalah Kartini, Tempo dan PGRI (tanpa kepanjangan, hanya tertulis PGRI; sebagaimana tertera pada medali) tahun 1991 M. Waktu itu, HIDAYAH menjadi satu-satunya Koran dinding Jawa Timur yang meraih prestasi, HIDAYAH berhasil memboyong juara II. Diusianya yang ke dua puluh lima, HIDAYAH memang minim dalam hal prestasi. Namun bukan berarti sepi dari perkembangan. Prestasi kurang karena memang beberapa tahun belakangan, jarang diadakan lomba koran dinding yang searah dengan HIDAYAH. Yang lebih mementingkan isi dengan tampilan seadanya. Tahun 2000-an, media- media yang dulu sering menjadi penyelenggara lomba koran dinding dengan penekanan kreatifitas tulisan, beralih menekankan pada tampilan. Misalnya Jawa Pos. Jika dulu, HIDAYAH bisa unjuk kebolehan didepan jurnalis- jurnalis senior, sekarang tidak lagi. Karena lombanya pada keunikan tampilan, bukan pada tulisan. Yang tentunya memakan biaya lebih. Namun demikian, di Lirboyo sendiri HIDAYAH tidak sepi dari perkembangan. Kini, saat Lirboyo telah melewati seabad kelahirannya, HIDAYAH tampil dengan aneka ragam kreatifitas para santri. Di papan yang terbungkus karpet dengan penutup kaca, tiap dua minggu sekali, dua puluh dua naskah kreasi santri terpampang dengan corak yang beragam. Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo (LBM P2L) Lembaga yang pada Rabu, 9 Muharram 1432 H. / 15 Desember 2010, menggelar peletakan batu pertama gedung baru yang rencananya berlantai tiga ini, pada awal kelahirannya bernama Majelis Musyawarah Pondok Pesantren Lirboyo (MM P2L). Setelah namanya berganti menjadi LBM P2L, bertepatan dengan penutupan bahtsul masa-il yang bertempat di serambi masjid Lirboyo diakhir tahun 2001, KH. Ahmad Idris Marzuqi atas nama Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo (BPK P2L) mengeluarkan maklumat tentang status LBM P2L menjadi badan otonom yang mempunyai otoritas khusus dalam menentukan dan mengatur segala kebijakannya. Tujuan pembentukan lembaga ini adalah karena...

sumber: http://ilhammusthofa.blogspot.com/2013/02/mhm-from-tmtn-2013-khotimah-sistem_18.html?view=flipcard



Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top