PENDAHULUAN
Sebelum
kami uraikan mengenai tasawuf modern yang ada pada zaman sekarang ini, maka
lebih baiknya kami dahului beberapa kontek dasar untuk menunjang itu semua, Banyak Al-Quran yang mengisyaratkan bahwa
pelaksanaan ibadah – pengalaman fiqih – yang bersifat habl minallah baik dalam
kontek kejiwaan maupun material, lebih ditempatkan sebagai simbolisme meski
tetap wajib dilaksanakan. secara rinci bahwa substansi pelaksanaan ibadah yang
terdiri dari iman, amal dan ikhsan adalah ketaqwaan kepada Allah SWT.
Dalam rumusan
Iman. Islam dan ihksan, sebagaimana dalam sabda nabi saw,
“Dari Umar bin Al-Khathab
radhiallahu 'anh, dia berkata: ketika kami tengah berada di majelis bersama
Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami seorang laki-laki
yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat padanya
tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang
mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada
lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya
ia berkata," Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam "
Rasulullah menjawab,"Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada
Tuhan selain Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, engkau
mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan
mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya."
Orang itu berkata,"Engkau benar," kami pun heran, ia bertanya lalu
membenarkannya Orang itu berkata lagi," Beritahukan kepadaku tentang
Iman" Rasulullah menjawab,"Engkau beriman kepada Alloh, kepada para
Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan Nya, kepada hari Kiamat dan
kepada takdir yang baik maupun yang buruk" Orang tadi berkata,"
Engkau benar" Orang itu berkata lagi," Beritahukan kepadaku tentang
Ihsan" Rasulullah menjawab,"Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan
engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti
melihatmu." Orang itu berkata lagi,"Beritahukan kepadaku tentang
kiamat" Rasulullah menjawab," Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu
dari yang bertanya." selanjutnya orang itu berkata lagi,"beritahukan
kepadaku tentang tanda-tandanya" Rasulullah menjawab," Jika hamba
perempuan telah melahirkan tuan puterinya, jika engkau melihat orang-orang yang
tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala kambing,
berlomba-lomba mendirikan bangunan." Kemudian pergilah ia, aku tetap
tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah berkata kepadaku, "Wahai Umar,
tahukah engkau siapa yang bertanya itu?" Saya menjawab," Alloh dan
Rosul-Nya lebih mengetahui" Rasulullah berkata," Ia adalah Jibril,
dia datang untuk mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu"
Secara
teologis, manusia adalah mahkluk allah, ia adalah ciptaannya yang ditunjuk
sebagai hamba dan kholifahnya di muka bumi ini. Manusia diciptakan oleh allah
daria tanah liat, allah berfirman:
7. yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya
dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
71. (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat:
"Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah".
Di
samping jasad, manusia juga mempunyai ruh. Allah berfirman:
29. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniup kan
kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
LATAR BELAKANG
Karena semakin majunya
peradapan masyarakat, entah dalam dunia bisnis, dunia kerja, sosial
kemasyarakatan maupun kehidupan kita yang majmuk, disitu kita pasti akan
menemukan kejenuhan tiada tara, kekosongan
jiwa, yang tidak akan tau dari mana sumbernya, maka dengan sedikit pandangan
dari kami memungkinkan kesemuanya nanti kembali kepada hasil yang diinginkan.
Dan juga gencarnya
ajaran-ajaran yang memisahkan dunia dengan agama, sehingga proses interaksi
sosial tidak ada batasnya, sehingga keduniawian adalah kebahagiaan yang
tiadatara. Tidak itu saja kemajuan di Era ini memang banyak melupakan
konsep-konsep Agama, mendewakan harta benda, memuja sang Artis, dan lain
sebagainya.
Mau lari kemana mereka
kalau sudah jenuh melakukan semua kegiatan didunia tanpa ada manfaat malah
menjauhkan diri dari sang khaliq, adalah ketidakbebasan jikalau terus dikekang
oleh hawa nafsu, mau lari kemana mereka itu?, tidak lain adalah bunuh diri,
menyepi, dan melapiaskan nafsu hinanya.
Islam adalah agama
rahmatan lil’alamin, tidak pandang bulu, dari mana asalmu, mengajarkan semua
konsep kehidupan mulai dari A – Z, tinggal kita mau mencari atau tidak.
Masyarakat modern dewasa ini tumbuh dari pengembangan kebudayaan Yunani purba yang puncaknya ajaran filsafat rasional yang menyebar ke timur tengah lantaran pengembangan dan penaklukan raja Alexander yang agung. Kebudayaan Yunani Purba memang sangat unik, karena dai sinilah muncul pemikiran filsafat yang rasional dan ilmiah, maka dalam perkembangan filsafat dan kebudayaan yunani purba ini dinamakan zaman klasik atau zaman embrio dari masyarakat modern dewasa ini. Yang mana memunculkan pemikiran-pemikiran yang rasional ilmiah.
Saya mencoba mengambil arti kutipan S. Takdir Ali Syahbana, mengenai perbedaan yng fundamental antara filsafat rasional dari barat dan filsafat kebatinan dari timur ( India, Persia, Cina, Kejawen, Tasawuf dan sebagainya). Pokok perbedaan itu antara lain :
1. Barat memandang manusia bukan alam dan berbeda dengan alam. Menurut timur manusia itu sebagai mikrokosmos (jagat cilik).
2. Budaya barat mengakui adanya hukum alam yang mekanistik yang perlu dikaji dan dimanfaatkan bagi pengembangan cara berfikir dan ilmu pengetahuan. Dan sebaliknya dalam filsafat kebatinan dan mistik timur tidak memperdulikan adanya hukum alam.
3. Filsafat barat menggerakkan manusia untuk mengkaji rahasia-rahasia hukum alam untuk memanfaatkan bagi kemajuan hidup manusia. Sedangkan filsafat timur menggerakkan kegandrungan manusia untuk menyingkap rahasia-rahasia alam ghaib yang di balik alam nyata ini.
Melihat kutipan diatas, bahwa yang punya pemikiran yang sejajar dan seirama dengan budaya barat adalah agama yahudi, Kristen dan islam. Terutama Islam Sunni (Islam Sar'i) bukannya Islam Sufi.
PENGEMBANGAN DALAM ILMU TASAWUF
Ajaran tasawuf menurut kodratnya adalah ekstrim kerohanian dan anti kritik penalaran kerohanian. Akhirnya dalam pengembangannya mampu mendominasi alam pikiran islam sejak runtuhnya bagdad dan cordova.
Tasawuf itu juga tidak berhenti pada masalah ukhrawi saja, tapi masalah
sosial, budaya, dan kultur masyarakat juga menjadi segmen yang perlu
dipertimbangkan, dan juga tidak lepas dari benturan-benturan politik dan
sifat-sifat keduniawian.
Baiklah membicarakan Tasawuf pasti berkaitan sekali dengan yang dinamakan
Thoriqoh, dan saya tidak akan memihak pada salah satu thoriqoh yang ada di
Indonesia, tapi mencoba menggali dari semua yang menurut saya bagus tentang
penyucian hati dalam khasanah keilmuan Agama Islam.
Dengan keterangan diatas saya mencoba menguraikan sesuatu yang terkandung
dalam islam itu sendiri.
1.
Keberadaan Allah
Al-Qur`an
menginformasikan kepada kita tentang kebenaran sifat-sifat Allah,
“Allah,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang hidup kekal lagi
terus-menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur,
Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada dapat memberi syafaat di
sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan
di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan
Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi
Mahabesar.” (al-Baqarah: 255)
Memahami
kekuasaan Allah swt. dengan baik merupakan ikatan awal dalam rantai keimanan.
Sesungguhnya, seorang mukmin akan meninggalkan pandangan masyarakat yang
menyimpang tentang kekuasaan Allah swt. dan menolak keyakinan sesat dengan
mengatakan, “Dan bahwasanya Orang yang kurang akal dari kami dahulu selalu
mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.” (al-Jin: 4)
Kaum
muslimin memercayai Allah swt. sesuai dengan penjelasan Al-Qur`an. Mereka
melihat tanda-tanda keberadaan Allah pada dunia nyata dan alam gaib, kemudian
mulai memercayai keagungan seni dan kekuasaan Allah.
Akan tetapi,
jika umat berpaling dari Allah serta gagal bertafakur kepada Allah dan
ciptaan-Nya, mereka akan mudah terpengaruh oleh keyakinan-keyakinan yang
menyesatkan pada saat ditimpa kesusahan. Allah menyebutnya sebagai bahaya yang
potensial, dalam surah Ali Imran: 154, mengenai umat yang menyerah dalam
berperang, “... sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri
mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti
sangkaan jahiliah....”
Seorang
muslim seharusnya tidak melakukan kesalahan seperti itu. Karena itu, dia harus
membebaskan hatinya dari segala sesuatu yang dapat memunculkan sangkaan
jahiliah dan menerima keimanan yang nyata dengan segenap jiwa sebagaimana
penjelasan dalam Al-Qur`an.
2.
Taqwa kepada Allah
Sesuai Kesanggupan
Bertaqwa
kepada Allah adalah awal dari segalanya. Semakin tebal ketaqwaan seseorang
kepada Allah, semakin tinggi kemampuannya merasakan kehadiran Allah. Al-Qur`an
memberikan contoh beberapa rasul yang dapat kita bandingkan dengan diri kita
sehingga paham bahwa kita dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt..
Allah swt.
menginginkan manusia agar bertaqwa dengan sebenar-benarnya. Berbagai cara untuk
menunjukkan penghormatan kepada Yang Mahakuasa dapat dilakukan, sebagai contoh:
berjalan di jalan Allah, melakukan perbuatan baik, mengikuti contoh-contoh yang
diberikan para rasul, menaati serta memperhatikan ajaran-ajaran Allah, dan
sebagainya.
“Maka
bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta
taatlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (at-Taghaabun: 16)
3.
Takdir
Tidak ada
satu pun di alam ini yang terjadi secara kebetulan, sebagaimana tertuang dalam
Al-Qur`an, “... Allah mengatur urusan (makhluk-Nya)….” (ar-Ra’d: 2)
Dalam ayat lain dikatakan, “… dan tiada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula)....” (al-An’aam: 59) Dialah Allah
Yang menciptakan dan mengatur semua peristiwa, bagaimana mereka berawal dan
berakhir. Dia pulalah yang menentukan setiap gerakan bintang-bintang di jagat
raya, kondisi setiap yang hidup di bumi, cara hidup seseorang, apa yang akan
dikatakannya, apa yang akan dihadapinya, Kaum mukminin seharusnya menyadari
kenyataan yang agung ini. Sebagai konsekuensinya, sudah seharusnya mereka tidak
berbuat kebodohan seperti orang-orang yang menolak kenyataan dalam hidupnya.
Dengan memahami bahwa hidup itu hanya ”mengikuti takdir”, mereka tidak akan
pernah kecewa atau merasa takut terhadap apa pun. Mereka menjadi yakin dan
tenang seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. yang bersabda kepada
sahabatnya, “Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita.”
(at-Taubah: 40) ketika sahabatnya itu merasa khawatir ditemukan para pemuja
berhala yang bermaksud membunuh mereka ketika bersembunyi di dalam gua.
4.
Iman kepada Allah
Karena Allah
adalah pembuat keputusan, setiap kejadian merupakan anugerah bagi makhluk-Nya:
segala sesuatu telah direncanakan untuk kebaikan agama dan untuk kehidupan
orang yang beriman di akhirat kelak. Kaum mukminin dapat merujuk pada
pengalaman mereka untuk melihat bahwa ada sesuatu yang bermanfaat bagi diri
mereka pada akhir sebuah kejadian. Untuk alasan tersebut, kita harus selalu
memercayai Allah.
Dialah Yang
Maha Esa dan Maha Melindungi. Seorang mukmin harus bersikap sebagaimana yang
Allah inginkan: memenuhi tanggung jawabnya kemudian berserah diri pada Allah
dengan hasilnya. Ayat berikut mengungkapkan misteri ini, yang tidak diketahui
oleh orang-orang yang ingkar.
“...
Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya, Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya.
Sesungguhnya, Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (ath-Thalaaq:
2-3)
5.
Bertafakur
Di dalam
Al-Qur`an dijelaskan bahwa orang-orang yang ingkar kepada Allah swt. adalah
orang yang tidak mengenal ataupun menyadari adanya tanda-tanda Allah. Yang
membedakan seorang muslim dengannya adalah kemampuannya untuk melihat
tanda-tanda tersebut dan bukti-buktinya. Dia tahu bahwa semua ini tidak
diciptakan dengan sia-sia dan dia pun dapat menyadari kekuatan serta keagungan
seni Allah di mana pun dan mengetahui cara memuja-Nya. Dialah yang termasuk
orang yang berakal.
“Sesungguhnya, Allah menumbuhkan butir
tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang
mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat)
demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling?” (al-An’aam:
95)
Biji-bijian
ini merupakan salah satu dari sejumlah tanda-tanda ciptaan Allah swt. di alam
ini. Jika manusia mulai berpikir tidak hanya dengan akal mereka, tetapi juga
dengan hati mereka dan bertanya sendiri, “mengapa dan bagaimana”, mereka akan
mampu memahami bahwa semua yang ada di alam ini merupakan bukti keberadaan dan
kekuasaan Allah.
6.
Berhati-hati
Allah
menciptakan alam ini dengan disertai tanda-tanda penciptaan-Nya. Akan tetapi,
orang yang mengingkari-Nya tidak dapat memahami kenyataan tersebut karena
mereka tidak memiliki kemampuan untuk “melihat” tujuan penciptaan ini.
Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur`an, “... mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah)....” (al-A’raaf: 179) Secara kasat mata, mereka tidak
memiliki kearifan dan pemahaman untuk menanggapi kenyataan yang ada ini.
Orang-orang
beriman tidak termasuk kategori “buta” ini. Mereka menyadari dan menerima
kenyataan bahwa seluruh alam ini diciptakan Allah swt. dengan tujuan dan maksud
tertentu. Keyakinan ini marupakan langkah awal dari keimanan seseorang. Seiring
dengan meningkatnya keyakinan dan kearifan, kita akan dapat mengenali setiap
detail ciptaan Allah.
Dalam
tradisi Islam, ada tiga langkah pemacu keimanan: Ilmul-yaqin
(mendapatkan informasi), Ainul-Yaqin (melihat), dan Haqqul-Yaqin
(mengalami/merasakan).
Hujan dapat
dijadikan contoh dari ketiga langkah ini. Ada tiga tahapan dalam mengetahui
tentang turunnya hujan.
Tahap
pertama (Ilmul-Yaqin), ketika seorang duduk di dalam rumah yang
jendelanya tertutup, kemudian ada yang datang dari luar memberitahukan padanya
bahwa hujan turun dan dia memercayainya.
Tahap kedua
(Ainul-Yaqin) adalah tahap kesaksian. Orang tersebut menuju jendela,
membuka tirai, dan melihat hujan turun.
Tahap ketiga
(Haqqul-Yaqin). Dia membuka pintu, keluar rumah, dan berada “di bawah”
siraman air hujan.
Berhati-hati
adalah bentuk tindakan dari do’a untuk beralih dari tingkatan Ilmul-Yaqin
menuju tingkatan Ainul-Yaqin, bahkan lebih.
Upaya
melihat tanda-tanda keberadaan Allah dan tidak menjadi “buta” seperti orang
yang ingkar, membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Di dalam Al-Qur`an, orang
beriman diseru untuk mengamati dan memperhatikan tanda-tanda keberadaan Allah
di sekitar mereka dan ini hanya mungkin bisa dilakukan bila dilakukan dengan
berhati-hati.
Karena itu,
seorang muslim harus menjaga pikiran dari memikirkan hal-hal yang tidak
berguna, tidak pernah kehilangan arah dengan kejadian-kejadian di sekitarnya,
dan harus selalu menjaga pikirannya.
7.
Kebaikan pada Semua
Peristiwa
Segala
sesuatu diciptakan dengan maksud dan tujuan tersembunyi. Bersama-sama dengan
tujuan tersembunyi ini ada beberapa keuntungan bagi seorang mukmin di dalam
semua peristiwa. Hal ini dikarenakan Allah berada di sisi orang-orang yang
beriman dan tidak pernah mengecewakan mereka.
Pada
awalnya, perjuangan hidup tampak tidak menyenangkan. Akan tetapi, seorang
muslim harus mengerti bahwa kejadian yang tampaknya menakutkan, contohnya,
persekongkolan orang kafir melawan orang beriman, akan berakhir dengan
kemenangan bagi orang beriman. Cepat atau lambat, Allah akan memberikan
kemurahan hati-Nya, sehingga orang beriman harus yakin bahwa terdapat hikmah
pada semua kejadian.
8.
Kematian Itu Dekat
Pada
dasarnya, kaum yang mementingkan duniawi adalah bodoh, ceroboh, dan dangkal
pikirannya. Hidup mereka tidak berdasarkan logika, tetapi mereka hidup dengan
kesesatan dan keyakinan yang salah serta mengikuti sangkaan yang berakhir
dengan kekeliruan. Salah satu kekeliruan ini adalah keyakinan mereka tentang
kematian. Mereka percaya bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak perlu
dipikirkan.
Sebenarnya,
yang mereka lakukan adalah lari dari kenyataan dengan cara mengabaikan
kematian. Tanpa memikirkannya, mereka percaya bahwa mereka dapat menghindari
peristiwa itu. Akan tetapi, hal ini seperti burung unta yang menenggelamkan
kepalanya ke dalam pasir untuk mengindari bahaya. Mengabaikan bahaya tidak
membuat bahaya itu hilang. Sebaliknya, orang tersebut berisiko menghadapi
bahaya dengan tanpa memiliki persiapan. Akibatnya, ia akan menerima kejutan
yang lebih besar lagi. Tidak seperti halnya orang beriman yang mentafakuri
kematian dan menyiapkan dirinya terhadap kenyataan yang sangat penting ini,
kebenaran yang akan dialami semua manusia yang hidup. Allah memperingatkan
orang kafir dalam ayat-Nya,
9.
Tidak Pernah Berhenti
Melawan Iblis
Ketika Allah
menciptakan Adam dan memerintahkan malaikat sujud di hadapannya, mereka semua
sujud kecuali iblis. Iblis kemudian dikutuk. Tanggapan iblis adalah meminta
Allah menangguhkan hukuman sampai tiba hari dihidupkan kembali. Dengan
demikian, ia memiliki kesempatan untuk membuat manusia berbuat dosa dan
menyimpang dari batasan yang ada. Dengan penangguhan dari Allah, ia berjanji
akan melakukan hal-hal yang dapat menggelincirkan umat manusia.
Siapa yang
tidak berhati-hati terhadap tipu daya iblis dan tidak dapat melindungi dirinya
dari bujuk rayu iblis, ia akan mudah dikalahkan oleh iblis. Karena itu, seorang
mukmin harus mewaspadai keberadaan iblis, sebagaimana dijelaskan, “Sesungguhnya,
setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya
setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni
neraka yang menyala-nyala.” (Faathir: 6)
Orang-orang
beriman harus selalu berhati-hati terhadap keberadaan iblis karena dialah yang
menjadi sasaran utamanya. Setan tidak berkeinginan untuk membuat orang-orang
kafir melampaui batas karena mereka sudah berpaling dan menjadi sekutunya. Dia
berusaha keras membanting tulang untuk melemahkan orang-orang yang beriman
sehingga menghalangi mereka untuk menyembah Allah. Itulah sebabnya mengapa
orang-orang beriman diingatkan berulang-ulang untuk melawan setan, Sebagaimana
yang Allah firmankan dalam Al-Qur`an, orang yang beriman dengan
sebenar-benarnya itu tidak akan terpengaruh oleh bujuk rayu iblis. Akan tetapi,
siapa yang lemah dan tidak berbuat kebaikan bisa dengan mudah terpengaruh oleh
bisikannya. Janganlah lupa bahwa iblis akan terus-menerus berusaha keras
menyebarkan kejahatannya. Orang-orang beriman harus selalu bersama-sama saling
mengingatkan untuk selalu mengingat Allah swt. di mana pun dan kapan pun kita
berada.
10. Jiwa yang Condong kepada Kejahatan
Musuh lain
yang harus kita perangi adalah diri kita sendiri. Allah mengilhami manusia
dengan kebaikan dan keburukan. Keburukan dalam diri kita selalu bekerja untuk
setan. Al-Qur`an menjelaskan kedua sisi jiwa kita tersebut,
“Dan jiwa
serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams:
7-10)
Kita harus
waspada terhadap sisi keburukan yang ada dalam diri kita sendiri dan selalu
menjaga hati dalam menentang bahaya. Mengabaikan sisi keburukan jiwa kita tidak
akan menolong kita lepas dari keburukannya. Akan tetapi, kita harus menyucikan
jiwa seperti yang diajarkan dalam Al-Qur`an.
Dengan
demikian, kaum mukminin tidak pernah menyatakan bahwa diri mereka suci, tetapi
tetap berhati-hati terhadap hasutan dan kesia-siaan jiwa mereka. Pengakuan
Yusuf a.s., “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya, Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang,“ (Yusuf: 53) harus selalu diingat sebagai contoh yang baik untuk
bersikap dengan tepat.
Perjuangan
melawan hawa nafsu adalah pertempuran yang terbesar bagi seorang muslim. Mereka
harus membatasi emosi dan keinginannya, yang mana yang dapat diterima dan yang
mana yang tidak dapat diterima. Ia harus melawan dorongan nafsu dalam jiwanya,
seperti keegoisan, iri hati, sombong, dan serakah.
Itulah
sebabnya, orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya memiliki kepuasan
jiwa. Hal ini terjadi karena mereka menjauhkan diri dari kejahatan, melawan
nafsu jiwa mereka, dan membaktikan diri hanya kepada Allah.
11. Pilihan Allah
Jika
menentukan bentuk fisik kita saja tidak bisa, apalagi menentukan takdir kita.
Hanya Allahlah yang berhak menentukan kelahiran manusia, lingkungannya,
keluarganya, serta pengalaman yang akan ia dapatkan dalam hidupnya. Allah
pulalah yang mengilhami kita kebijakan dan kebaikan.
Iman kita
bahkan tidak bergantung pada karakter kita sendiri. Allah pulalah Yang Maha Esa
yang memberikan kita keimanan. Dialah yang mengarahkan, mengajarkan, dan
melatih, sebagaimana jawaban Musa a.s. atas pertanyaan Firaun, “Musa
berkata, ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap
sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.’” (Thaahaa: 50)
Karena itu,
orang beriman adalah orang-orang yang dipilih oleh kemurahan Allah, “Dan
Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak
ada pilihan bagi mereka....” (al-Qashash: 68)
12. Berdo’a
Berdo’a
merupakan cara berdialog dengan Allah; juga merupakan ciri utama yang
membedakan orang yang beriman dari orang musyrik. Berdo’a bisa dijadikan
sebagai alat ukur keimanan seseorang kepada Tuhannya.
Kebanyakan
orang berpikir bahwa tidak ada yang mengatur alam semesta ini dan segala sesuatu
berinteraksi dengan sendirinya. Akan tetapi, mereka tidak mengetahui bahwa
segala sesuatu di langit dan di bumi tunduk kepada-Nya, tidak ada makhluk yang
takdirnya tidak diatur oleh Allah dan tidak patuh kepada-Nya. Bila Dia
berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) mengatakan kepadanya,
“… Jadilah…,” lalu jadilah ia. (al-Baqarah: 117)
“Berdo’alah
kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut... berdo’alah
kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya, rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-A’raaf:
55-56)
Sebenarnya,
do’a-do’a kita merupakan pengakuan atas kelemahan kita dengan menunjukkan rasa
terima kasih kepada Allah. Tanpa berdo’a berarti menunjukkan kesombongan dan
pembangkangan kepada Allah. Allah menyatakan,
Berdo’a pada
Allah adalah ibadah dan juga rahmat yang besar. Tindak permohonan yang mudah
ini merupakan kunci untuk mencapai tujuan, baik dunia maupun akhirat.
13. Penyesalan dan Memohon Ampun
Dua sifat
Allah yang paling sering diulang dalam Al-Qur`an adalah “Maha Pengasih” dan
“Maha Penyayang”. Allah benar-benar menyayangi hamba-hamba-Nya dan tidak
menghukum mereka secara langsung atas dosa-dosa mereka, jadi dengan do’a dapat menangguhkan
hukuman, Dia memberi waktu kepada orang yang berbuat salah untuk memohon ampun
dan bertobat. Tidak peduli betapa besar dosa yang ia lakukan, ia selalu
mendapat kesempatan untuk dimaafkan jika bertobat dan berbuat kebaikan, dan Tobat
juga berarti permohonan dukungan dan kekuatan dari Allah untuk membantu orang
yang bersalah agar tidak mengulangi perbuatan salah yang sama. Bentuk Tobat
yang diterima Allah adalah yang diikuti dengan perbuatan-perbuatan baik,
Ayat ini menyeru orang-orang beriman kepada
keselamatan, “… Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
beriman supaya kamu beruntung.” (an-Nuur: 31)
“Dan orang
yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada
Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” (al-Furqaan:
71)
Terkadang
seseorang bisa saja melakukan dosa yang sama karena bujukan nafsunya, bahkan
setelah bertobat. Akan tetapi, hal ini bukanlah alasan baginya untuk tidak
bertobat. Dia bisa bertobat karena kesalahan-kesalahan sepanjang hidupnya.
Harus diingat pula bahwa tobat seseorang tidak akan diterima ketika kematian
telah datang menjemput dan ia mulai melihat nasibnya di hari kemudian.
Al-Gozali (w.1111 M) adalah sosok fiqih
yang sufi, sekaligus fillosuf dan ahli kalam. Karya monumentalnya Ikhya’ Ulumuddin
adalah cermin dari al-Ghizali melakukan substansiasin fiqih dengan tasawuf.
Diantaranya ia mengatakan, “ilmu bagi saya lebih mudah dari pada mengamalkan”.
Dengan memperhatikan uraian di atas dapat
difahami bahwa fiqih saja tanpa di isi dengan tasawuf maka hasil yang akan di
peroleh adalah kulitnya saja, atau bisa dikataka basa basi seorang hamba dengan
sang khaliqnya.
14. KHOTIMAH
Walaupun pembahasan diatas jauh dari
sempurna, dari apa yang dianjurkan Bapak Dosen mengenai Tasawuf Masakini abad
xxi ini, maka kami telah cukup mendapatkan pelajaran berharga, pengalaman fiqih
saja akan menghasilkan manusia-manusian formalistic, namun kering dalam bahasa
nuansa etika, sehingga melahirkan sebuah masyarakat yang cenderung mengalami
keterpecahan integritas moralnya.
Dan yang terakhir kami ucapkan banyak
terimakasih atas koreksinya, semoga pemaparan semua yang ada diatas bisalah
menjadi pemicu, semangat para salik untuk menuju kesucian jiwa, dan
membersihkan semua penyakit hati yang bersarang dalam hati manusia, yang
akhirnya menjadikan insan yang selalu tunduk akan perintahNya.
Tasawuf dalam Paham sufiyah
yang mana dilansir para sufi berpendapat bahwa pendidikan tasawuf tersusun atas
tiga fase:
1. Fase takhalli atau takhliyah, yaitu membasmi sifat-sifat
duniawiyah yang terdapat dalam diri manusia. Takhliyah zhahiriyah yaitu menjauhkan diri dari kejahatan tujuh
macam anggota maksiat zhahir, ketujuh tersebit adalah faraj, lisan, tangan,
mata, telinga, kaki, dan perut. Kemudian, manusia melakukan Takhliyah
bathiniyah yang didahului dengan taubat yaitu dengan cara Istigfar,
menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
2. Fase Tahalli, mengisi jiwa
seseorang dengan jiwa mahmudah yang merupakan ibadat qolbi. Maka hiasilah diri
nkita dengan taqwa, hati yang bersih, dan sifat siddiq.
3. Fase Tajalli, adalah
pengalaman Puncak yang dicari para pecinta Allah.([1])
dimana fase ini telah jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, fase ini hasil
usaha dari fase pertama dan kedua.
Meskipun dalam diri manusia cenderung berbuat kejahatan, namun usaha yang
pertama dan yang utama adalah menjauhkan
diri dari larangan Allah. Meninggalkan
larangan-Nya lebih berat dari pada mengerjakan perintah-Nya. Hal ini
terjadi karena pengaruh lingkungan. Untuk itu bagi orang tua agar mendidik
anaknya dengan baik mulai sedini mungkin.
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar