Minggu, 27 April 2014

DEMOKRASI PENDIDIKAN PESANTREN

 “Kamu jangan selalu fanatik di pendidikan, jangan paksakan anakmu sesuai dengan kehendakmu, tapi tolong arahkan bakat anak itu. Bakat anak itu apa, kemudian dukung sesuai dengan bakatnya,”  [1]

Petuah KH. Mahrus diatas sangat demokratis. Dalam arti orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk menekankan anaknya menekuni satu bidang tertentu.
Seorang anak mempunyai bakat tersendiri, dan sebagai orang tua berkewajiban mengawal anaknya dalam memupuk bakat yang diingini.

Hal ini senada dengan pengertian demokrasi yang digagas oleh Gus Dur. Baginya, landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang ia ingini.[2]

Di pesantren sangat kental dengan istilah taadduban (bertatakrama atau beretika) kepada seorang guru. Berakhlak baik didepan seorang guru adalah ajaran yang paling ditekankan kepada semua santri. Lebih dari itu, seorang santri dimanapun dia berada harus bisa menjaga sikap dan perilakunya. Dia juga harus rela melakukan semua perintah guru selagi tidak bertentangan dengan syari’at agama islam.

Jika hal diatas didasari atas hubungan status antara seorang guru dan murid, wajib bagi seorang murid untuk melakukannya. Karena, semua perintah dari seorang guru pasti mengandung nilai kebaikan. Apa yang diperintahkannya tidak akan pernah melenceng dari ajaran Rasulullah SAW. Andai ada seorang guru yang demikian, maka dia bukanlah seorang guru yang baik, yang patut untuk ditiru. Karena, seorang guru tidak akan pernah mengajarkan secuil kejelekan sekalipun kepada para muridnya.

Namun, akan sangat berbeda jika perintah itu dikaitkan dengan potensi yang harus ditekuni seorang santri. Setiap santri mempunyai bakat atau potensi yang berbeda-beda. Logikanya seorang santri yang berbakat menjadi penceramah tidak akan mau jika dipaksa untuk menjadi seorang penulis, dan begitu juga sebaliknya, meskipun keduanya mempunyai tujuan yang sama yakni; berdakwah. Dalam berdakwah, santri tidak harus berada di atas mimbar dengan berpidato. Akan tetapi dakwah bisa dilakukan melalui jalur manapun, lewat berpolitik, menulis di media, kesenian, budaya dan lain sebagainya. Dari sinilah, bisa kita pahami bahwa bakat seseorang berbeda-beda. Semua orang mempunyai keterbatasan yang dengan itu semua bisa saling mengisi kekurangan-kekurangan yang ada. Dan seharusnya guru bisa memahami hal itu.

Mengajar menurut Kennet D. Moore, adalah sebuah tindakan dari seseorang yang mencoba untuk membantu orang lain mencapai kemajuan dalam berbagai aspek seoptimal mungkin sesuai dengan potensinya (Moore, 2001:5). Pandangan ini didasari oleh sebuah paradigma bahwa tingkat keberhasilan mengajar bukan pada seberapa banyak ilmu yang disampaikan guru pada siswa, tapi seberapa besar guru memberi peluang pada siswa untuk belajar dan memperoleh sesuatu yang ingin diketahuinya, guru hanya memfasilitasi para siswanya untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuannya.[3]

Sejalan dengan pengertian diatas, Madeline Hunter mengemukakan bahwa mengajar adalah sebuah proses membuat dan melaksanakan sebuah keputusan sebelum, selama dan sesudah proses pengajaran (Hunter, 1994:6), yakni keputusan yang jika diambil oleh seorang guru, akan meningkatkan kemungkinan siswa untuk belajar.[4] Kalau kita pahami, dua pengertian diatas menunjukkan bahwa kedudukan seorang guru sangat penting demi meningkatnya kesemangatan siswa dalam belajar dan menekuni bakat tertentu. Untuk itu ia harus memberi keluasan kepada muridnya untuk memupuk bakat yang sudah dimiliki, selain memperdalam ilmu yang diajarkan di pesantren.

Sebenarnya sistem demokrasi dalam mendidik para santri di pondok pesantren lirboyo, sudah diterapkan sejak dulu. Diantaranya, melalui program-program yang dicanangkan oleh Seksi Pramuka. Seperti, Kursus Jurnalistik bagi para calon penulis handal, kursus bahasa inggris bagi peminat bahasa asing, kursus seni baca al-Qur’an bagi santri yang memiliki suara merdu, kursus computer dan lain sebagainya. Kemudian bagi santri yang berambisi menjadi seorang pencetus hukum, bakatnya bisa tersalurkan melalui ajang diskusi yang diagendakan oleh Lajnah Bahtsul Masa’il (LBM). Dan tak ketinggalan, bagi santri yang berpotensi menjadi seorang pejabat tinggi Negara, bakatnya juga bisa tersalurkan dengan menjadi pengurus dari tingkat jam’iyyah far’iyyah hingga jam’iyyah pusat ataupun menjadi pengurus pusat kelas.

Semua itu adalah sarana untuk meningkatkan bakat-bakat santri yang selama ini terpendam. Sehingga dalam berdakwah mereka tidak harus dengan berada diatas mimbar, mereka bisa berdakwah dengan bentuk dan model yang berbeda sesuai dengan bakat yang dimiliki. Namun, yang paling pokok ketika berada dalam pondok pesantren adalah menguasai ilmu agama (islam). Mengenai cara dalam meng-aktualisasikan teori turast dan mentransfernya ke masyarakat luas, tergantung bakat yang dimiliki oleh masing-masing santri.

Oleh : Said al-Birroe



[1] Kesan mendalam para tokoh alumni terhadap tiga tokoh lirboyo_Hal. 260

[2] Gus Dur siapa sih sampeyan?_Hal 89

[3] Paradigma pendidikan demokratis_Hal. 91

[4] Ibid Hal_ 91
Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top