Minggu, 27 April 2014

Pemahaman Tentang Ulama dan Kiai

Ada pernyataan menarik tentang pengertian “Kyai” dari KH. Musthofa Bisri Rembang (Gus Mus). >>>>>>
Pada saat itu Gus Mus berkhutbah dalam pengajian haul KH Ali Maksum di Krapyak, Gus Mus (KH Mustofa Bisri Rembang) yang didaulat sebagai pembicara membawa hadirin pada suasana nostalgia, yakni masa-masa di saat beliau nyantri dulu mengenang kearifan para Kyai zaman dahulu. khususnya para Kyai di lingkungan pesantren Krapyak yang pernah ‘ngemong’ beliau. Seperti KH. Ali Maksum, KH. Dalhar Munawwir, dan KHR. Abdul Qodir Munawwir.

Beliau mengisahkan betapa manusiawinya para Kyai itu, dalam arti mampu memanusiakan manusia, sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing orang, tidak menelantarkan tetapi juga tidak mengekang. KH. Ali Maksum misalnya, sosok Kyai yang “mbapaki” dan tidak “ngiyaini”, sehingga beliau di kalangan santri-santrinya lebih akrab disapa “Pak Ali”, begitupun para kyai-kyai Krapyak generasi selanjutnya, juga disapa dengan sapaan “Pak” atau “Mbah”.

Salah satu hal yang khas dari Mbah Ali, khutbah Jum’atnya pendek-pendek, namun selalu bertemakan hal-hal penting yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada gaya khutbah Mbah Zainal (KH Zainal Abidin Munawwir, pengasuh Ponpes Al-Munawwir Krapyak sekarang) yang terkesan pendek namun berbobot, baik itu tentang fiqh, aqidah, maupun tasawwuf. Beliau memahami kondisi masyarakat yang bermacam-macam, sehingga tidak menyamaratakan, santri tidak sama dengan pegawai kantor, pedagang bakso, atau musafir yang kebetulan mampir di masjid untuk shalat Jum’at. Terkadang tema yang dibahas oleh Mbah Zainal adalah bab Thoharoh alias ‘sesuci’, tentang apa itu air musta’mal, juga air mutanajjis, tema dan gaya khutbah semacam ini di Jakarta, di Kairo, atau di Saudi Arabia…

Atau seperti kisah KH Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh pesantren PETA Tulungagung. Beliau disowani seorang wanita yang ber-’profesi’ sebagai penjaja seks yang minta doa penglaris. Kyai Jalil hanya manggut-manggut, menasehati dan mendoakan seperti apa yang diminta wanita itu, laris. Beberapa hari kemudian, beliau disowani oleh wanita yang sama, namun kali ini berbeda, wanita itu merengek-rengek minta bertaubat. Wanita itu berkisah, sangkin larisnya, sampai-sampai tidak kuat, merasa tersiksa,
dan muncul keinginan untuk bertaubat.. wuih.. Wallahu A’lam…

Dari contoh-contoh yang banyak dikisahkan itu, kita bisa melihat bagaimana para Kyai bergaul dengan masyarakat, merangkul, mendengarkan, memahami, dan memberi nasehat serta solusi bagi masalah mereka, dibalut dengan keikhlasan dan sikap ‘ngemong’, tidak menghakimi. Ibarat gula, mereka rela meleburkan diri di tengah masyarakat sebagai airnya, sehingga masyarakat pun turut menjadi manis.

Sehingga, seperti dikatakan Gus Mus, dari wajah beliau-beliau itu tersirat cahaya kedamaian yang menular ke hati kita yang memandangnya. Beliau mencontohkan, setiap orang yang sowan ke ndalem Kyai Qodir (KHR. Abdul Qodir Munawwir), meski membawa berbagai macam kegundahan di hati,
akan merasa plong, lega, ayem, ketika memandang wajah Sang Kyai yang disowani, seakan-akan semua masalahnya telah beres. Sangkin ayemnya…

Nah, di ujung kisahnya, Gus Mus menyatakan kerinduannya terhadap sosok-sosok Kyai masa lalu… serta menawarkan satu definisi kata “Kyai” dalam konteks keindonesiaan, beliau (kira-kira) berujar begini;

*”Saya punya definisi gelar ‘Kyai’ menurut versi saya sendiri, yakni ALLADZIINA YANDZURUUNAL UMMAH BI ‘AYNIR ROHMAH; mereka yang memperhatikan Umat dgn pandangan Rahmat (Kasih Sayang). Kalau ada orang, pakaiannya ala Nabi, sorbannya lebar, jenggotnya panjang, tetapi nggak
menyayangi umat, biarpun saya ditawari duit sejuta, nggak bakal mau manggil dia ‘Kyai’.. Tetapi kalau ada orang yang ilmunya nggak terlalu tinggi, tetapi mengayomi umat, dicintai umat, dia pantas disebut ‘Kyai’…”*

Ungkapan Gus Mus ini sesuai dengan asal mula kata “Kyai” berupa kata “Ki” dan “Yai”. Dalam kebudayaan kita, setiap hal yang memiliki kelebihan dalam sisi spiritual bisa digelari “Ki-Yai” atau “Kyai”, tidak hanya sosok manusia, bahkan benda anorganik pun bisa, sebut saja Kyai Pleret si tombak, Kyai Cubruk si keris, atau Kyai Nogo Wilogo dan Kyai Guntur Madu si gong istimewa yang ditabuh saat Sekaten di Yogyakarta.

Kata “Kyai” itu sebenarnya, sebagaimana diungkapkan KH Abdullah Faqih Langitan, adalah sinonim dari kata “Sheikh” dalam bahasa Arab. Secara terminologi (istilahi), arti kata “Sheikh” itu sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Bajuri adalah “man balagha rutbatal fadli”, yaitu orang-orang yang telah sampai pada derajat keutamaan, karena selain pandai (alim) dalam masalah agama (sekalipun tidak ‘allamah atau sangat alim), mereka mengamalkan ilmu itu untuk dirinya sendiri dan mengajarkan
kepada murid-muridnya. Penyebutan “Kyai” itu berasal dari inisiatif masyarakat, bukan dari dirinya sendiri atau media massa.

Sementara itu, makna kiai atau “Sheikh” dalam pengertian etimologi (lughotan) adalah “man balagha sinnal arbain”, yaitu orang-orang yang sudah tua umurnya atau orang-orang yang mempunyai kelebihan, misalnya dalam hal berbicara atau mengobati orang (nyuwuk), tapi tidak pandai dalam masalah agama.

Makanya, ada ungkapan begini:
“AL-’AALIMU SYAIKHUN WALAW KAANA SHOGHIIRON”
(Orang pandai itu “sheikh” walaupun masih kecil/muda)..
“ WAL JAAHILU SHOGHIIRUN WALAU KAANA SYAIKHON”
(dan orang bodoh itu kecil walaupun sudah tua)..

Jadi, gelar “Kyai” sebenarnya memang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kelebihan dalam hal spiritual, dan kemudian diakui masyarakat. Berbeda dengan “Ulama” yang merupakan bentuk jamak dari kata “Alim” (orang yang berilmu), atau istilah kita “Ilmuwan”. Gelar “Ulama” ini adalah gelar religius, sedangkan “Kyai” tidak. Kata “Ulama” jelas-jelas disebukan dalam surat Fathir ayat 28, “Innamaa Yakhsyalloohu Min ‘Ibaadihil ‘Ulamaa”.

Dan di ayat itu tersurat secara gamblang bahwa kriteria Ulama yang dimaksud adalah berpengetahuan, kemudian pengetahuannya menjadi sebab dia mengenal serta bertaqwa kepada Allah. Jadi, ulama sudah tentu kyai, sedangkan kyai belum tentu ulama.

Sehingga, konsekuensinya, gelar “Kyai” tidaklah seperti pengertian masyarakat dewasa ini. Pada umumnya, masyarakat menilai bahwa “Kyai” adalah gelar bagi orang yang ahli agama Islam. Kesimpulan ini mungkin didapatkan dari keadaan selama ini bahwa yang namanya kyai ya mesti
berpengetahuan agama luas, akibat generalisasi obyek. Padahal pengertian Kyai lebih luas dari itu.

Kita melihat manusia mengunyah dengan rahang bawah, begitu pula kambing, begitu pula sapi, begitu pula kucing, kemudian kita menyimpulkan bahwa semua makhluk hidup mengunyah dengan rahang bawah. Lalu, ketika kita melihat buaya misalnya, maka kita sadar bahwa kesimpulan kita salah,
buktinya buaya mengunyah dengan rahang atas. Nah, kesimpulan macam ini, generalisasi, dalam bahasan ilmu Manthiq disebut metode Istiqro-i yang rentan salah.

Nah, ocehan saya ini hanya bermaksud mendukung dhawuh Gus Mus di atas, bahwasanya Tokoh Spiritual Panutan Masyarakat alias “Kyai” adalah mereka yang mengayomi masyarakatnya dengan penuh kasih sayang, pengertian, mengikat namun tidak mengekang. Di kala menegur pun, ibarat memukul, adalah bagaikan pukulan sebiting sapu lidi, menyengat tapi tidak menyakitkan..

Sosok-sosok pengayom ibarat pohon beringin seperti inilah yang masyarakat rindukan. Tidak hanya bergelut di ranah pembahasan kitab dan penetapan hukum-hukum formal agama. Tetapi juga turut membaur bersama masyarakat, memberikan solusi bagi permasalahan mereka. Serta mau dan mampu membimbing masyarakat untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki, terutama potensi intelektual dalam bidang apapun, demi kemaslahatan hidup masyarakat itu sendiri. Sehingga, Rahmah (kasih sayang) yang dimaksudkan tidak hanya berrotasi di lingkup manusia sebagai naas, basyar, maupun insan, tetapi juga melingkupi orbit yang jauh lebih luas yakni Alam Semesta… (almunawwir)
Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top