Minggu, 27 April 2014

Pemahaman Barokah di Pesantren

Secara literatur kata barokah mempunyai beberapa arti. Diantaranya adalah   kenikmatan dan kebaikan seperti pada surat al-A’raf surat 96 yang artinya “jikalau sekiranya penduduk-penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa niscaya kami bukakan bagi mereka barokah-barakah (kenikmatan) dari langit dan dari bumi”. Sementara arti bebasnya adalah nilai plus pada, untuk, bagi siapa yang dikehendaki Allah di antara hamba-hambanya, baik langsung atau melalui perantara, sebagai karunia dan rahmatnya-Nya dan diluar rasio kebanyakan orang.

Hakikat dari barokah adalah  bertambahnya kebaikan dalam diri seseorang. Oleh karena itu, Menurut Syekh al-Khasanzan lingkup dari barokah tidak mencakup pada kepentingan-kepentingan duniawi murni. Jadi, ukuran barokah bukanlah duniawi, tapi  ukhrawi. Meskipun seseorang kaya, tapi kekayaan itu tidak menambah kebaikan dalam dirinya maka itu bukan barokah. Sebaliknya, meskipun ia miskin tapi ia baik maka hidupnya barokah.

Dari keterangan di atas menunjukkan bahwa Barokah hanya bersumber dari Allah. Selain Allah tidak ada yang memiliki barokah. Sementara jika ada sebagian masyarakat meyakini bahwa sesuatu (benda/ barang), manusia (seseorang), tempat dan waktu tertentu mempunyai barokah adalah keyakinan yang salah. Barokah itu tidak bersumber dari hal-hal tersebut, hanya saja Allah   menyampaikan keberkahan-Nya melalui benda-benda tersebut. Terbukti para Sahabat Rasulullah dulu mengambil dari sisa-sisa air wudlu beliau, juga sisa potongan rambut beliau. Dan begitu juga pada tempat-tempat yang dianggap keramat oleh banyak orang, misalnya makam wali, masjid, dsb. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dan  tempat hanyalah sebagai perantara sampainya barokah.

Barokah sebagai karunia dan rahmat Allah dapat berupa kenikmatan, kebaikan, keberuntungan, kebahagiaan, kelebihan, kemulian dan keridlaan atau restu seperti pada firman Allah pada surat ad-Dukhon ayat 3 yang artinya “sesungguhnya kami menurunkannya pada malam yang diberkahi (direstui)”  dan firman Allah pada surat Qof ayat 9 yang artinya “dan kami turunkan air dari langit yang memberi barokah(keberuntungan)”.

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Allah akan memberikan keberkahan-Nya kepada hamba, tempat, dan benda yang dikehendaki-Nya. Ini tentu pada hamba yang taat dan senantiasa menjauhi larangan-larangan-Nya. Seperti para Nabi, auliyaullah (kekasih Allah), dan ‘ibadurrohman (orang-orang solih).  Mereka adalah orang-orang yang diberkahi oleh Allah dan mereka juga sebagai penyalur sampainya barokah kepada hamba-hamba yang lain. Tidak heran, jika sebagian masyarakat dan santri sangat ta’dzim dan segan kepada kiai  karena mereka berharap agar mendapat barokah melalui perantaranya.

Barokah yang bersumber dari rahman-rahim Allah, hanya akan diperoleh daripada-Nya, dan dengan    cara memohon kepada-Nya, baik langsung  atau dengan perantara. Barokah yang diperoleh secara langsung pernah terjadi pada  Rasulullah ketika beliau memohon kepada Allah agar Negeri Syam menjadi Negara yang barokah.

Salah satu tempat yang banyak diasumsikan berdomisilinya barokah adalah Pondok Pesantren. Mereka yang ‘nyantri’ meyakini adanya barokah yang  akan diperoleh tatkala ia mentaati semua peraturan yang telah ditetapkan oleh Kiai. Maka dari itu, tidak jarang sebagian santri berasumsi barokah akan diperoleh apabila taat dan rela membantu kiai. Ketaatan dan kerelaan ini biasanya mereka ekspresikan dengan kesiapannya bekerja di pondok pesantren. Namun demikian, yang menjadi problem saat ini sebagian dari mereka berasumsi bahwa barokah hanya akan diperoleh jika bekerja dan bekerja. Ironisnya, sebagian dari mereka lupa dengan kewajibannya yang harus dilakukan. Asumsi ini tentu kurang tepat karena, hakikat dari barokah itu sendiri adalah bertambahnya kebaikan. Sementara jika dengan bekerja malah akan membuat kewajiban-kewajiban yang lain terlantar, maka hal yang demikian bukanlah menambah kebaikan akan tetapi menjerumuskan pada hal-hal yang tidak dinginkan oleh Pondok Pesantren.

Pemahaman yang demikian harus dibuang jauh-jauh agar stabilitas belajar mengajar di Pondok Pesantren terus berjalan lancar. Setidaknya, bagi santri yang ingin membantu kiai atau bekerja di lingkungan pondok pesantren tahu waktu, dengan tidak meninggalkan hal-hal yang sudah menjadi kewajibannya, seperti masuk madrasah, mengaji, dan jama’ah.

Author: Hafidz Wahyudi, Mahasantri Ma’had Aly Sukorejo Situbondo
Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top