Seorang muslim yang kesehariannya dituntut dengan beragam ibadah yang rerata
mengandung unsur pemaksaan akan mematrikan kebosanan dan kekenduran semangat.
Karenanya wajar bila pada sebagian waktunya, jiwa itu disegarkan kembali dengan
hal-hal yang menyenangkan, yang tidak lain itu adalah bercengkerama dengan
lawan jenis. Dan makna inilah yang dimaksudkan dengan sakinah atau
tenteram dan tenang. Demikianlah lebih kurang al-Ghazali menjelaskan salah satu
faidah pernikahan.[1]
Untuk terwujudnya tujuan tersebut, kiranya pernikahan yang secara sederhana
boleh diartikan dengan ‘keberpasangan’ harus direkatkan dengan sesuatu.
Tali-temali perekat keberpasangan adalah cinta.
Jika hubungan pernikahan tanpa didasari cinta, maka ketentraman dalam rumah
tangga sulit diraih. Menjalani hidup bersama orang yang tidak dicintai hanya
akan membuat kita merasakan hampa, gersang, dan usang. Sedikit pun rasa bahagia
tak dapat dirasakan, justru penyesalan yang terus menyala.
Rasanya memang sulit, jika harus menikahi seseorang sedangkan kita tidak ada
perasaan cinta atau kecenderungan yang membuat kita ingin menikahinya, meskipun
kriteria yang lain sudah terpenuhi.
Tentang hal tersebut dapat direnungkan dalam penyataan hadits berikut,
قَالَ مُسَدَّدٌ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ
زِيَادٍ ، حَدَّثَنَا عَاصِمٌ الأَحْوَلُ ، عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الله ، عَنِ
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ ، قَالَ : خَطَبْتُ جَارِيَةً مِنَ الأَنْصَارِ ،
فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم ، فَقَالَ لِي :
رَأَيْتَهَا فَقُلْتُ : لاَ فَقَالَ : اذْهَبْ فَانْظَرْ إِلَيْهَا ، فَإِنَّهُ
أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَوَالِدَيْهَا
- ” Mughirah berkata, suatu ketika saya hendak mengkhitbah seorang perempuan dari kaum anshar. ketika saya hendak melakukan itu, saya berkonsultasi terlebih dahulu kepada Nabi. Nabi berkata, kamu sudah melihat dia?. sayang menjawab, tidak. kemudian Nabi berkata, pergilah kepada perempuan itu dan perhatikan dia, karena dengan begitu, lebih patut mengekalkan hubungan pernikahan kalian berdua”
Hadits di atas menjelaskan, suatu saat pernah ada sahabat Rasulullah yang
ingin menikahi seorang wanita dan Rasulullah menanyakan kepadanya, “Apakah kamu
sudah melihatnya” dan ketika sahabat itu mengatakan belum, maka Rasulullah
menyuruhnya kembali dan melihat dulu wanita tersebut.
Dari peristiwa tersebut, ada satu pertanyaan, mengapa Rasulullah meminta
sahabat itu untuk melihat wanita yang akan dinikahinya? Jawaban yang
memungkinkan adalah untuk menumbuhkan perasaan yakin dan tak ada penyesalan
setelahnya.
Artinya memiliki kecenderungan hati kepada wanita yang akan dinikahi juga
dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung pernikahan itu sendiri. Saya
sendiri setuju akan hal itu, meskipun di sini bukan selalu bermakna rasa cinta
tapi memiliki alasan lain yang menguatkan untuk menikahi seseorang, seperti
perasaan nyaman atau suka dan cocok dengan pasangan yang akan dinikahi memang
hal yang penting.
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa ada seorang wanita yang menolak
dikawinkan ayahnya. Lalu ia mengadukan hal itu kepada Nabi. Setelah Nabi
mendengar aduan perempuan tersebut, Nabi menginginkan ia merelakan apa yang
dilakukan ayahnya (mengawinkan dia dengan laki-laki yang ia tidak kehendaki).
Beberapa kali Nabi memujuk ia sampai tiga kali. Ketika Nabi melihat ia masih
tetap pada pendiriannya (tidak mau kepada laki-laki yang dipilih ayahnya), Nabi
bersabda, “lakukanlah apa yang engkau kehendaki”. Tetapi kemudian wanita itu
berkata, “saya perkenankan apa yang dilakukan ayah, tetapi saya ingin agar para
ayah itu tahu bahwa mereka tidak punya hak apa-apa dalam masalah ini”
Hadits di atas menceritakan tentang seorang perempuan dan ayahnya yang
sama-sama memiliki kehendak. Perempuan itu berkehendak untuk memilih cinta
sesuai kehendak hatinya. Sementara ayahnya berkehendak agar anaknya menikah
dengan laki-laki yang menjadi pilihannya. Memang sulit bahkan mustahil
menentukan pilihan yang sama-sama berkehendak, apalagi kehendak cinta yang
berlawanan dengan kehendak orang tua. Begitulah tradisi yang sering kali
terjadi dalam percintaan, khususnya percintaan ala Siti Nurbaya.
Pemahaman lain dari hadits tersebut, Rasulullah tidak memaksa seseorang yang
memang sama sekali tidak memiliki keinginan (suka, cinta, dan sayang) untuk
menikah dengan orang yang tidak dikehendakinya. Artinya, Rasulullah juga
mempertimbangkan perasaan seseorang yang kosong dari rasa suka dan cinta.
Karena itu, Rasulullah bersada:
اذْهَبْ
فَانْظَرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Pernyataaan Rasulullah di atas menjelaskan, bahwa ketika ada orang hendak
menikah, maka dia harus mengetahui siapa seseorang yang akan dia nikahi. Karena
hal demikian itu lebih patut mengekalkan hubungan pernikahan.
Rasulullah menyuruh orang yang hendak menikah untuk mengetahui seseorang
akan dinikahi dengan menggunakan fi’il amar “انظر”
tidak menggunkan fi’il amar “ر”.
Kedua fi’il amar tersebut –secara umum- memiliki makna yang sama, yaitu
melihat. Tapi –secara khusus- kedua lafad tersebut memiliki perbedaan yang
signifikan. Fi’il amar “ر” digunakan untuk
makna melihat sesuatu untuk diketahui, tapi upaya mengetahuinya tidak dituntut
untuk lebih dalam. Artinya, yang penting tahu. Sementara, fi’il amar “انظر”. Upaya mengetahui sesuatu itu dituntut
agar lebih dalam. Artinya, obyek yang dilihat harus benar-benar diketahui
secara dtail.
Dengan demikian, pemahaman hadits tersebut, menjelaskan bahwa kita harus
benar-benar-benar mengetahui, memahami dan mengerti seseorang yang hendak kita
nikahi, demi mencari kecocokan yang kemudian menumbukan rasa suka, cinta bahkan
sayang.
Untuk memahami seseorang, tentu tidak hanya sekedar melihatnya saja, apalagi
mencukupkan satu kali perjumpaan. Oleh sebab itu, hadits di atas menggunakan
fi’il amar “انظر”. Makna lafad
tersebut tidak hanya melihat, tapi juga berpikir dan merenungkan. Tentu ketika
kita berpikir dan merenungkan membutuhkan waktu yang cukup lama, guna
memperoleh hasil yang maksimal dan meyakinkan. Lebih-lebih dalam hal
menumbuhkan rasa suka, cinta dan sayang. Itu sangat membutuhkan proses yang
lebih lama.
Proeses penjajakan pada seseorang untuk memahami dirinya (kepribadiannya)
dan lalu menumbuhkan rasa cinta, itu yang disebut pacaran. Makna pacaran yang
dimaksud di sini adalah, suatu aktifitas yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa
cinta dan kasih. Kemudian seseorang yang dicintai atau disayangi diistilahkan
pacar. Begitulah kurang lebih pemaknaan KBBI.
Namun, pada kenyataannya, makna pacaran saat ini diselewengkan, malah
dimaknakan suatu aktifitas yang sama sekali tidak menunjukkan akan adanya cinta
dan kasih sayang. Bukti adanya cinta bisa diketahui dari komentmen untuk setia
sampai jenjang pernikahan dan bahkan sampai mati. Jika hanya sekedar
bersenang-senang sesaat, itu bukan pacaran namanya, melainkan tindakan birahi
yang bejat.
Jika ada yang mengatakan hukum pacaran haram, itu tidak menghukumi
pacarannya, tetapi menghukumi aktifitas yang dilakukannya. Aktifitas birahi
yang dibungkus seolah didasari rasa cinta dan sayang. Padahal tidak. Karena
makna pacaran itu sendiri, sebagaimana yang dijelaskan di atas, tidak
bertentangan dengan hukum, justru itu yang dianjurkan hukum. Karena dengan
adanya pacaran yang bisa menumbuhkan kasih sayang, akan menjadikan orang yang
akan menjalani rumah tangga tidak memiliki beban hati, batin dan pikiran, karena
dengan cinta semuanya menjadi pasrah. Jika sudah pasrah, apapun yang terjadi
pada keluarganya akan dijalani dengan sabar dan bersukur.
Dengan begitu, ibadahnya tidak akan terganngu, justru akan lebih istiqamah
dan khusyuk. Begitulah yang dikehendaki Nabi, kenapa beliau menuyuruh sahabat
yang hendak menikah harus melihat lalu memperthatikan perempuan itu, karena
agar setelah menikah tidak ada penyesalan yang mengakibtakan kehidupannnya
tertekan dan kemudian pernikahan itu tidak menjadi ladang pebuatan dosa.
Karena, jika pernikahan itu membuat seseorang menyesal, hidupnya akan penuh
dengan kebimbangan yang kemudian mengakibatkan rawannya pertengkaran,
penganiyaan, pengkhianatan, penyiksaan, dan perselingkuhan. Na’udzubillah.
suber foto: blogspot.com
[1] Al-Imam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazaly, Ihya’ Ulum al-Din, hal: 34, juz: II, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
M.
- See more at:
http://cyberdakwah.com/2013/03/nabi-pun-menyuruh-kita-pacaran/#sthash.NF0qJTcw.dpuf
mungkin bukan pacaran bahasanya krn dalam Al Qur'an tdk ada penjelasan menuyuruh pacaran
BalasHapus