Rabu, 30 April 2014

Bid’ah Menurut Penjelasan Para Ulama Ahlussunah Wal Jama’ah

Bid’ah Menurut Penjelasan Para Ulama Ahlussunah Wal Jama’ah (ASWAJA)
1. Imam Syafii
(Syaikhul Akbar Mutjahid Mutlaq[1] Nashirussunah[2] Al Hakim Al Imam Asy Syafi)
“Bid’ah terbagi menjadi 2 bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik (hasanah) dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”

(Riwayat Imam Baihaqi didalam Manaqib Asy Syafii Juz 1 Halaman 469, Ibnu Hajar Al Asqalaniy dalam Fath al-Bari bi Syarah Shahih Bukhari 13/253, Sayyid Al-Bakri Abu Bakar bin Muhammad Syatha’ Addimyatiy didalam I’anah At-Thalibin Ibn `Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam “Siyar”, 8/408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam, 2/52-53, ).
2. Imam Ibnu Abdilbarr
Al Hakim Al Muhaddits Al Imam Abu Umar Yusuf bin Abdilbarr Al-Namiri Al-Andalusi, seorang ulama besar faqih lagi hafidh yang bermazhab maliki.

“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bid’ah.” (Al-Istidzkar, 5/152).
3. Imam Nawawi

Al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi, Pakar Hadits Besar, Rijalussanad[3] Imam Syafii.
“Bid‘ah -menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.” Beliau melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam kaum muslimin yang ilmunya sudah diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib (wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh (mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban (ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.”
(Tahdzibul ‘Asma wal Lughot 3/20-22)
Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk)”. (Tahdzib Al-Asma’ wa al-Lughat 3/22),
4. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani
Al Hujjatul Islam Amirul Mukminin fii Hadits Ibn Hajar Al-‘Asqalani. hafizh dan faqih bermadzhab Syafi’i.
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Dan bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.”
(Fathul Bari bi Syarah Shahihul Bukhari, 4/253).
5. Imam Ibnu Al Arabi

Al Hafidh Al Imam Ibnu Al Arabi Al Maliki
“Ketahuilah bahwa Bid‘ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam:

Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah Bid’ah yang sesat.
Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia baru.(Aridhat Al-Ahwadzi Syarah Jami’ Attirmidziy 10/146-147)
6. Imam Ghazali

Al Hujjatul Islam Al Imam Ghazali
“Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA, tetapi dipandang sebagai Bid’ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu.
(Ihya Ulumuddin 1/276)
7. Imam Al Aini
Al Hafidh Al-Imam Badruddin Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini,hafizh dan faqih bermadzhab Hanafi
“Bid’ah pada mulanya adalah mengerjakan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah. Kemudian bid’ah itu ada dua macam. Apabila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik oleh syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Dan apabila masuk di bawah naungan sesuatu yang dianggap buruk oleh syara’, maka disebut bid’ah tercela.” (Umdatulqoriy Syarah al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. XVII, Hal. 155 ).
8. Imam Ibnu Hazm. Ibnu Hazm Az Zahiri Al Andalusi

“Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang datang pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur’an atau Hadits Rasulullah SAW. Ia adalah perkara yang sebagiannya memiliki nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan oleh nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum, walaupun amalan tersebut tidak dijelaskan dalam nas secara khusus. Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya.
(Ibnu Hazm, Al Ihkam fi Usulul Ahkam 1/47)
10. Imam Izzuddin Abdissalam
Al Hafidh Al Imam Izuddin Abdissalam
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah . Bid’ah terbagi menjadi lima; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah. Dan jalan untuk mengetahui hal itu adalah dengan membandingkan bid’ah pada kaedah-kaedah syariat. Apabila bid’ah itu masuk pada kaedah wajib, maka menjadi bid’ah wajibah. Apabila masuk pada kaedah haram, maka bid’ah muharramah. Apabila masuk pada kaedah sunat, maka bid’ah mandubah. Dan apabila masuk pada kaedah mubah, maka bid’ah mubahah.
Bid’ah wajibah memiliki banyak contoh. Salah satunya adalah menekuni ilmu nahwu sebagai sarana memahami Al-Quran dan Sunnah Rasulullah . Hal ini hukumnya wajib, karena menjaga syariat itu wajib dan tidak mungkin dapat menjaganya tanpa mengetahui ilmu nahwu. Sedangkan sesuatu yang menjadi sebab terlaksananya perkara wajib, maka hukumnya wajib. Kedua, berbicara dalam jarh dan ta’dil untuk membedakan hadits yang shahih dan yang lemah.

Bid’ah muharramah memiliki banyak contoh, di antaranya bid’ah ajaran orang-orang Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Mujassimah. Sedangkan menolak terhadap bid’ah-bid’ah tersebut termasuk hukumnya wajib.
Bid’ah mandubah memiliki banyak contoh, di antaranya mendirikan sekolah-sekolah dan setiap kebaikan yang pernah dikenal pada abad pertama, dan di antaranya shalat tarawih.
Bid’ah makruhah memiliki banyak contoh, di antaranya memperindah bangunan masjid dan menghiasi mushhaf Al-Quran.
Bid’ah mubahah memiliki banyak contoh, di antaranya menjamah makanan dan minuman yang lezat-lezat, pakaian yang indah, tempat tinggal yang mewah, memakai baju kebesaran dan lain-lain.”
(Qawa’id Al-Ahkam fi Mashalih Al-Anam, 2/133)
Pandangan Al-Imam Izzuddin bin Abdissalam ini yang membagi bid’ah menjadi lima bagian dianggap sebagai pandangan yang final dan diikuti oleh mayoritas ulama terkemuka dari kalangan fuqaha dan ahli hadits.
11. Al Hafidh Imam Ibnu Atsir
Al-Hafizh Ibn Al-Atsir Al-Jazari.
“Bid’ah ada dua macam; bid’ah huda (sesuai petunjuk agama) dan bid’ah dhalal (sesat). Maka bid’ah yang menyalahi perintah Allah dan Rasulullah, tergolong bid’ah tercela dan ditolak. Dan bid’ah yang berada di bawah naungan keumuman perintah Allah dan dorongan Allah dan Rasul-Nya, maka tergolong bid’ah terpuji. Sedangkan bid’ah yang belum pernah memiliki kesamaan seperti semacam kedermawanan dan berbuat kebajikan, maka tergolong perbuatan yang terpuji dan tidak mungkin hal tersebut menyalahi syara’.”
(Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar)
12. Al-Imam Al-Shan’ani.
Muhammad bin Ismail al-Amir al-Shan’ani, seorang muhaddits dan faqih bermadzhab Zaidi, juga membagi bid’ah menjadi lima. Dalam kitabnya Subul Al-Salam Syarh Bulugh Al-Maram, beliau mengatakan:
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah. Dan ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian:
1) bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil,
2) bid’ah mandubah seperti membangun madrasah-madrasah,
3) bid’ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah,
4) bid’ah muharramah dan
5) bid’ah makruhah, dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.”
(Subulussalam 2/48).
13. Imam Suyuthi.
Al Muhaddis Al Hujjatul Islam Al Imam Jalaluddin As Suyuthi
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw)
(Syarah Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
14. Syaikh Sajuddin Ibnul Mulaqqan
“Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar).
(At Tauzhih li Syarh Al Jami’i As Shahih, Al Wazarah Al Auqaf wa Syu-un AlIslamiyah, Qathar, Juz. 8 Hal. 554)
15. Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy

Al Hujjatul Islam Al Muhaddits Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”
beliau melanjutkan,
Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari [26] dan Muslim [27])
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”.
(Fathul Mubin, Al-‘Amirah As Syarfiah, Mesir, Hal. 94)
16. Al Imam Al Munawi
Adapun yang ada azhidnya yakni didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.”
(Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333)
17. Syaikh Wahbah Azzuhaili (Pakar Ushul Fiqih)
“Setiap bid’ah yang terjadi dari makhluk, tidak terlepas dari bahwa adakala ia ada dalilnya pada syara’ atau tidak ada dalilnya. Jika ada dalil pada syara’, maka ia termasuk dalam umum yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya kepadanya. Oleh karena itu, ia termasuk dalam katagori terpuji, meskipun yang sama dengannya tidak pernah ada sebelumnya seperti yang termasuk dalam katagori kebaikan, dermawan dan perbuatan ma’ruf. Maka semua perbuatan ini termasuk perbuatan terpuji, meskipun tidak ada yang melakukannya sebelumnya. Didukung ini oleh perkataan Umar r.a. “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dengan sebab ini termasuk dalam katagori perbuatan baik dan katagori terpuji. Dan jika ia masuk dalam katagori menyalahi apa yang diperintah Allah dan Rasul-Nya, maka ia termasuk dalam katagori tercela dan ingkar”
(Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 290)
18. Syaikh Ahmad Shawiy
Syaikh Ahmad bin Muhammad Ash Shawiy Al Maliki
Pada ayat di atas (Alhadid 27), Allah Ta’ala memberikan pahala kepada orang-orang beriman diantara mereka, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah dan memeliharanya dengan semestinya. (Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177)

Kesimpulan :

Apa yang tersisa dari ilmu islam jika pendapat mereka semua di ketepikan? sementara sebagian dari mereka diliputi ilmu yang luas, mereka hidup di mana bumi masih di penuhi hadits.

Al Hafidh adalah gelar bagi ulama yang telah berhasil menghapal 100.000 hadits beserta sanad dan hukum matannya.
Al Hujjatul Islam adalah gelar bagi ulama yang telah berhasil menghapal 300.000 hadits beserta sanad dan hukum matannya.
Sedangkan dizaman sekarang jumlah seluruh hadits jika di kumpulkan semuanya tidak mencapai 80.000 hadits. Lalu dengan dasar apa kita ingin menumbangkan pendapat mereka?

Sementara siapakah yang lebih paham tentang hadits nabi, kita atau mereka?

wallahu a’lam
ummati

[1] Mujtahid mutlak atau mujtahid mutlak mustaqil adalah seorang ulama akbar lagi agung yang luas pemahaman syariahnya dari berbagai cabang ilmu dan keilmuannya diakui oleh ribuan ulama, dalam hal ini yang termasyhur adalah 4 orang, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad bin Hambal
[2] Nashirussunah artinya pembela sunnah, salah satu julukan Imam Asy Syafii
[3] Rijalussanad artinya ulama yang memiliki sanad yang mutassil kepada sohibul fatwa
Share this article

0 Tinggalkan jejak:

Posting Komentar

 
Copyright © 2017 RAUDLATUL ULUM KENCONG • All Rights Reserved.
back to top