Maqamat Dalam Tashawuf
Ajaran
pokok tashawuf berkisar sekitar proses penyucian jiwa dan jalan pendekatan diri
menuju Alloh SWT. Proses dan jalan itu sendiri sangat panjang dan melalui
tahapan-tahapan, yang disebut maqamat. Maqamat adalah bentuk
jamak dari maqam ( maqam ), yang berarti posisi, kedudukan atau tingkatan
. Dalam tashawuf, seperti diungkapkan Harun Nasution,
pakar filsafat Islam,
bahwa maqamat lazim dipahami sebagai tempat pemberhentian atau stasiun
dalam sebuah perjalanan panjang menuju Alloh SWT. Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi ( w.
378 H / 988 M ), tokoh tashawuf Suni dari Iran, menjelaskan bahwa maqamat
adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Alloh SWT, yang berhasil diperolehnya
melalui ibadah, perjuangan melawan hawa nafsu ( jihad an-nafs ),
berbagai latihan spiritual ( riyadloh ), dan penghadapan segenap jiwa
raga ( intiqa’) kepada Alloh SWT.
Peringkat Maqamat
Maqamat yang
harus dijalani oleh seorang sufi terdiri atas beberapa peringkat. Menurut Abu
Bakar al-Kalabadzi ( w. 380 H / 990 M. ), tokoh sufi asal Bukhara , Asia Tengah, menyebutkan tujuh maqam
yang harus dilalui sufi menuju Alloh SWT, yaitu : taubat, zuhud, sabar,
tawakal, ridla, mahabbah ( cinta ), dan ma’rifah ( mengenal ). Salah satu maqamat
terpenting menurut Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili ( w. 1332 H / 1913 M ),
tokoh Thariqat Naqsyabandiyah dari etnis Kurdi, ialah tobat ( taubah ).
Menurutnya, tobat merupakan awal semua maqamat. Kedudukannya laksana
fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan tidak dapat berdiri. Tanpa
tobat, seseorang tidak akan dapat menyucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat
dengan Alloh SWT. Tobat dapat diumpamakan sebagai pintu gerbang menuju
kehidupan sufistik.. Kata tobat berasal dari bahasa Arab, taubah, yang
berarti “kembali”. Dalam istilah tashawuf, yang dikatakan tobat ialah kembali
dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji, sesuai dengan ketentuan
agama.
Peringkat
Tobat
Abu
Ishaq Ibrahim al-Matbuli ( w. 291 H / 904 M. ), seorang sufi, menjelaskan : bahwa tobat itu terdiri atas beberapa
peringkat. Peringkat terendah ialah bertobat dari berbagai dosa besar, seperti
menyekutukan Alloh SWT, durhaka kepada orangtua, berzina, meminum khamar,
bersumpah palsu, dan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan agama. Peringkat
selanjutnya ialah tobat dari dosa-dosa kecil, perbuatan makruh, sikap dan
tindakan yang menyimpang dari keutamaan, merasa diri suci, merasa telah dekat
dengan Alloh SWT, dan lain-lain. Adapun peringkat tobat yang paling
tinggi ialah tobat dari kelengahan hati mengingat Alloh SWT, kendati hanya
sekejap.
Tobat
dari segala dosa merupakan anjuran agama. Banyak ayat Al-Qur’an yang
menganjurkan tobat. Tidak kurang dari 71 kali kata taubah dengan
derivasinya disebutkan Al-Qur’an, seperti berikut,
“Kecuali
orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka kejahatan
mereka diganti oleh Alloh dengan kebajikan. Dan adalah Alloh yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal
saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Alloh dengan tobat yang
sebenar-benarnya” ( QS. 25 : 70-71 ).
Dalam
ayat lain disebutkan,
”...Dan bertobatlah Kamu sekalian kepada Alloh, hai orang-orang
yang beriman supaya Kamu beruntung” ( QS. 24 : 31 ).
Kemudian,
ayat ini,
“Hai
orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Alloh dengan tobat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu
dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai...”
( QS. 66 : 8 ).
Dua Sasaran
Tobat
Imam
al-Gazali menjelaskan dalam karyanya Minhaj al-‘Abidin ( Panduan Para
Pelaku Ibadah ) bahwa tobat itu mempunyai dua sasaran. Pertama, tobat membuka
jalan dalam peningkatan kualitas ketaatan seseorang kepada Alloh SWT, sebab perbuatan dosa yang
dilakukan seseorang mengakibatkan kehinaan dan tertutupnya jalan untuk
melakukan ketaatan kepada Alloh SWT. Dosa yang dilakukan seseorang secara terus
menerus, tanpa tobat, akan menjadikan hatinya gelap, penuh noda hitam, keras,
dan kotor. Hati yang demikian, tidak akan bisa merasakan kenikmatan beribadah
dan tidak merasakan manisnya pendekatan diri kepada Alloh SWT. Sekiranya Alloh
SWT tidak memberikan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-Nya yang berdosa,
niscaya ia akan jatuh kedalam kekafiran dan kehancuran.
Kedua,
tobat menentukan diterimanya amal ibadah seseorang oleh Alloh SWT. Oleh sebab
itu, segala bentuk kebaikan, ketaatan, ibadah dan doa yang dilakukan seseorang
belum diterima Alloh SWT selama orang itu masih bergelimang dosa. Oleh karena
itu, tobat dari segala dosa merupakan suatu keharusan bagi setiap hamba Alloh
SWT yang mengharap amalnya diterima oleh-Nya.
Sa’d bin
Abi Waqqas, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, meminta kepada Nabi SAW agar
Beliau mendoakan supaya segala permohonannya diperkenankan Alloh SWT.
Menanggapi permintaan Sa’d itu Nabi SAW bersabda :
“Hai
Sa’d, makan dan minumlah dengan yang halal, tentu segala permohonanmu akan
dikabulkan Alloh. Demi Alloh, yang diri Muhammad berada di bawah kekuasaan-Nya,
sesungguhnya seorang hamba yang memasukkan sesuap makanan yang haram ke dalam
perutnya, segala amal ibadahnya tidak akan diterima Alloh selama empat puluh
hari. Barang siapa diantara hamba Alloh yang jasadnya tumbuh dari sumber
makanan yang haram, maka api neraka lebih berhak untuk menjilatnya” ( HR.
at-Tabrani ).
Tobat Nasuha
Tobat
yang dilakukan secara tulus dalam istilah Al-Qur’an disebut taubatan nasuhan
( tobat nasuha ). Para ‘Ulama’ memahami bahwa
yang dikatakan tobat nasuha itu ialah tobat yang dilakukan atas kesadaran hati yang
paling dalam. Dengan demikian, tobat nasuha merupakan kesadaran jiwa yang
disertai tekad yang kuat untuk senantiasa melakukan kebaikan dan tidak
mengulangi perbuatan jahat. Agar kesadaran demikian muncul di dalam kalbu,
menurut Abu Sa’id al-Kharraz ( w. 286 H / 899 M. ), tokoh sufi yang pertama
memperkenalkan teori fana dan baka, orang harus lebih dahulu menumbuhkan tiga
hal. Pertama, senantiasa ingat bahwa perbuatan dosa itu merupakan perbuatan
keji dan jahat, baik terhadap Alloh SWT maupun terhadap sesama manusia. Kedua,
senantiasa ingat bahwa siksaan Alloh SWT itu sangat dasyat. Ketiga, senantiasa
ingat betapa tidak berdayanya diri kita menanggung siksaan Alloh SWT di akhirat
nanti. Dengan senantiasa ingat kepada tiga hal tersebut, akan tumbuh kesadaran
di dalam hati kita untuk kembali kepada Alloh SWT melalui tobat nasuha.
Syarat Tobat
Nasuha
Imam
al-Gazali juga menjelaskan bahwa tobat nasuha itu pada intinya menghapuskan
keinginan yang terlintas di dalam hati untuk melakukan perbuatan dosa yang pernah
dilakukan pada masa lalu, sebagai perwujudan dari rasa kagum terhadap Alloh SWT,
dan takut terhadap sikasaan-Nya. Tobat yang demikian dapat terwujud bila
seseorang memenuhi tiga syarat. Pertama, membebaskan hati dari keinginan
berbuat dosa. Kalau seseorang meninggalkan suatu perbuatan buruk, sementara
hatinya masih menyimpan keinginan untuk melakukan perbuatan itu lagi, maka
sebenarnya ia belum bertobat. Kedua, meninggalkan perbuatan buruk yang pernah
dilakukan pada masa lalu. Ketiga, meninggalkan perbuatan buruk itu harus muncul
dari hasrat hati, demi mengagungkan Alloh SWT dan menghindari kemurkaan dan adzab-Nya.
Pengertian
Zuhud
Setelah
tobat, maqam kedua yang harus dilalui oleh sufi ialah zuhud ( zuhd ). Zuhd
dalam pengertian kebahasaan bermakna “meninggalkan sesuatu karena kekurangan
dan kehinaannya”. Dalam Al-Qur’an hanya ditemui satu kata yang berakar dari
kata zuhd, yaitu, az-zahidin ( orang-orang yang zuhud ), yang
terdapat dalam surat
Yusuf ayat 21. Yang dimaksud dengan zahidin dalam ayat tersebut
mengandung makna “tidak tertarik hatinya” kepada Yusuf.
Hal Ihwal
Keduniaan
Dalam
istilah tashawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal
keduniaan dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Alloh SWT, padahal
terdapat kesempatan untuk memperolehnya. Dari definisi tersebut timbul
pertanyaan, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan hal ihwal keduniaan itu?.
Jawaban pertanyaan itu tersirat dalam ayat Al-Qur’an,
“Dijadikan
indah pada ( pandangan ) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu :
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Alloh-lah tempat kembali yang baik ( surga ) ” ( QS . 31: 14
).
Juga
dalam ayat Al-Qur’an,
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangaan tentang banyaknya
harta dan anak....” ( QS. 57 : 20 ).
Kedua
ayat itu mengisyaratkan bahwa hal ihwal keduniaan itu adalah berupa kesenangan
material yang bersifat sementara dan tidak pernah memberi kepuasan kepada
manusia. Segala bentuk keduniaan senantiasa mengacu kepada kepuasan semu dan
terbatas. Oleh sebab itu, orang yang hanya bertujuan hidup untuk mencapai
hasrat keduniaan adalah orang yang tertipu, karena ia hanya mengarahkan
hidupnya pada tujuan jangka pendek, yang akan habis oleh kematian. Di
balik kehidupan dunia terdapat kehidupan abadi di akhirat. Manusia harus mengarahkan
tujuannya pada kehidupan abadi itu, karena di sanalah manusia akan mencapai
kesenangan dan kepuasan yang sebenarnya.
Meski
demikian, menurut Abu al-Hasan asy-Syadzili ( w. 656 H / 1258 M. ), pendiri Thariqat
Syadziliyah, keperluan manusia pada hal ihwal keduniaan tidak dapat dikesampingkan.
Menurutnya, yang dikatakan orang zuhud ialah orang yang menggunakan hal ihwal
keduniaan sekedar untuk memenuhi hajat hidupnya. Hajat hidup itu sendiri
terdiri atas beberapa komponen. Ada
yang berbentuk kebutuhan individual, keluarga, masyarakat, bahkan dalam hal
bernegara. Orang yang zuhud ialah yang mampu menggunakan segala hal ihwal duniawi
sesuai dengan ketentuan hukum dan etika, bukan untuk berlebih-lebihan dan
berfoya-foya. Penggunaan materi yang demikian tidak dinilai bersifat keduniaan,
karena segalanya digunakan untuk kepentingan pendekatan diri kepada Alloh SWT.
Oleh : Nur
Rochim Wahid
Santri PP. Raudlatul Ulum,
Kencong Kepung Kediri
Jatim
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar