Syari’at dalam arti yang luas
memiliki tiga dimensi yang sama
pentingnya, yaitu : 1. Islam,
2. Iman dan 3. Ihsan. Hal ini didasarkan pada
hadits riwayat Muslim yang berbunyi :
قَالَ
يَا مُحَمَّدُ أَخْبرْنيْ عَنِ الإِسْلاَمِ !، قَالَ : أَنْ تشْهَدَ أَنَّ لاَ
إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتقِيْمَ الْصَّلاَةَ،
وَتؤْتيَ الْزَّكَاةَ، وَتصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتطَعْتَ إِلَيْهِ
سَبيْلاً. قَالَ : أَخْبرْنيْ عَنِ الإِيْمَانِ !، قَالَ : أَنْ تؤْمِنَ باللهِ وَمَلاَئكَتِهِ
وَكُتبهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَتؤْمِنَ بالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
فَأَخْبرْنيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ : أَنْ تعْبُدَ اللهَ كَأَنكَ ترَاهُ فََإِنْ
لَمْ تكُنْ ترَاهُ فَإِنهُ يَرَاكَ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Artinya : Wahai Muhammad !, ceritakan
kepadaku tentang Islam. Rosul menjawab : ” Hendaklah engkau bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Alloh, dan bahwa Nabi Muhammmad adalah utusan Alloh, mendirikan
Sholat, mengeluarkan Zakat, berpuasa di bulan Romadlon, dan menunaikan ibadah haji
jika mampu. “ Ceritakan kepadaku tentang Iman ! ”. Rosul Menjawab : “ Hendaklah
engkau beriman kepada Alloh, kepada Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya,
para Rosul-Nya, hari akhir. dan hendaklah engkau beriman dengan ketentuan Alloh,
baik ketentuan yang baik maupun ketentuan yang buruk .” Ceritakan kepadaku
tentang Ihsan !. Rosul menjawab : “ Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh
seolah-olah engkau melihatnya. Apabila engkau tidak mampu melihatnya, maka
sesungguhnya Alloh melihatmu.”
Dimensi
Islam mempunyai lima
penyangga ( rukun ) : Shahadat, Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji. Sedangkan
dimensi Iman mempunyai enam penyangga ( rukun ) yang harus diyakini, yaitu ” Alloh,
Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rosul-rosul-Nya, hari akhir dan Taqdir ”.
Dimensi
Islam dibahas secara mendalam dalam buku-buku tentang ( disiplin ) ilmu Fiqih,
Dimensi keimanan dibahas secara mendalam dalam buku-buku ( disiplin ) ilmu
Tauhid dan ilmu Kalam. Sedangkan dimensi Ihsan diulas secara lebih mendalam
dalam buku-buku yang termasuk dalam disiplin ilmu Akhlaq dan Tasowuf.
Syari’at
Islam yang semula hanya sederhana sekali ( sebagaimana di “ disosiodramakan ” oleh Malaikat
Jibril dengan Nabi Muhammad tersebut ), telah berkembang menjadi ilmu keislaman
yang sangat luas. Dapat di bayangkan, misalnya asal mula ajaran Sholat, ( perintah
Nabi ) : “ Sholatlah kalian sebagaimana kalian menyaksikan Sholat-ku ” pada
perkembangan berikutnya telah muncul kitab-kitab yang menerangkan tentang
Sholat yang sangat banyak.
Demikian
juga halnya dengan pernyataan Nabi tentang Ihsan tersebut. Pada perkembangan
berikutnya juga melahirkan banyak pendapat, tentang bagaimana metode ( thariqah ) untuk dapat beribadah kepada Alloh
seakan-akan melihat-Nya, atau setidaknya memiliki kesadaran, akan melihatnya,
bahwa Alloh senantiasa mengawasi dan melihat kita. Dari sini lahir banyak
ulama’ sufistic yang kemudian
mengajarkan ( thariqahnya ) kepada murid-muridnya, sehingga banyak thariqah dan
banyak kitab-kitab tasawuf sebagaimana yang banyak kita saksikan sekarang ini.
Dalam
pembahasan ini akan kita uraikan sekitar bentuk–bentuk ijthad dalam rangka
pemahaman kesadaran kehadiran Alloh pada setiap kesempatan, sebagai penghayatan
dalam beragama. Hal ini merupakan suatu kemestian sejarah pemikiran, karena
bidang tashowuf juga terjadi perkembangan pemahaman dan upaya-upaya serius ( ijtihad ) untuk dapat memasuki dimensi Ihsan
yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam syari’at agama Islam. Di samping
itu diuraikan upaya penyelarasan antara doktrin, tradisi dan pemahaman dengan
pengaruh budaya global.
Pertentangan
antara Ahlu al-Bawathin ( Ahli ilmu Ruhani - Ilmu Tasawuf ) dengan Ahlu
adh-Dhowahir ( Ahli ilmu Jasmani - Ilmu Syari’at) pada masa-masa lalu
memang dirasakan cukup gawat, sampai sekarang pun imbasnya masih terasakan.
Usaha-usaha kompromi telah banyak dilakukan oleh para Ulama’ terdahulu, seperti
Ulama’-ulama’ terdahulu sudah berusaha dengan keras untuk menyelaraskan antara
ilmu bathin ( Ilmu Tasawuf ) dengan
ilmu lahir ( Ilmu Syari’at ) adalah :
Dzunnunal-Misry, al-Ghozali, Syekh A. Faruqi al-Shirhindi, Syekh Waliyulloh
al-Dahlawi
Dapat
dikatakan thariqah yang ada sekarang ini merupakan hasil dari usaha- usaha
penyelarasan itu, sehingga sesungguhnya tidak perlu terlampau dikhawatirkan.
Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah ( yang dikutip oleh Nurcholis Madjid
) bahwa kita harus secara kritis dan adil dalam melihat suatu masalah, tidak
dengan serta merta meng-generalisasi-kan ( memutlakkan )
penilaian yang tidak ditopang dengan fakta. Sebab tashawuf dengan segala manifestasinya dalam gerakan-gerakan thariqah
itu pada prinsipnya adalah hasil ijtihad dalam mendekatkan diri pada Alloh, Sehingga
dapat benar dan dapat pula salah. Dengan pahala ganda bagi yang benar, dan
pahala tunggl bagi yang salah. Maka tidak dibenarkan sikap pro-kontra yang
bernada kemutlakan.
Di antra
bentuk-bentuk ijtihad dalam dunia tashawuf antara lain :
1.
Tata cara dzikr yang di pakai oleh pengikut Thariqah Qadiriyyah yaitu : dzikr dengan kalimah “ Laa Ilaaha Illalloh
” dengan gerakan dan penghayatan untuk mengalirkan kalimat “ Laa ”
ditarik ke atas dari bawahnya pusar ke otak, lalu kalimah “ Ilaaha ”
ditarik ke bahu kanan, lantas kalimah “ Illalloh ” di hantamkan pada
hati sanubari kesadaran dan tempatnya ruh
yang tempatnya di dada kiri yang bawah. Cara ini diyakini memiliki
dampak yang sangat positif untuk
membersihkan jiwa dari segala penyakit
sebangsa jiwa ( hati ). Sehingga
akan dapat memudahkan jalan mendekatkan diri pada Alloh. Dan karena ini
dilakukan terus menerus dan dilakukan dengan penuh kekhusukan, maka sudah
barang tentu akan memberikan dampak kesadaran makna kalimah tersebut sebagai
pengaruh psikologisnya.
2. Tata cara dzikr
dalam Thariqah Naqsabandiyyah. Yaitu : dengan dzikr kata Alloh-Alloh,
yang dilakukan dengan tata cara sebagai berikut : pertama, mata dipejamkan,
kemudian lidah ditekuk, disentuhkan pada langi-langit mulut, dan mulut dalam
keadaan tertutup rapat. Selanjutnya bathin kita mengucapkan kata “ Alloh
” sebanyak 1000 kali misalnya, yang dipusatkan pada lathifah-lathifah ( pusat-pusat
kesadaran manusia ). Hal ini dilakukan berulang-ulang kali sampai kita
mendapatkan jumlah 5000 kali paling sedikit dalam sehari semalam. Cara ini
diyakini akan membawa pengaruh kejiwaan yang luar biasa, terutama manakala
setiap lathifah telah keluar cahayanya, atau telah terasa gerakan dzikir
benar-benar terjadi padanya. Karena diyakini bahwa kalau lathifah-lathifah
tersebut tidak diisi kalimah dzikir, maka akan ditempati oleh syetan, dan syetan
itulah yang menjadi penghalang manusis
untuk mendekatkan diri pada Alloh. Dalam thariqah ini dikenal dengan ajaran “ Wukuf Qolbi, Wukuf Zamani dan Wukuf ‘Adadi
”. Wukuf Qolbi adalah menjaga setiap
gerakan hati ( detak nadi ) untuk selalu mengingat dan menyebut asma Alloh.
Sedangkan Wukuf Zamani adalah menghitung dan memperhatikan perjalanan waktu untuk
tidak melewatkan waktu dengan melupakan Alloh. Sedangkan Wukuf ‘Adadi adalah jumlah selalu mengusahakan
hitungan ganjil ( 1, 3, 5…. 41…) dalam berdzikir, sebagai penghormatan sunnah
atas kesenangan Alloh pada jumlah yang ganjil. Ajaran-ajaran thariqah sebagai
bagian dari ilmu tashawuf juga mengalami suatu perkembangan sebagai mana
ilmu-ilmu yang lain.
0 Tinggalkan jejak:
Posting Komentar